Syariah

4 Tingkatan Sanksi dalam Hukum Islam, dari Hudud hingga Ta’zir

NU Online  ·  Senin, 18 Agustus 2025 | 07:00 WIB

4 Tingkatan Sanksi dalam Hukum Islam, dari Hudud hingga Ta’zir

Ilustrasi hukum. (Foto: NU Online)

Hukum pidana Islam, secara terminologis dikenal sebagai Fiqih Jinayah, merupakan salah satu pilar utama dalam sistem syariat yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Secara fundamental, sistem ini memandang tindak pidana (atau disebut jarimah) bukan hanya sebagai pelanggaran terhadap norma sosial, melainkan juga sebagai pelanggaran terhadap ketetapan Allah Swt. Kerangka hukum ini dibangun di atas pondasi kuat berupa dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber hukum utama.

 

Tindak pidana dalam Islam diklasifikasikan menjadi beberapa kategori utama yang masing-masing memiliki jenis sanksi dan dasar penetapan yang berbeda. Kategori sanksi ini dapat dipahami sebagai "tingkatan" yang mencerminkan tingkat kepastian hukum, hak siapa yang dilanggar, dan fleksibilitas dalam penerapannya. Klasifikasi utama tersebut adalah hudud, qishas, diyat, dan ta'zir.

 

Hudud adalah sanksi tetap yang merupakan hak Allah dan bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umum. Qishas dan diyat adalah hukuman yang berfokus pada hak individu, memungkinkan rekonsiliasi dan pemaafan. Sementara itu, ta'zir berfungsi sebagai mekanisme fleksibel yang memberikan diskresi kepada hakim untuk menghukum kejahatan yang tidak ditentukan oleh nash, sejalan dengan prinsip pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai keempat tingkatan sanksi tersebut.

 

1. Hudud

Secara etimologi, kata hudud adalah bentuk jama’ dari lafal “had” yang bermakna ‘mencegah’. Disebut dengan had, karena ia bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan keji. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib-nya sebagai berikut,

 

الحدود جمع حَدٍّ، وهو لغةً المنعُ، وسميت الحدود بذلك لمنعها من ارتكاب الفواحش

 

Artinya: “Lafaz al-hudud adalah bentuk jama’ dari lafaz ‘had’. Secara bahasa, had bermakna mencegah. Disebut dengan nama had, karena bisa mencegah dari melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 280).

 

Adapun secara terminologi syariah, definisi hudud ataupun had adalah sebagai berikut,

 

تعريف الحد: الحد عقوبة مقدرة من قبل الشارع، فلا يجوز الزيادة عليها باسم الحد ولا النقصان منها

 

Artinya: “Had adalah hukuman yang telah ditetapkan dan ditentukan secara jelas oleh syariat. Oleh karena itu, hukuman had tidak boleh ditambah atau dikurangi dengan alasan apa pun. Hukuman ini bersifat tetap dan tidak dapat diubah.” (Dr. Musthafa Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1413 H], jilid VIII, hlm. 40).

 

Karakteristik Hudud

Sanksi hudud memiliki karakteristik utama yang membedakannya dari beberapa jenis sanksi lainnya. Berikut adalah beberapa karakteristik pembedanya:

 

a. Ditetapkan secara pasti

Hukuman hudud telah ditetapkan secara pasti oleh syariat untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Hakim tidak memiliki wewenang untuk mengubah, menambah, atau mengurangi hukuman tersebut. Hukuman ini bersifat tetap, tanpa mempertimbangkan kondisi atau latar belakang pelaku kejahatan.

 

b. Kewajiban menegakkan hukuman

Hukuman hudud bersifat wajib untuk ditegakkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukuman ini tidak bisa dibatalkan melalui pemaafan, pembebasan, perantaraan, atau pengguguran dengan alasan apa pun. Dengan kata lain, setelah hukuman hudud diputuskan, tidak ada pihak yang memiliki wewenang untuk menangguhkannya. Penegakan hukum ini menjadi kewajiban bagi pemerintah.

