Konsekuensi Sumpah Suami untuk tidak Berhubungan Badan dengan Istri
NU Online · Jumat, 4 Juli 2025 | 15:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Pernikahan merupakan ikatan suci yang perjalanannya tidak selalu mudah. Ada saat-saat bahagia penuh cinta, tapi ada juga momen di mana emosi memuncak dan penuh dilema. Ada saat-saat senang dan penuh tawa, tetapi ada juga saat-saat salah satu atau keduanya kecewa. Semua adalah sesuatu yang niscaya dan biasa dalam sebuah keluarga.
Di saat bahagia, semua orang akan menjalaninya dengan nyaman, tenang dan tenteram. Tak ada niatan untuk menjauh, apalagi sumpah-serapah yang disampaikan kepada istri maupun suami. Tapi saat terjadi ketidakharmonisan antara keduanya, apalagi ketika emosi sudah sama-sama memuncak? Tidak ada yang tahu bagaimana kelanjutannya.
Namun di masa-masa itulah keduanya benar-benar diuji, bagaimana kemudian harus bersikap benar-benar bersikap bijak agar pernikahan tetap utuh, tapi tak semua suami bisa seperti itu, bahkan dalam kondisi itu terkadang tanpa sadar terlontar kata-kata keras hingga sumpah yang menyakitkan. Misal sang suami bersumpah untuk tidak lagi berhubungan badan dengan istrinya dengan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyentuhmu lagi selamanya!”
Sumpah seperti contoh di atas bisa saja terjadi. Karenanya, dalam kitab-kitab fiqih ucapan semacam itu menjadi salah satu pembahasan serius hingga menjadi satu bab khusus yang kemudian dikenal dengan bab Ila’. Faktornya ada banyak, seperti karena merasa dikhianati, atau sebagai bentuk protes batin terhadap sesuatu yang ia anggap mengecewakan dari pasangan hidupnya.
Namun perlu diketahui, bahwa sumpah dalam Islam bukanlah perkara sepele yang bisa diucapkan dengan mudah. Ia memiliki nilai sakral dan konsekuensi hukum tersendiri, terutama jika melibatkan hak pasangan yang sejatinya dijamin oleh syariat. Hubungan intim antara suami dan istri tidak hanya kebutuhan biologis, tetapi juga bagian dari ibadah yang dianjurkan, bahkan menjadi salah satu fondasi keharmonisan rumah tangga.
Maka ketika seorang suami dengan sengaja bersumpah untuk menjauhi hubungan badan tersebut, ia tidak hanya bersumpah, tapi juga menyakiti hati istri dan juga menahan hak istrinya yang sah. Nah, di sinilah persoalannya. Sumpah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan perkara yang tak sepele. Ia memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Lantas, apa konsekuensi hukum bagi suami yang bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya? Mari kita bahas.
Dalil dan Hukum Ila’
Sebelum membahas tentang konsekuensi dari sumpah seorang suami untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya lebih jauh dan lebih mendalam, terlebih dahulu penulis hendak menjelaskan bahwa sumpah seperti contoh di atas disebut dengan Ila’ dalam kitab-kitab fiqih.
Apa itu Ila’? Ila’ sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Khatib as-Syarbini adalah sumpah yang diucapkan oleh suami yang sah ucapan talaknya untuk menahan diri dari menyetubuhi istrinya, baik secara mutlak maupun selama lebih dari empat bulan. (al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut: Darul Fikr, 1415 H], jilid II, halaman 451).
Ila’ pada hakikatnya memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur’an, bahwa sumpah semacam itu memiliki hukum dan ketentuan yang jelas dalam Islam. Allah SWT berfirman:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)
Artinya, “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah, [2]: 226-227).
Merujuk penjelasan Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, sumpah Ila’ hukumnya haram karena secara nyata menyakiti hati istri. Bahkan sebagian ulama menggolongkannya sebagai dosa besar, meskipun pendapat yang kuat menyatakan bahwa ia termasuk dosa kecil, namun tetap saja hukumnya haram, terlebih jika diucapkan secara sengaja tanpa sebab yang benar,
وَهُوَ حَرَامٌ لِلْاِيْذَاءِ، وَهَلْ هُوَ صَغِيْرَةٌ أَوْ كَبِيْرَةٌ؟ خِلَافٌ. فَقِيْلَ إِنَّهُ كَبِيْرَةٌ كَالظِّهَارِ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ صَغِيْرَةٌ
Artinya, “Dan sumpah ila’ hukumnya haram karena mengandung unsur menyakiti (istri). Apakah ia termasuk dosa kecil atau dosa besar? Terdapat perbedaan pendapat. Menurut satu pendapat adalah dosa besar, seperti dzhihar. Namun pendapat mu’tamad menyatakan dosa kecil.” (Hasyiyah I’anah at-Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 1997 M], jilid IV, halaman 39).
Konsekuensi Sumpah Ila’
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa sumpah dalam konteks apa pun bukanlah perkara sepele yang bisa diucapkan oleh siapa saja dengan mudah, ia memiliki konsekuensi hukum tersendiri, termasuk juga dalam sumpah ila’ sebagaimana yang kita bahas saat ini. Lantas, apa konsekuensi dari sumpah suami untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya? Mari kita lanjutkan pembahasannya.
Merujuk penjelasan Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Ali as-Syarbaji, bahwa berlaku beberapa hukum syariat kepada suami yang melakukan ila’ kepada istrinya. Beberapa hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Di Waktu Sebelum Empat Bulan
Hakim memberikan tenggang waktu selama empat bulan kepada suami, terhitung sejak ia mengucapkan sumpah untuk tidak menggauli istrinya, sebagai kesempatan apakah ia akan menarik kembali sumpahnya, kemudian kembali menggauli istrinya dan membayar kafarat atas sumpahnya, atau tetap pada sumpahnya dan memilih untuk menceraikan istrinya.
