Sering kali seseorang mengucapkan sumpah sebagai bentuk penguatan atas pernyataannya, terutama saat ia merasa perlu meyakinkan lawan bicaranya mengenai kebenaran yang disampaikan. Sumpah digunakan sebagai bentuk pembelaan, semacam tameng moral dan spiritual, bahwa apa yang diucapkannya bukan dusta, melainkan kebenaran.
Dalam ajaran Islam, sumpah bisa dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Imam Muhammad bin Qasim menjelaskan dalam Fathul Qorib mengenai syarat sahnya sumpah sebagai berikut:
(لا ينعقد اليمين إلا بالله تعالى) أي بذاته، كقول الحالف: «وَاللهِ»، (أو باسم من أسمائه) المختصة به التي لا تستعمل في غيره كخالق الخلق، (أو صفة من صفات ذاته) القائمة به كعلمه وقدرته.
Artinya: “Sumpah dihukumi sah apabila menyebut Dzat Allah Ta’ala, seperti ucapan seseorang, ‘Demi Allah’, atau menyebut nama-nama khusus yang hanya digunakan bagi Allah dan tidak untuk selain-Nya, seperti ‘Demi Dzat yang menciptakan makhluk’, atau menyebut sifat-sifat khusus yang melekat pada Dzat Allah, seperti ‘Demi ilmu Allah’ atau ‘Demi qudrah-Nya’. Adapun yang dianggap bersumpah adalah setiap orang yang mukallaf (baligh dan berakal), tidak dalam paksaan, mampu berbicara, dan memiliki niat untuk bersumpah.” (Iman Muhammad bin Qasim, Fathul Qorib Almujib, [Lebanon: Ibnu Hazim, 2004], jilid I, hlm. 319.)
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa sumpah yang sah dalam Islam wajib disandarkan kepada Allah, baik secara langsung menyebut nama-Nya secara jelas (sharih), maupun melalui sifat-sifat khusus yang hanya dimiliki oleh-Nya.
Namun, dalam praktik masyarakat Indonesia, sering kali kita temui seseorang mengucapkan sumpah atas nama Al-Qur’an sebagai bentuk keseriusan dan penegasan bahwa dirinya tidak berbohong.
Misalnya, “Demi Al-Qur’an saya tidak melakukan itu,” atau dalam konteks pembaiatan, “Saya bersumpah dan bersaksi atas nama Al-Qur’an, bahwa saya akan menjalankan tugas dan tanggung jawab saya sebagai pengurus.”
Sayangnya, dalam banyak kasus, penyebutan "Al-Qur’an" dalam sumpah tersebut tidak merujuk pada Allah sebagai pemilik kalam, melainkan lebih kepada mushaf, bentuk fisik dari Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah sumpah atas nama Al-Qur’an dibenarkan dalam Islam? Apakah sah dan memiliki konsekuensi syar’i?
Pandangan Ulama tentang Sumpah dengan Al-Qur’an
Baca Juga
Sumpah Menggunakan Al-Qur'an
Penjelasan tentang hal ini dapat ditemukan dalam kitab Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri:
وينعقد الحلف بكلام الله لأنه صفة من صفاته تعالى: وينعقد بالمصحف بدون كراهة لأن الحالف إنما يقصد الحلف بالمكتوب فيه وهو القرآن. وكذلك الخلف بالقرآن أو بسورة منه أو بآية أو بحق القرآن فإنه ينعقد يمينًا.
Artinya: “Sumpah menjadi sah dengan menyebut Kalam Allah, karena ia adalah salah satu sifat Allah Ta‘ala. Sumpah juga sah apabila dilakukan dengan menyebut mushaf (Al-Qur’an) tanpa makruh, sebab yang dimaksud oleh orang yang bersumpah dengan mushaf adalah isi yang terkandung di dalamnya, yaitu firman Allah. Begitu pula jika bersumpah dengan menyebut Al-Qur’an, salah satu surah, ayat, atau dengan ungkapan ‘demi hak Al-Qur’an’, maka semuanya dihukumi sebagai sumpah yang sah,” (Al-fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah, [Lebanon, Darul Kutub Al-ilmiyah, 2003], jilid II, hlm. 70-71)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sumpah dengan menyebut Al-Qur’an tetap dianggap sah, selama niat orang yang bersumpah itu adalah menyandarkannya kepada firman Allah, bukan sekadar mushaf sebagai benda fisik.
Orang yang bersumpah dengan Al-Qur’an dalam konteks tersebut akan dikenakan konsekuensi hukum sumpah: jika ia melanggarnya, maka wajib membayar kafarat, dan jika berdusta, maka berdosa.
Kapan Sumpah Memiliki Konsekuensi?
Namun, tidak semua sumpah yang menyebut Al-Qur’an otomatis dihukumi sah. Masih ada kriteria penting yang perlu diperhatikan. Hal ini dijelaskan oleh Asy-Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyatul Baijuri:
وقوله وكتاب الله والقرآن والمصحف يمين مالم يرد بكتاب الله المكتوب من النقوش و بالقرآن المقروء من الالفاظ التي تقرؤها أو الخطبة و بالمصحف الأوراق والجلد والا فليس يمينا فلا يكون كل ذلك يمينا الا اذا أراد به الصفة القديمة.
Artinya: “Ucapan seseorang seperti ‘Demi Kitab Allah’, ‘Demi Al-Qur’an’, atau ‘Demi Mushaf’ dihukumi sebagai sumpah selama maksudnya merujuk pada sifat qadim Allah (yakni kalam Allah sebagai salah satu sifat-Nya), bukan sekadar Al-Qur’an sebagai tulisan, bacaan, atau mushaf (benda fisik yang terdiri dari kertas dan sampul). Jika niatnya bukan kepada sifat Allah, maka sumpah itu tidak sah.” (Al-Bajuri, Hasyiatul Bajuri, [Arab Saudi, Darul Minhaj, 2016], jilid IV, hlm. 426)
Seseorang yang bersumpah dengan menyebut Al-Qur’an baru dianggap bersumpah secara syar’i jika niatnya tertuju pada kalam Allah sebagai salah satu sifat-Nya. Jika yang dimaksud hanya bentuk fisik mushaf, tulisan, atau bacaan, maka sumpah itu tidak sah.
Namun jika niatnya benar, menyandarkannya kepada sifat Allah, maka sumpah tersebut sah dan membawa konsekuensi hukum kafarat jika dilanggar, serta dosa jika berbohong dalam sumpahnya.
Maka dari itu, penting bagi setiap Muslim untuk memahami makna dan hukum di balik sumpah, agar tidak sembarangan mengucapkannya, terlebih ketika melibatkan hal-hal yang sakral seperti Al-Qur’an. Wallahu 'alam.
Ahmad Ivan Abid Nugroho, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online tahun 2025