Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 232: Hak Perwalian untuk Menikahkan Perempuan yang Ditalak

Selasa, 19 November 2024 | 08:30 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 232: Hak Perwalian untuk Menikahkan Perempuan yang Ditalak

Ilustrasi pernikahan. Sumber: Canva/NU Online

Setelah pada ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 231, Allah menjelaskan mengenai wanita-wanita yang dicerai sebelum masa ‘iddah mereka selesai, maka pada ayat 232 Allah menjelaskan status mereka setelah masa ‘iddah berakhir. Ayat ini membahas wanita yang diceraikan oleh suaminya dan kemungkinan untuk menikah kembali, baik dengan mantan suaminya maupun dengan laki-laki lain.


Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 232:


وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ وَاَطْهَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٢٣٢


wa idzâ thallaqtumun-nisâ'a fa balaghna ajalahunna fa lâ ta‘dlulûhunna ay yangkiḫna azwâjahunna idzâ tarâdlau bainahum bil-ma‘rûf, dzâlika yû‘adhu bihî mang kâna mingkum yu'minu billâhi wal-yaumil-âkhir, dzâlikum azkâ lakum wa ath-har, wallâhu ya‘lamu wa antum lâ ta‘lamûn


Artinya: “Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai (habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan (calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)


Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 232

Syekh Wahbah Zuhaili dalam At-Tafsirul Munir menjelaskan riwayat dari Imam Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan ulama lainnya mengenai Ma'qil bin Yasar. Diceritakan bahwa Ma'qil pernah menikahkan saudara perempuannya dengan seorang pria muslim.


Setelah beberapa waktu, suaminya menceraikan istrinya dan tidak merujuknya hingga masa ‘iddah-nya berakhir. Kemudian, bekas suami tersebut berniat untuk kembali kepada istrinya, dan ternyata istrinya juga menginginkan hal yang sama. Bekas suami itu pun melamar kembali bersama pelamar lainnya. Namun, Ma'qil berkata kepadanya:


يا لكع، أكرمتك بها، وزوجتكها، فطلقتها؟! والله لا ترجع إليك أبدا


Artinya: “Hai orang tercela! Aku sudah memuliakanmu dengan menikahkanmu dengan saudariku itu, tapi kau malah menalak dia?! Demi Allah, selamanya dia tidak akan kembali kepadamu!”


Namun Allah swt. mengetahui kebutuhan lelaki itu kepada mantan istrinya dan kebutuhan mantan istri kepada bekas suaminya, maka Dia menurunkan firman-Nya,


وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ وَاَطْهَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٢٣٢


Artinya: “Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai (habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan (calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)


Setelah mendengar ayat ini, Ma'qil berkata, “Aku patuh kepada perintah Tuhanku.” Lalu ia pun memanggil orang itu dan berkata, “Aku nikahkan kau dengan saudara perempuanku ini.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 351)


Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat sababun nuzul di atas, ayat ini mengandung dalil bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. Sebab, saudari Ma’qil adalah seorang janda. Jika perkara pernikahannya sepenuhnya menjadi hak dirinya tanpa melibatkan wali, tentu ia dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa membutuhkan Ma’qil sebagai walinya.


Lebih lanjut, Imam Qurthubi menegaskan bahwa frasa فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ (maka janganlah kamu menghalangi mereka) dalam ayat ini ditujukan kepada para wali. Frasa tersebut menjadi dalil bahwa urusan pernikahan diserahkan kepada wali, dengan tetap membutuhkan persetujuan dari mempelai wanita.


Namun, Imam Qurthubi juga memaparkan pendapat lain yang mengatakan bahwa firman Allah tersebut ditujukan kepada para suami. Hal ini karena tindakan rujuk yang dilakukan tanpa niat baik dapat merugikan perempuan, menjadi penghalang bagi pinangan pihak lain, dan memperpanjang masa ‘iddah.


Sebaliknya, ayat ini juga dijadikan dalil oleh para sahabat Imam Abu Hanifah bahwa seorang wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa Allah menyandarkan urusan pernikahan langsung kepada perempuan, sebagaimana dalam firman-Nya:


فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ


Artinya, "Maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga dia kawin dengan suami yang lain." (QS. Al-Baqarah: 230). 


Dalam ayat di atas, Allah tidak menyebutkan peran wali. Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsirnya Jilid III (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964: 158-159),  pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama, yaitu bahwa pernikahan memerlukan wali, sesuai dengan sababun nuzul ayat ini.


Tafsirul Munir
Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam at-Tafsirul Munir-nya memberikan representasi mengenai ayat 232 surat al-Baqarah ini sebagai berikut:


وإذا طلقتم النساء معشر المؤمنين، وانقضت عدّتهن تماما، فلا يجوز لكم أيها الأولياء أن تمنعوهنّ من العودة إلى الزواج بالزوج السابق بعد الطلقتين الأولى والثانية، ولا يجوز لكم أيها الأزواج أيضا أن تمنعوهنّ بما لكم من النفوذ من الزواج بزوج آخر بعد الطّلقة الثالثة وانقضاء العدّة، إذا حصل التّراضي بين المرأة والخاطب لها، وكان الخاطب كفؤا، وبمهر المثل، ولم يكن هناك محظور شرعي

 

Artinya: “Jika kamu, wahai orang-orang beriman, menalak istri dan masa ‘iddah-nya sudah habis seluruhnya, kamu (para wali) tidak boleh menghalangi wanita itu untuk kembali menikah dengan mantan suaminya sesudah talak pertama dan talak kedua.


