Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 33: Sumpah Setia dalam Islam

Sab, 9 Desember 2023 | 15:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 33: Sumpah Setia dalam Islam

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Berikut ini ayat, transliterasi, terjemah dan ragam tafsir surat An-Nisa’ ayat 33:

 

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآَتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا

 

Wa likullin ja‘alnâ mawâliya mimmâ tarakal-wâlidâni wal-aqrabûn, walladzîna ‘aqadat aimânukum fa âtûhum nashîbahum, innallâha kâna ‘alâ kulli syai'in syahîdâ.

 

Artinya, “Bagi setiap (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, berikanlah bagian itu kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”

 

Ragam Tafsir

Dalam Tafsirul Jalalain Imam As-Suyuthi secara ringkas menjelaskan, maksud ayat adalah bagi masing-masing lelaki dan perempuan yang berstatus orang tua dan kerabat, telah dijadikan bagi mereka waris ‘ashabah yang akan mewaris dari harta warisan mereka. Demikian pula orang-orang yang di masa Jahiliyah yang telah bersumpah untuk saling menolong dan berbagi waris, mereka juga mendapatkan hak waris meskipun tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan bagian waris sejumlah 1/6 dari harta warisan.

 

Namun demikian menurut As-Suyuthi, hukum berbagi waris antara orang-orang yang telah bersumpah untuk saling menolong dan berbagi warisan ini telah ternasakh dengan firman Allah:

 

وَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ

 

Artinya, “Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (saling mewarisi) …” (QS A-Ahzab 6). (Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, [Kairo, Darul Hadits], juz I, halaman 105).

 

Penjelasan seperti ini menurut kutipan Imam Al-Qurthubi merupakan pendapat jumhur ulama Salaf. Dalam Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, ia menjelaskan:

 

وروي عن جمهور السلف، أن الآية الناسخة لقوله : وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ قوله تعالى في الأنفال: وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ. روي هذا عن ابن عباس وقتادة والحسن البصري ؛ وهو الذي أثبته أبو عبيد في كتاب الناسخ والمنسوخ له

 

Artinya, “Dan diriwayatkan dari jumhur ulama Salaf, sungguh ayat yang menasakh firman Allah: ‘walladzîna ‘aqadat aimânukum’ (An-Nisa’: 33) adalah firman Allah dalam surat Al-Anfal (ayat 6): ‘wa ulul arhami ba’dhuhum aula bi ba’dhin’. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Hasan Al-Bashri. Pendapat inilah yang ditetapkan oleh Abu Ubaid dalam kitab karyanya berjudul An-Nasikh wal Mansukh..” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Dar ‘Alamil Kutub: 2003], juz V, halaman 166)

 

Sementara ulama lain berpendapat, frasa ayat: “walladzîna ‘aqadat aimânukum” (An-Nisa’: 33), tidak ternasakh. Hukumnya tetap berlaku sampai sekarang atau muhkam. Namun demikian yang diperintahkan Allah kepada kaum beriman dalam ayat ini adalah agar orang-orang yang sudah bersumpah setia untuk saling menolong dengan orang lain agar ia berikan pertolongan itu kepadanya.

 

Jadi menurut sebagian ulama ini, sumpah setia yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sumpah setia dalam hal saling menolong, menasehati dan semisalnya. Bukan dalam hal saling berbagi harta warisan. Mengutip Imam At-Thabari, pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas. Selain itu, pendapat ini juga disampaikan oleh Mujahid dan As-Sudi. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz V, halaman 166).

 

Secara lebih detail dalam kitab Jami’ul Bayan Imam At-Thabari menguraikan, dalam memahami frasa “nashîbahum” atau bagian mereka orang-orang yang saling bersumpah yang dijelaskan dalam ayat ada empat pendapat:

 
  1. Maksudnya adalah bagian waris antara orang-orang yang bersumpah untuk saling berbagi waris seperti zaman Jahiliyah. Lalu dalam Islam oleh Allah mereka tetap diwajibkan untuk berbagi waris dengan berdasarkan ayat ini. Kemudian baru dinasakh dengan turunnya surat Al-Anfal ayat 6.
  2. Maksudnya adalah bagian waris antara orang-orang dari golongan Muhajirin dan Anshar yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw. Lalu dinasakh dengan ayat faraidh (waris) dan frasa “walladzîna ‘aqadat aimânukum fa âtûhum nashîbahum” dalam ayat 33 surat An-Nisa’ ini.
  3. Maksudnya adalah bagian pertolongan, nasehat dan semisalnya dari orang-orang yang bersumpah setia untuk saling menolong. Bukan bagian harta warisan.
  4. Maksudnya adalah bagian harta wasiat. Ini berangkat dari turunnya ayat adalah berkaitan dengan orang-orang yang mengadopsi anak di masa Jahiliyah. Kemudian dalam Islam mereka diperintahkan untuk memberi harta melalui jalur wasiat kepada anak adopsi tersebut. (At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Muassasatur Risalah: 2000], juz VIII, halaman 274-280).
 

Masih menurut Imam At-Thabari, pendapat yang paling utama adalah pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah bagian pertolongan, nasehat dan semisalnya yang harus diberikan kepada orang-orang yang telah bersumpah setia untuk saling menolong. Inilah yang sesuai dengan tradisi masyarakat Jahiliyah Arab pada waktu itu.

 

At-Thabari menyatakan, hal ini sangat jelas bahwa dalam ayat yang disinggung oleh Allah adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan perjanjian, bukan orang yang dipersaudarakan dan bukan pula orang yang mengadopsi anak, maupun yang lainnya.

 

Status mansukh ayat ini, lanjut At-Thabari, masih diperselisihkan, karenanya tidak boleh dipastikan bahwa ayat ini mansukh atau ternasakh. Bahkan menurut Imam At-Thabari penafsiran yang sahih adalah yang menyatakan bahwa frasa ayat “walladzîna ‘aqadat aimânukum fa âtûhum nashîbahum” adalah berkaitan dengan sumpah setia di antara orang-orang Jahiliyah Arab. Sedangkan maksud nashîbahum di sini adalah bagian pertolongan, nasehat, pertimbangan pendapat dan semisalnya.

 

Di penghujung penjelasan Imam At-Thabari menegaskan, jika argumentasi yang disampaikannya dapat diterima, maka status ayat ini tidak mansukh akan tetapi muhkamah ( berlaku sampai sekarang). (At-Thabari, Jami’ul Bayan, juz VIII, halaman 288).

 

Adapun frasa ayat: “innallâha kâna ‘alâ kulli syai'in syahîdâ”, yang artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”, ini terkait dengan perintah Allah kepada orang-orang yang telah bersumpah setia untuk saling menolong, menasehati, dan memberi pertimbangan pendapat, karena Allah menyaksikan perbuatan mereka, dan perbuatan orang lain kepada mereka. Allah mengetahui semuanya sehingga akan membalasnya. Orang yang berbuat baik dan menaati perintah-Nya dalam hal memenuhi sumpah setia, maka akan diberi balasan yang baik. Demikian pula orang yang berbuat buruk dan menyelisihi perintah-Nya maka akan diberi balasan yang buruk. Allah Maha Menyaksikan semuanya. (At-Thabari, Jami’ul Bayan, juz VIII, halaman 288). Wallahu a’lam.

 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online