Bahtsul Masail

Hukum Shalat Berjamaah dengan Media Televisi atau Live Streaming

Rabu, 21 Februari 2024 | 12:00 WIB

Hukum Shalat Berjamaah dengan Media Televisi atau Live Streaming

Ilustrasi: masjid - new normal - virus corona (NU Online)

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon bertanya Pengasuh Bahtsul Masail NU Online, bolehkah shalat berjamaah dengan tidak melihat imam atau tidak melihat jamaah depannya secara langsung, tetapi melalui media televisi atau cermin? Misalnya seperti shalat di masjid berlantai lebih dari tiga atau di ruang samping masjid. Terimakasih. (Mohammad Reza Amrullah).
 

 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Terimakasih atas pertanyaannya dan semoga penanya selalu dalam lindungan Allah swt. 
 

Dalam shalat berjamaah ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, makmum harus mengetahui pergerakan imam; dan kedua, imam dan makmum harus berkumpul dalam satu lokasi dengan standar yang telah ditetapkan dalam ilmu fiqih.

 

Pertama, makmum harus mengetahui pergerakan imam. Shalat berjamaah adalah menghubungkan gerakan makmum kepada imam dan mengikutinya dengan niat berjamaah. Karena itu, makmum harus mengetahui pergerakan imamnya pada saat itu, mulai dari takbiratul ihram, ruku’, i’tidal, hingga duduk tasyahhud dan salam. 

 

Untuk dapat mengetahui pergerakan imam, makmum dapat melakukannya dengan cara melihat, baik secara langsung, seperti melihat imam yang ada di depannya, atau secara tidak langsung seperti melihat shaf atau barisan shalat yang ada di belakang imam. 

 

Selain itu, untuk mengetahui pergerakan imam, makmum juga bisa melakukannya dengan cara mendengar, baik secara langsung dari suara imam, atau tidak langsung seperti mendengar suara muballigh, yaitu orang yang mengeraskan suara bacaan takbirnya untuk memberitahukan perpindahan rukun shalatnya imam. 
 


وَ ثَانِي الشُّرُوطِ عِلْمُهُ أَيْ الْمَأْمُومُ بِانْتِقَالِ الْإِمَامِ لِيَتَمَكَّنَ مِنْ مُتَابَعَتِهِ بِرُؤْيَةٍ لَهُ أَوْ لِبَعْضِ الصَّفِّ أَوْ نَحْوِهَا كَسَمَاعٍ لِصَوْتِهِ أَوْ صَوْتِ مُبَلِّغٍ

 

Artinya “Syarat kedua adalah makmum harus mengetahui pergerakan imam sehingga dia dapat mengikutinya dengan cara melihat langsung pada imam, sebagian shaf atau semisalnya, seperti mendengar suara imam atau suara muballigh (orang yang menyampaikan suara imam).” (Abu Yahya Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab bisyarhi Manhajith Thullab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], juz I, halaman 116).

 


Di antara hal yang perlu diperhatikan saat berjamaah dengan media televisi atau live streaming adalah adanya jeda waktu antara pergerakan imam dan penayangan. Dalam kajian fiqih, mengetahui pergerakan imam tidak harus seketika, boleh ada jeda waktu antara gerakan imam dengan penayangan namun dengan ketentuan tidak menyebabkan makmum tertinggal dua rukun lebih dari imamnya, karena hal itu dapat membatalkan shalat. 
 