Dan kamu (suami) juga tidak boleh memakai pengaruhmu untuk menghalanginya menikah dgngan laki-laki lain sesudah talak ketiga dan habisnya ‘iddah apabila telah ada kerelaan hati antara si wanita dan lelaki yang melamarnya, sementara lelaki ini sepadan baginya dan memberi mahar mitsli (mahar rata-rata yang pantas) serta tidak ada pelanggaran hukum syariat.”


Larangan Wali Menghalangi Pernikahan Putrinya

Menurut Syekh Wahbah dalam Tafsirul Munir Jilid II (Damaskus, Darul Fikr, 1991: 355-356), ayat ini menunjukkan bahwa para wali wanita dilarang menghalangi putrinya untuk menikah jika ia dilamar oleh seseorang yang sepadan, dan keduanya telah sepakat untuk melangsungkan pernikahan.


Syekh Wahbah juga menegaskan bahwa umat, yang diwakili oleh para pemimpin dan ulama, memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama dalam mewujudkan maslahat umum. Mereka tidak boleh menghalangi perbuatan baik (makruf) atau membiarkan kemungkaran terjadi, karena hal ini dapat menyebabkan kehancuran dan kerusakan umat.


Larangan kepada wali untuk menghalangi wanita menikah kembali, serta hukum-hukum syariat lainnya, merupakan nasihat yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Mereka yang beriman akan menerima nasihat ini dan mematuhi perintah-Nya, karena sifat seorang mukmin adalah taat dan bersedia menerima kebenaran.


Larangan tersebut lebih baik dan lebih suci bagi umat. Artinya, larangan ini membawa keberkahan dan kebaikan bagi yang mengikutinya. Selain itu, larangan ini menjaga kehormatan, mencegah terjadinya penyimpangan pada wanita yang ditalak, dan melindungi dari perbuatan dosa (hlm. 355-356).

 

Pernikahan Tidak Bisa Terlaksana tanpa Wali

Merujuk pada penjelasan Syekh Wahbah, ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan tidak boleh dilangsungkan tanpa adanya wali. Hal ini didasarkan pada sebab turunnya ayat tersebut, yaitu kisah saudara perempuan Ma'qil yang berstatus janda. Jika pernikahan sepenuhnya menjadi hak wanita tanpa memerlukan wali, tentu ia dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa membutuhkan peran wali, dalam hal ini Ma'qil.


Syekh Wahbah menjelaskan bahwa khithab (objek pembicaraan) dalam frasa فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ ditujukan kepada para wali. Dengan demikian, urusan pernikahan berada di bawah kendali wali, namun tetap berdasarkan kerelaan wanita tersebut. Beliau juga menambahkan, jika wanita diperbolehkan menikah tanpa persetujuan wali, maka larangan para wali untuk menghalangi pernikahan akan menjadi tidak relevan. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.


Namun, menurut mazhab Hanafi, wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri karena Allah SWT menyandarkan pernikahan kepada dirinya. Dalam firman-Nya, Allah berfirman:


حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗۗ


Artinya: “...hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)


Dalam ayat tersebut, Allah tidak menyebut wali sebagai syarat pernikahan. Selain itu, menurut mazhab Hanafi, khithab dalam frasa فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ lebih tepat ditujukan kepada suami. Suami dilarang rujuk dengan niat menyengsarakan istri atau menghalanginya menikah dengan pria lain dengan memperpanjang masa 'iddah.


Mazhab Hanafi juga berpendapat bahwa firman Allah SWT: إِذا تَراضَوْا بَيْنَهُمْ menunjukkan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan melamar wanita secara langsung tanpa melalui wali, asalkan ada kesepakatan di antara keduanya. Praktik al-‘adhl (menghalangi wanita untuk menikah) hanya dapat terjadi setelah masa ‘iddah berakhir.


Adapun frasa بِالْمَعْرُوفِ menegaskan bahwa menghalangi wanita menikah dengan pria yang tidak sepadan tidak dihukumi haram. Sebagian ulama bahkan membolehkan wali melarang pernikahan apabila mahar yang diajukan berada di bawah standar mahar mitsil (sepadan). Penentuan kesepadanan ini didasarkan pada kebiasaan yang berlaku sesuai dengan norma syariat, bukan adat istiadat yang menyimpang.

 

Iman Mendorong Manusia untuk Menerima Nasihat

Menurut penjelasan Syekh Wahbah, frasa ذلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ menegaskan bahwa orang yang benar-benar beriman pasti akan menerima nasihat. Sebaliknya, mereka yang enggan mendengar nasihat dan tidak mematuhi perintah Allah bukanlah orang yang beriman sejati. Keimanan mereka hanya sebatas ucapan di bibir, sementara hati mereka tidak sepenuhnya beriman.

 

Syekh Wahbah juga menjelaskan bahwa syariat ilahi dirancang untuk melindungi maslahat umum (kepentingan masyarakat) dalam jangka panjang. Namun, manfaat ini seringkali sulit dipahami oleh manusia karena keterbatasan akal dan ketidakmampuan mereka untuk memprediksi masa depan.


Sebagaimana disebutkan dalam Tafsirul Munir karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili (hal. 355-356), syariat memberikan bimbingan yang terkadang melampaui kemampuan manusia untuk menalarnya, tetapi bertujuan menjaga kebaikan dan keadilan dalam masyarakat.


Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa Surat Al-Baqarah ayat 232 membahas tentang ketentuan hak perwalian dalam pernikahan seorang perempuan yang telah ditalak. Dengan kata lain, pernikahan tersebut tidak boleh dilangsungkan tanpa kehadiran wali. Wallahu a'lam.


Ustadz M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.