 

c. Hak Allah dalam hudud

Hukuman hudud, menurut para ulama mazhab, semuanya dianggap sebagai hak Allah. Ini berarti hukuman hudud bertujuan untuk melindungi kepentingan umum dan menjaga ketertiban masyarakat secara keseluruhan, bukan sekadar hak individu. Namun, terdapat pengecualian dan perbedaan pendapat dalam kasus hukuman qadzaf (tuduhan zina tanpa bukti). Hukuman ini menjadi perdebatan di kalangan ulama mengenai apakah ia termasuk hak Allah atau hak hamba. (Syekh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: tt], jilid. VII, hlm. 5281-5285)

 

Jenis-jenis Hudud dan Hukumannya

Terdapat enam jenis hudud yang hukumannya telah ditetapkan secara pasti. Berikut adalah beberapa jenis dan hukuman hudud tersebut:

 

a. Had zina

Zina adalah hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah. Hukuman had untuk pelaku zina dibedakan berdasarkan status pernikahan mereka. Pezina (az-zani) dibagi menjadi dua kategori: muhshan dan ghairu muhshan.

 

Pezina muhshan adalah seorang yang sudah baligh, berakal, merdeka, dan pernah melakukan hubungan seksual yang sah (dengan penetrasi) dalam pernikahan yang sah. Hukuman had-nya adalah rajam (al-rajm), yaitu dilempari dengan batu berukuran sedang bukan kerikil kecil atau batu besar hingga meninggal.

 

Pezina ghairu muhshan adalah pezina laki-laki atau perempuan yang belum memenuhi syarat muhshan. Hukumannya adalah seratus kali cambukan. Hukuman ini dinamakan cambukan karena mengenai kulit (jild). 

 

Selain cambukan, ada hukuman tambahan, yaitu pengasingan selama satu tahun. Jarak pengasingan minimal sejauh jarak dibolehkannya shalat qasar, atau lebih, sesuai kebijakan pemimpin (imam). Durasi satu tahun dihitung sejak awal perjalanan pengasingan, bukan dari saat ia tiba di tempat pengasingan. Hal yang utama, hukuman pengasingan ini dilakukan setelah hukuman cambukan. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 280).

 

b. Had qadzaf (menuduh zina)

Qadzaf adalah tuduhan zina palsu yang ditujukan kepada seorang muslim yang baik, tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi yang sah. Jika fitnah tuduhan zina (qadzaf) memenuhi syarat-syaratnya, maka hukumannya adalah dicambuk 80 kali dan kesaksiannya tidak diterima. Namun, jika penuduh tersebut bertobat, maka status kesaksiannya dapat kembali diterima. (Fiqhul Manhaji, jilid VIII, hlm. 66).

 

c. Had sariqah (pencurian)

Pencurian merupakan tindakan mengambil harta orang lain secara diam-diam dan tanpa izin. Hukuman had yang ditetapkan adalah potong tangan.

 

Jika hukuman potong tangan ditetapkan, maka urutannya adalah sebagai berikut:

 
  • Pencurian pertama: tangan kanan pencuri dipotong dari pergelangan tangan.
  • Pencurian kedua: jika ia mencuri lagi setelah tangan kanannya dipotong, maka kaki kirinya dipotong dari pergelangan kaki.
  • Pencurian ketiga: jika ia kembali mencuri, maka tangan kirinya dipotong.
  • Pencurian keempat: jika ia mencuri untuk keempat kalinya, maka kaki kanannya dipotong.
  • Pencurian kelima dan seterusnya: setelah hukuman keempat, jika ia masih mencuri, ia akan dihukum ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh hakim). Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ia dihukum mati.
 

Mengenai proses pemotongan, bagian yang dipotong akan dicelupkan ke dalam minyak atau lemak mendidih untuk menghentikan pendarahan dan sebagai bentuk penyiksaan. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 286).

 

d. Had khamar (minum minuman keras)

Adalah perbuatan mengonsumsi segala sesuatu yang memabukkan. Hukuman dasar bagi peminum yang merdeka adalah dicambuk 40 kali. Pemimpin (imam) diperbolehkan untuk menambah hukuman cambuk hingga mencapai 80 kali.

 

Tambahan ini (lebih dari 40 cambukan untuk orang merdeka, atau lebih dari 20 cambukan untuk budak) dianggap sebagai hukuman ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh hakim), bukan sebagai bagian dari had yang telah ditetapkan. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 284).