قَوْلُهُ: وَعَلِمَهُ بِانْتِقَالَاتِ الْإِمَامِ إلَخْ  أَيْ لَا فَوْرًا بَلْ قَبْلَ أَنْ يَشْرَعَ فِي الرُّكْنِ الثَّالِثِ ا هـ . ح ل . وَعِبَارَةُ ق ل عَلَى الْجَلَالِ قَوْلُهُ وَعَلِمَهُ بِانْتِقَالَاتِ الْإِمَامِ أَيْ قَبْلَ سَبْقِهِ بِمُبْطِلٍ كَرُكْنَيْنِ فِعْلِيَّيْنِ ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ انْتَهَتْ 

 

Artinya, “(Ungkapan pengarang kitab tentang mengetahui pergerakan imam. Maksudnya, tidak harus segera, tetapi sebelum imam memulai rukun ketiga (Al-Halabi). Ungkapan Al-Qulyubi mengacu pada pernyataan Jalaluddin Al-Mahalli tentang mengetahui gerakan imam, yaitu sebelum tertinggal gerakan imam yang dapat membatalkan shalat, seperti tertinggal dua rukun gerakan, meskipun makmum tidak mengetahuinya. Selesai.” (Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Hasyiah Al-Jamal, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz II, halaman 246).
 


Prinsipnya, agar makmum dapat mengikuti gerakan imam, maka ia harus mengetahui pergerakan imamnya dengan cara dan media apapun, termasuk dengan melihat cermin atau media televisi yang disiarkan secara langsung (live) dengan ketentuan tidak ada jeda dalam penayangannya yang dapat menyebabkan makmum tertinggal 2 rukun lebih dari imamnya.

 

Kedua, makmum berkumpul bersama imam dalam satu lokasi. Di antara syarat berjamaah adalah makmum harus berkumpul dengan imam dalam satu lokasi. Dalam penerapannya, berkumpulnya makmum bersama imam dapat dibagi menjadi empat keadaan dengan standar yang berbeda, yaitu:

  1. Imam dan makmum ada di dalam masjid.
  2. Imam dan makmum ada di luar masjid. 
  3. Imam di dalam masjid dan makmum di luar masjid. 
  4. Imam di luar masjid dan makmum di dalam masjid.


 

Jika imam dan makmum sama-sama berada di dalam masjid, maka hukum jamaah sah meskipun jaraknya jauh dan berada dalam ruangan yang berbeda, selama terdapat pintu atau tangga yang menghubungkan keduanya. 
 


وَإِذَا جَمَعَهُمَا مَسْجِدٌ صَحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ بَعُدَتْ الْمَسَافَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ وَحَالَتْ أَبْنِيَةٌ مُتَنَافِذَةٌ أَبْوَابُهَا ... وَلَوْ مُغْلَقَةً غَيْرَ مُسَمَّرَةٍ كَبِئْرٍ وَسَطْحٍ وَمَنَارَةٍ دَاخِلَةٍ فِيهِ لِأَنَّهُ كُلَّهُ مَبْنِيٌّ لِلصَّلَاةِ ، فَالْمُجْتَمِعُونَ فِيهِ مُجْتَمِعُونَ لِإِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ مُؤَدُّونَ لِشِعَارِهَا

 

Artinya, “Jika suatu masjid mempertemukan imam dan makmum, maka sah jamaahnya, meskipun jaraknya jauh antara mereka dan terhalang oleh bangunan-bangunan yang saling terhubung dengan pintu-pintunya, sekalipun tertutup selama tidak dipaku, seperti (shalat di) sumur, atap, dan menara yang ada di dalam masjid.” (Muḥammad bin Aḥmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, [Mesir, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi: 1967], juz II, halaman 199).
 


Jika ruangan imam dan makmum tidak saling terhubung, semisal pintunya telah dipaku dan tidak bisa dilewati, atau lantai atas yang tidak terdapat tangga untuk turun di dalam masjid, maka makmum tidak dianggap berkumpul bersama imam, sehingga shalat jamaahnya tidak sah meskipun makmum dapat melihat pergerakan imam melalui siaran televisi. 