Dengan kata lain, di masa empat bulan ini adalah masa tenggang yang diwajibkan syariat, agar suami tidak terus-menerus membiarkan istrinya tergantung tanpa kejelasan. Jika suami hendak kembali, maka kembali dan wajib membayar kafarat. Jika hendak mentalak, maka talak,
يُمْهِلُهُ الْحَاكِمُ أَرْبَعَة بَدْءًا مِنَ الْيَوْمِ الَّذِي أَقْسَمَ فِيْهِ أَنْ لَا يَطَأَ زَوْجَتَهُ، كَفُرْصَةٍ يُمْكِنُهُ مِنَ الرُّجُوْعِ وَالتَّكْفِيْرِ عَنْهَا، أَوْ مِنْ تَطْلِيْقِهَا إِنْ لَمْ يُرِدِ الرُّجُوْعَ وَالْتَفْكِيْرَ
Artinya, “Hakim memberinya tenggang waktu empat (bulan), sejak hari ketika ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, sebagai kesempatan yang memungkinkannya untuk kembali dan membayar kafarah atas sumpahnya, atau untuk menceraikannya jika ia tidak menghendaki kembali dan berpikir.” (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid IV, halaman 144).
2. Di Waktu Setelah Empat Bulan
Konsep kedua ini bisa terjadi jika sang suami tidak melakukan salah satu dari dua pilihan di waktu sebelum selesainya empat bulan di atas. Artinya, apabila empat bulan telah berlalu, dan sang suami masih bersikukuh mempertahankan sumpahnya untuk tidak menggauli istrinya, maka saat itu ia dianggap telah berbuat mudarat terhadap istrinya dengan membiarkannya tergantung tanpa hubungan suami-istri. Karena itu, atas permintaan istri, hakim mewajibkan suami untuk memilih salah satu dari dua hal berikut:
Pertama, mencabut sumpahnya kemudian berhubungan kembali dengan istrinya, dan membayar kafarat sumpahnya, jika ia bersumpah dengan nama Allah atau salah satu sifatnya, atau melakukan apa yang ia sumpahkan, jika sumpahnya berupa melakukan suatu perbuatan, atau memberikan sedekah, jika itu yang ia sumpahkan.
Kedua, menceraikannya, jika ia bersikeras tetap memegang sumpahnya. Namun jika suami menolak dan tidak mau memilih salah satu dari dua jalan tersebut, maka hakim menjatuhkan talak satu atas namanya, karena itu merupakan hak yang diarahkan kepadanya demi menghilangkan bahaya bagi istrinya. Sebab, tidak ada jalan lain untuk menghilangkan bahaya tersebut kecuali dengan menjatuhkan talak atasnya,
فَإِنْ أَبَى الزَّوْجُ، وَرَفَضَ سُلُوْكَ أَحَدِ هَذَيْنِ السَّبِيْلَيْنِ، أَوْقَعَ الْقَاضِي عَنْهُ طَلْقَةً وَاحِدَةً، لِأَنَّهُ حَقٌّ تَوَجَّهَ عَلَيْهِ لِرَفْعِ الضَّرَرِ عَنِ الْغَيْرِ، وَلاَ سَبِيْلَ إِلىَ ذَلِكَ إِلَّا بِالتَّطْلِيْقِ عَلَيْهِ
Artinya, “Maka jika suami menolak dan enggan menempuh salah satu dari dua jalan tersebut, hakim menjatuhkan satu kali talak atas namanya, karena itu merupakan hak yang diarahkan kepadanya untuk menghilangkan mudarat dari pihak lain (istri), dan tidak ada jalan untuk mewujudkan hal itu kecuali dengan menjatuhkan talak atasnya.” (al-Fiqhul Manhaji, IV/145).
Hanya saja, beberapa konsekuensi di atas berlaku jika suami tidak memiliki udzur yang menghalanginya untuk menggauli istrinya. Jika ia memiliki udzur yang sah, seperti sedang sakit atau mengalami kondisi lain yang serupa dan membuatnya tidak mampu berhubungan, maka ia tetap diminta untuk mencabut sumpahnya secara lisan, dengan mengucapkan, “Jika aku mampu, aku akan mencabut komitmen dan sumpahku.”
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seorang suami bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya, maka ia diberi masa tenggang selama empat. Masa ini adalah waktu yang disyariatkan untuk memberikan kesempatan kepada suami, apakah ia ingin mencabut sumpahnya dan membayar kafarat, atau memilih jalan perceraian.
Jika empat bulan berlalu dan sang suami tetap bersikeras memegang sumpahnya, maka ia telah dianggap menimbulkan mudarat terhadap istrinya. Dalam kondisi ini, atas permintaan istri, hakim akan memaksanya memilih antara dua hal, yaitu:
- kembali kepada istrinya dan membayar kafarat sumpah; atau
- menceraikannya. Jika suami tetap menolak kedua pilihan tersebut, maka hakim akan menjatuhkan talak satu atas namanya, demi menghilangkan bahaya yang menimpa istri.
Namun, apabila suami memiliki uzur yang sah yang menghalanginya dari hubungan suami-istri, seperti sakit atau kondisi serupa, maka ia tetap diminta mencabut sumpahnya secara lisan, sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
5 Fadilah Puasa Sunnah Muharram, Khusus Asyura Jadi Pelebur Dosa
4
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
5
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
6
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
Terkini
Lihat Semua