 

e. Had hirabah (perampokan)

Hirabah adalah tindak pidana pengambilan harta dengan kekerasan atau ancaman di jalanan, yang sering kali melibatkan pembunuhan. Hukuman untuk kejahatan ini bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan, mulai dari hukuman mati, disalib, potong tangan dan kaki secara berselang, hingga pengasingan. Ketentuan ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 33. (Fiqhul Manhaji, jilid VIII, hlm. 82-84)

 

f. Had riddah (murtad)

Riddah merupakan tindakan keluar dari agama Islam secara sengaja. Orang yang murtad wajib segera diminta untuk bertobat. Menurut pendapat yang paling shahih (al-ashah), permintaan tobat ini diberikan selama tiga hari. Dalam rentang waktu ini, ia diberi kesempatan untuk kembali kepada Islam.

 

Apabila orang yang murtad bertobat dan kembali kepada Islam, maka dia dibebaskan. Jika orang murtad tersebut tidak mau bertobat, maka ia akan dibunuh. Hukuman mati ini dilakukan oleh pemimpin (imam), biasanya dengan cara dipenggal lehernya. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 291-292).

 

2. Qishas

Dr Mushthafa Al-Khin dkk menjelaskan, qishas menurut etimologi adalah sebagaimana berikut:

 

القصاص مصدر قص يقص، من قص أثره إذا تتبع مواطئ أقدامه في المسير

 

Artinya: “Qishas adalah masdar (bentuk kata benda) dari kata kerja qashsha-yaqushshu. Secara harfiah, qishas berasal dari frasa ‘qashsha atsara,’ yang berarti mengikuti jejak langkah seseorang. Dengan demikian, makna dasarnya adalah ‘mengikuti’ atau ‘menelusuri’ sesuatu.” 

 

Sedangkan qishas menurut terminologi syariah adalah:

 

والمقصود به أن يفعل بالشخص مثل ما فعل بغيره من وجوه الأذى الجسمي، سواء أكان الفعل قتلًا أو دونه من الأضرار الجسمية.

 

Artinya: “Qishas adalah tindakan membalas kejahatan terhadap seseorang dengan melakukan hal yang serupa seperti yang dia lakukan.” (Fiqhul Manhaji, jilid VIII, hlm. 35)

 

Berbeda dengan hudud, sanksi qishas adalah haqqul adami (hak manusia), sehingga hukuman pokoknya dapat dimaafkan atau diganti dengan kompensasi (diyat). Adanya hak pemaafan ini merupakan bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan pilihan kepada keluarga korban untuk mencapai perdamaian.

 

Jenis Tindak Pidana dan Sanksi Qishas

Tindak pidana yang masuk dalam kategori qishas secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu pembunuhan (qatl) dan penganiayaan (jarh). Berikut adalah penjelasan rincinya:

 

a. Pembunuhan (qatl)

Para ulama membagi pembunuhan menjadi tiga jenis, yaitu:

Qatlul 'amd (sengaja): pembunuhan yang dilakukan dengan niat dan menggunakan alat yang lazimnya dapat membunuh. Hukuman pokoknya adalah qishas (hukuman mati), tetapi dapat diganti dengan diyat atau pemaafan jika wali korban bersedia.   

 

Qatl syibhul 'amd (semi-sengaja): pelaku sengaja melakukan perbuatan yang melukai, tetapi tidak berniat membunuh. Hukuman pokoknya adalah diyat mughalladzah (diyat berat) dan kafarat (penebus dosa).   

 

Qatlul khata' (tidak sengaja): perbuatan yang dilakukan tanpa niat untuk membunuh, tetapi berakibat hilangnya nyawa. Hukuman pokoknya adalah diyat dan kafarat. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 267-268)

 

b. Penganiayaan (jarh)

Hukuman qishas juga berlaku untuk melukai atau merusak anggota badan, seperti mata dibalas mata, telinga dibalas telinga, hidung dibalas hidung, dan seterusnya.

 

3. Diyat

Dr Mushthafa Al-Khin dkk menjelaskan, diyat menurut etimologi adalah sebagaimana berikut: 

 

الدية لغة: اسم مصدر من ودى يدي، وأصلها ودية على وزن فعلة، وهو دفع الدية   

 

Artinya: “Diyat secara etimologi adalah bentuk mashdar dari frasa, ودى يدي, yang berasal dari frasa, ودية yang mengikuti wazan, فعلة, dan mempunyai makna, 'memberikan diyat." (Fiqhul Manhaji, jilid VIII, halaman 40).   