 


بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ فِي بِنَاءٍ غَيْرِ نَافِذٍ كَأَنْ سُمِّرَ بَابُهُ وَإِنْ كَانَ الِاسْتِطْرَاقُ يُمْكِنُ مِنْ فُرْجَةٍ مِنْ أَعْلَاهُ فِيمَا يَظْهَرُ لِأَنَّ الْمَدَارَ عَلَى الِاسْتِطْرَاقِ الْعَادِيِّ ، وَكَسَطْحِهِ الَّذِي لَيْسَ لَهُ مَرْقَى ، أَوْ حَالَ بَيْنَ جَانِبَيْهِ أَوْ بَيْنَ الْمَسْجِدِ وَرَحْبَتِهِ ، أَوْ بَيْنَ الْمَسَاجِدِ الْمَذْكُورَةِ نَهْرٌ أَوْ طَرِيقٌ قَدِيمٌ بِأَنْ سَبَقَا وُجُودَهُ أَوْ وُجُودَهَا فَلَا يَكُونُ كَالْمَسْجِدِ بَلْ كَمَسْجِدٍ وَغَيْرِهِ 

Artinya “Berbeda jika berada pada bangunan yang tidak saling terhubung, seperti pintunya dipaku, meskipun dapat lewat lubang dari atas seperti yang sudah jelas, karena patokannya adalah dapat lewat secara normal. Juga seperti lantai atas yang tidak ada tangganya, atau ada penghalang di antara kedua sisinya, atau antara masjid dan serambinya, atau di antara masjid-masjid tersebut ada sungai, atau jalan lama yang mendahului keberadaan masjid, sehingga tidak dihukumi seperti dalam satu masjid, melainkan seperti masjid dan selainnya.” (Muḥammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz II halaman 199).
 


Sedangkan jika imam dan makmum, keduanya atau salah satunya berada di luar masjid, maka disyaratkan tidak ada penghalang yang dapat menghalangi untuk menuju imam dan jaraknya tidak melebihi 300 dzira’ (144 m).

 


 قَوْلُهُ: اِشْتِرَاطُ عَدَمِ الْحَيْلُوْلَةِ أَيْ اشْتِرَاطُ أَنْ لَا يُوْجَدَ حَائِلٌ بَيْنَهُمَا يَمْنَعُ الْاِسْتِطْرَاقَ إِلَى الْاِمَامِ عَادَةً وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا الْقُرْبُ بِأَنْ لَا يَزِيْدَ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَثِمِائَةِ ذِرَاعٍ إِنْ كَانَا - أَوْ أَحَدُهُمَا - فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ وَإِلَّا فَلَا يُشْتَرَطُ

Artinya “(Ungkapan Penulis: "Syarat tidak terhalang"), maksudnya disyaratkan di antara mereka tidak ada penghalang yang biasa menghalangi untuk maju menuju imam secara normal, dan juga disyaratkan dekat, dengan gambaran jarak antara mereka tidak lebih dari 300 hasta jika mereka–atau salah satunya–berada di tempat selain masjid. Jika tidak, maka jarak dekat tidak menjadi syarat.” (Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiah I’anathuth Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2019],  juz II, halaman 35).



Simpulan

Shalat berjamaah dengan tidak melihat imam atau jamaah depannya secara langsung, tetapi melalui media televisi, live streaming, atau cermin, dapat dihukumi sah dengan dua catatan:
 

Pertama, makmum dapat mengikuti gerakan imam secara langsung tanpa tertinggal lebih dari dua rukun.
 

Kedua, imam dan makmum masih berkumpul dalam satu lokasi dengan standar sebagai berikut:

  1. Jika keduanya sama-sama berada di dalam masjid, maka yang terpenting ruangan imam dan makmum saling terhubung dengan adanya pintu meskipun tertutup, atau tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah.
  2. Jika keduanya atau salah satunya berada di luar masjid, maka disyaratkan tidak adanya penghalang bagi makmum untuk bisa berjalan menuju imam dan jarak keduanya tidak lebih dari 300 hasta (144 m). Wallahu a’lam.


 

Ustadz Muhammad  Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jawa Timur.