Tidak Diundang ke Pesta Pernikahan? Ini Adab Menyikapinya
Sabtu, 14 Juni 2025 | 19:00 WIB
Di era media sosial, kabar pernikahan seseorang sering kali menyebar luas bahkan sebelum undangan resmi dikirim. Dalam situasi seperti ini, tidak sedikit yang merasa tersisih ketika mengetahui ada teman atau kerabat yang menikah, namun mereka tak diundang. Perasaan kecewa, tersinggung, atau mempertanyakan nilai hubungan menjadi reaksi yang umum, meskipun tak selalu diungkapkan secara terbuka.
Namun perlu disadari bahwa keputusan untuk tidak mengundang seseorang bisa dipengaruhi banyak faktor, mulai dari keterbatasan anggaran, kapasitas tempat, hingga pertimbangan relasi prioritas. Dalam konteks ini, bagaimana seharusnya sikap kita? Apakah perasaan terluka itu wajar, dan bagaimana menyikapinya secara bijak tanpa memperburuk hubungan atau menambah beban emosional?
Hukum Menghadiri Resepsi Pernikahan
Sebelum lebih jauh membahas persoalan di atas, penulis ingin terlebih dulu menyampaikan dasar hukum menghadiri undangan dalam resepsi pernikahan menurut Islam. Pada prinsipnya, sebagai Muslim kita diwajibkan untuk menghadiri undangan tersebut, selagi tidak ada kendala atau udzur. Hal ini berdasar pada sabda Nabi dalam riwayat berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ، فَلْيَأْتِهَا
Artinya, "Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka hendaklah ia datang." (HR Muslim)
Hadits ini secara tegas menyebutkan dengan kata perintah (فَلْيَأْتِهَا) bahwa jika kita diundang dalam sebuah resepsi pernikahan, maka kita wajib menghadirinya. Berkaitan dengan sabda Nabi ini, Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim menyampaikan:
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيَأْتِهَا)، فِيهِ الْأَمْرُ بِحُضُورِهَا، وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِهِ، وَلَكِنْ هَلْ هُوَ أَمْرُ إِيجَابٍ أَوْ نَدْبٍ؟ فِيهِ خِلَافٌ. الْأَصَحُّ فِي مَذْهَبِنَا أَنَّهُ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مَنْ دُعِيَ، لَكِنْ يَسْقُطُ بِأَعْذَارٍ سَنَذْكُرُهَا إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
Artinya, "Sabda Nabi SAW: 'Jika salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia datang,' mengandung perintah untuk menghadirinya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hal itu merupakan sesuatu yang diperintahkan. Namun, apakah perintah itu bersifat wajib atau hanya anjuran? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat."
"Pendapat yang lebih kuat dalam mazhab kami menyatakan bahwa hukum menghadirinya adalah fardhu 'ain (kewajiban individual) bagi setiap orang yang diundang, tetapi kewajiban itu gugur jika ada uzur tertentu, yang insya Allah akan disebutkan." (An-Nawawi, [Kairo: Mathba'ah Al-Mishriyah, 1929], juz IX, halaman 334)
Penjelasan An-Nawawi di atas menunjukkan bahwa perintah (فَلْيَأْتِهَا) pada hadits tersebut menunjukkan adanya kewajiban hadir bagi setiap orang yang mendapat undangan di acara resepsi pernikahan. Meski terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab, mazhab Syafi'i condong kepada hukum wajib. Karena wajib, jika kita mendapat undangan namun tidak hadir, maka berdosa, kecuali ketidakhadirannya karena kendala tertentu.
Tidak Diundang, Perlukah Hadir?
Dipahami dari penjelasan sebelumnya bahwa kewajiban kita untuk hadir di acara resepsi pernikahan jika kita memperoleh undangan. Sehingga, secara prinsip ketika kita mendapat undangan, kita tidak ada kewajiban untuk hadir.
Dalam ilmu ushul fiqih, kata "idza du'iya" (إِذَا دُعِيَ) artinya "jika diundang" adalah syarat, sedangkan "fal ya'tiha" (فَلْيَأْتِهَا) yang berarti "hendaklah ia datang" adalah akibat atau implikasi dari syarat tersebut. Jika syaratnya tidak terpenuhi, yaitu tidak ada undangan, maka tidak ada kewajiban untuk hadir. Dengan kata lain, jika seseorang tidak diundang ke resepsi pernikahan, maka ia tidak wajib datang. Penjelasan ini juga didukung oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfa:
اعْلَمْ أَنَّ الشَّرْطَ عِبَارَةٌ عَمَّا لَا يُوجَدُ الْمَشْرُوطُ مَعَ عَدَمِهِ، لَكِنْ لَا يَلْزَمُ أَنْ يُوجَدَ عِنْدَ وُجُودِهِ، وَبِهِ يُفَارِقُ الْعِلَّةَ، إِذِ الْعِلَّةُ يَلْزَمُ وُجُودُهَا وُجُودَ الْمَعْلُولِ، وَالشَّرْطُ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْمَشْرُوطِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُودِهِ وُجُودُهُ.
Artinya, "Ketahuilah bahwa syarat adalah sesuatu yang tanpanya suatu hal yang disyaratkan (masyrut) tidak akan terjadi. Namun, keberadaan syarat tidak selalu menjamin terjadinya hal yang disyaratkan. Inilah yang membedakannya dengan ‘illat (sebab), karena jika sebab ada, maka akibatnya pun pasti ada. Sedangkan pada syarat, jika syaratnya tidak ada maka hal yang disyaratkan pasti tidak terjadi, tetapi jika syaratnya ada, belum tentu hal yang disyaratkan terjadi." (Al-Ghazali, [Beirut: Darul Kutub Al-'Ilmiah, 2014], halaman 408)
Persoalan menjadi lebih sensitif ketika yang menikah adalah teman dekat atau kerabat. Dalam hubungan yang erat, kehadiran sering kali dianggap sebagai kewajaran tanpa perlu undangan tertulis. Dalam masyarakat, adat ('urf) berperan besar menafsirkan norma sosial. Maka dari itu, seseorang yang memiliki ikatan emosional atau hubungan kekeluargaan biasanya secara otomatis dianggap masuk daftar undangan dan kehadirannya dianggap penting oleh pihak yang mengundang.
Namun, tidak adanya undangan tertulis tetap perlu dimaknai secara hati-hati. Walaupun adat bisa memunculkan "undangan otomatis", kita tetap harus mempertimbangkan kemungkinan adanya batasan teknis seperti kapasitas tempat atau anggaran terbatas. Maka, walau merasa dekat, bukan berarti boleh memaksakan diri untuk hadir. Kepekaan sosial dan kemampuan membaca situasi menjadi kunci agar tidak menambah beban penyelenggara acara.
Dalam Islam, adab dan prasangka baik (husnudz dzan) harus dijadikan pedoman dalam merespons keadaan ini. Tidak diundang bukan berarti tidak dihargai. Bisa jadi ada alasan pribadi atau teknis yang tidak bisa dihindari. Yang lebih utama adalah menjaga hubungan baik, mengucapkan selamat, dan mendoakan kebaikan bagi pengantin. Dengan demikian, hubungan tetap terjaga dan kita terhindar dari prasangka buruk yang merugikan hati dan ukhuwah. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.