 

Sedangkan diyat menurut terminologi syariah adalah:

 

 وهي المال الواجب بالجناية على حُرٍّ في نفس أو طرف   

 

Artinya: “Diyat adalah harta yang wajib dibayar sebab telah melukai orang merdeka, baik nyawa atau anggota badan.” (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 272).

 

Secara normatif dalam fiqih, diyat adalah sejumlah harta yang wajib dibayarkan oleh pelaku kejahatan kepada korban atau ahli warisnya sebagai ganti rugi atas tindak pidana yang berhubungan dengan jiwa (pembunuhan) atau anggota tubuh (penganiayaan).    

 

Diyat bukan hukuman pokok untuk semua kasus, tetapi sering kali menjadi alternatif atau pengganti dari hukuman qishash (pembalasan setimpal) jika keluarga korban memaafkan pelaku.

 

a. Bentuk dan Kadar Diyat

Mengenai kadar dan bentuk pembayaran diyat berbeda-beda tergantung dari jenis apa kasus kejahatan yang dilakukan. Jika kejahatan yang dilakukan adalah menghilangkan nyawa (diyat nafs), maka jumlah diyat yang dibayarkan sama, yaitu 100 ekor unta. Namun, ada perbedaan dalam cara pembayarannya kepada keluarga korban.

 

Sedangkan, jika kejahatan yang dilakukan adalah memotong atau menghilangkan fungsi salah satu anggota tubuh, maka tingkat bahaya dan fungsi anggota tubuh yang dilukai atau dipotong menjadi pertimbangan utama. (Fiqhul Manhaji, jilid VIII, hlm. 41-43).   

 

4. Ta'zir

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan, ta’zir menurut etimologi adalah sebagaimana berikut:

 

الأصل في التعزير لغة: المنع، ومنه التعزير بمعنى النصرة؛ لأنه منع لعدوه من أذاه

 

Artinya: “Secara bahasa, makna dasar dari kata ta'zir adalah mencegah atau menghalangi. Makna ini juga terkait dengan kata ta'zir yang berarti menolong atau mendukung, karena menolong seseorang berarti mencegah musuhnya menyakitinya.” 

 

Sedangkan ta’zir menurut terminologi syariah adalah:

 

وهو شرعًا: العقوبة المشروعة على معصية أو جناية لا حد فيها، ولا كفارة

 

Artinya: “Ta'zir adalah hukuman yang ditetapkan oleh syariat untuk suatu kemaksiatan atau kejahatan yang tidak memiliki hukuman had atau kafarat (tebusan) yang telah ditentukan.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid. VII, hlm. 5591)

 

Ta'zir adalah kategori sanksi yang tidak disebutkan secara spesifik jenis dan kadarnya dalam nash Al-Qur'an dan Hadis. Penetapan hukuman ini sepenuhnya diserahkan kepada penguasa atau hakim (waliyul amri) yang berijtihad untuk mencapai kemaslahatan umum. Berbeda dengan hudud yang pasti dan qisas-diyat yang memiliki batasan jelas, hukuman ta'zir bersifat sangat fleksibel, tanpa batas terendah atau tertinggi yang ditentukan secara syar'i.

 

Penyebab diberlakukannya hukuman ta'zir adalah tindak kejahatan yang tidak memiliki hukuman qisas, seperti halnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur atau saat haid, merampas, merampok, atau mencuri secara diam-diam (penggelapan), dsb. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid. VII, hlm. 5591)

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, hukum pidana Islam adalah sistem yang kaya dan berlapis, terdiri dari empat tingkatan sanksi utama: hudud, qisas, diyat, dan ta'zir. Setiap tingkatan memiliki karakteristik, sumber hukum, dan tujuan yang berbeda. 

 

Hudud adalah sanksi tetap yang merupakan hak Allah dan bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umum. Qisas dan diyat adalah hukuman yang berfokus pada hak individu, memungkinkan rekonsiliasi dan pemaafan. Sementara itu, ta'zir berfungsi sebagai mekanisme fleksibel yang memberikan diskresi kepada hakim untuk menghukum kejahatan yang tidak ditentukan oleh nash, sejalan dengan prinsip pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.