Bahtsul Masail

Hukum Suara Imam Perempuan dalam Shalat Jamaah

Kam, 5 Januari 2023 | 09:00 WIB

Hukum Suara Imam Perempuan dalam Shalat Jamaah

Pelajar perempuan di Jombang Jawa Timur sedang melaksanakan shalat berjamaah. (Ilustrasi: NU Online).

Assalamu 'alaikum wr wb. Redaktur NU Online, saya mau bertanya. Kalau shalat berjamaah perempuan saja dan imamnya perempuan apa suaranya dikeraskan juga atau disirrkan (dipelankan), pada shalat Maghrib, Isya dan Subuh? Terima kasih. (Hapsi Alawi)


Jawaban

Wa'alaikumus salam wr wb.

Penanya dan pembaca yang terhormat. Semoga kita selalu dalam yang dan pertolongan Allah swt.


Sebagaimana kita tahu, shalat itu ada shalat jahriyah, yaitu yang disunnahkan dengan suara keras; dan shalat sirriyah, yaitu yang disunahkan dengan suara pelan. Dalam konteks shalat fardhu lima waktu, shalat Zuhur dan Asar merupakan shalat sirriyah; sedangkan shalat Maghrib, Isya, dan Subuh adalah shalat jahriyah.


Dalam shalat jahriyah bagi imam disunnahkan mengeraskan suara takbiratul ihram, Al-Fatihah beserta bacaan amin dan surat setelahnya pada dua rakaat pertamanya, takbir intiqal atau perpindahan gerakan shalat, bacaan tasmi' atau sami‘allāhu liman hamidah saat bangun dari rukuk, doa qunut, dan salam saat keluar dari shalat. Namun demikian, hukum sunnah mengeraskan suara bagi imam ini adalah bila ia laki-laki.


Lalu bagaimana ketika yang menjadi imam adalah perempuan bagi para makmum yang perempuan juga sebagaimana dalam pertanyaan?


Maka dalam kasus seperti itu hukumnya diperinci sebagai berikut:


1. Bila imam perempuan itu shalat di hadapan laki-laki non mahram, maksudnya di dekat tempat shalatnya ada lelaki nonmahram, maka ia tidak sunah mengeraskan suaranya; dan


2. Bila imam perempuan itu tidak shalat di hadapan laki-laki non mahram, maksudnya di dekat tempat shalatnya tidak ada lelaki nonmahram, seperti adanya lelaki mahram atau sesama wanita, maka sunnah mengeraskan suara. 


Menjelaskan perincian hukum seperti ini, Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu' mengatakan:


وأما المرأة فقال أكثر أصحابنا إن كانت تصلى خالية أو بحضرة نساء أو رجال محارم جهرت بالقراءة سواء صلت بنسوة أو منفردة وإن صلت بحضرة اجنبي أسرت وممن صرح بهذا التفصيل المصنف والشيخ أبو حامد والبندنيجي وأبو الطيب في تعليقهما والمحاملى في المجموع والتجريد وآخرون وهو المذهب


Artinya, “Adapun perempuan, maka mayoritas ulama mazhab Syafi'i berpendapat, bila perempuan shalat di tempat sepi, di hadapan perempuan; atau di hadapan lelaki mahram, maka ia sunah mengeraskan suara bacaan Al-Qur'an (dan semisalnya), baik ia shalat dengan mengimami jamaah perempuan atau shalat sendiri. Namun bila perempuan itu shalat di hadapan lelaki nonmahram, maka ia sunnah melirihkan bacaannya. Di antara ulama yang secara terang-terangan memerinci hukum seperti ini adalah penulis Kitab Al-Muhadzdzab yaitu Abu Ishaq As-Syirazi, Syekh Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Bandaniji dan Abut Thayyib dalam Kitab Ta'liq mereka berdua, Imam Al-Mahamili dalam Kitab Al-Majmu' dan Kitab At-Tajrid, dan ulama lainnya. Inilah pendapat Al-Mazhab” (An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhaddzab, juz III, halaman 390).


Dari uraian Imam An-Nawawi ini menjadi sangat jelas, hukum mengeraskan suara dalam shalat jahriyah bagi imam perempuan adalah diperinci. Sunnah mengeraskan suara dalam shalat jahriyah bila di dekat tempat shalatnya tidak ada lelaki nonmahram, dan tidak sunnah mengeraskan suara bila ada lelaki nonmahram.


Yang perlu dicatat, maksud hukum tidak sunnah mengeraskan suara dalam shalat jahriyah bagi wanita yang shalat di dekat lelaki nonmahram adalah hukum makruh. Dalam hal ini Imam Ar-Ramli menjelaskan:


وأفتى به الوالد رحمه الله تعالى فقد صرحوا بكراهة جهرها بها في الصلاة بحضرة أجنبي وعللوه بخوف الافتتان


Artinya, “Al-Walid Syihabuddin Ar-Ramli telah memfatwakan tidak haramnya perempuan mengeraskan suara bacaan Al-Qur'an di dalam dan di luar shalat. Karena ulama telah terang-terangan menghukumi makruh suara keras bacaan Al-Qur'an perempuan di dalam shalat di hadapan lelaki nonmahram. Mereka bergumen dengan kekhawatiran adanya fitnah lelaki nonmahram itu tergoda suaranya.” (Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1404 H/1984 M], juz I, halaman 408).


Simpulan

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum mengeraskan suara dalam shalat Maghrib, Isya, dan Subuh bagi perempuan yang menjadi imam jamaah perempuan adalah diperinci. Sunnah bila di dekat tempat shalat tidak ada lelaki nonmahram, dan makruh bila ada. Adapun kemakruhan ini karena khawatir lelaki nonmahram itu akan tergoda dengan suaranya. Wallahu a'lam.


Semoga jawaban dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh penanya dan para pembaca pada umumnya. 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online