Syariah

Belajar dari Kasus BTC-Panda: Begini Skema Ponzi Bisnis Haram Mata Uang Virtual

Ahad, 27 September 2020 | 14:45 WIB

Belajar dari Kasus BTC-Panda: Begini Skema Ponzi Bisnis Haram Mata Uang Virtual

Mata uang virtual sangat rentan hangus karena tak ada regulasi atau otoritas resmi yang menjaminnya.

Bitcoin merupakan salah satu jenis mata uang virtual atau yang sering dikenal sebagai virtual currency. Bitcoin diterbitkan tidak dari otoritas resmi keuangan suatu negara sehingga tidak memiliki jaminan hukum.

 

Meski tidak dari otoritas resmi suatu negara, namun bitcoin memiliki nilai dan harga. Timbulnya harga ini disebabkan, antara lain (1) bisanya ia dijualbelikan sehingga secara tidak langsung mendapat kepercayaan dari entitas bisnis, dan (2) bitcoin dapat ditambang (mining) dengan jalan memecahkan kode aritmatika yang sulit melalui sebuah jaringan dan (3) bitcoin ditransaksikan dari jaringan ke jaringan (peer to peer).

 

Karena tidak memiliki otoritas pelindung resmi, maka virtual currency memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Tingkat kerentanan ini sebenarnya bermula dari beberapa aspek yang melandasi diterimanya bitcoin sebagai mata uang, antara lain:

 

  1. Tanpa regulator, sehingga tidak ada kepastian hukum dan memastikan keamanannya.
  2. Transaksi person to person tanpa lembaga perantara resmi. Sehingga, bila terjadi penyelewengan atau ketidakadilan dalam transaksi maka tidak ada satu entitas lembaga yang akan menanganinya. Di sini letak sulitnya, para korban mendapatkan pelayanan pengusutan. Jika penyelewengan transaksi itu terjadi melalui skema transaksi yang nyata, semacam lewat jaringan MLM, maka mudah dilacak.

Namun, pada transaksi antarorang lewat jaringan peer to peer ini, selain objek transaksinya sudah tidak nyata (virtual), juga berujung sulit untuk dilacak, sebab pola transaksi bitcoin adalah cenderung irreversible (tidak dapat balik), maksudnya: bitcoin yang sudah ditransaksikan, tidak bisa ditarik kembali/dibatalkan. Alhasil, harus jadi.

  1. Identitas pengguna dapat disamarkan, sehingga rawan digunakan untuk kegiatan yang bersifat ilegal, misalnya tindak kasus pencucian uang (money laundry)
  2. Tidak terdapat entitas sentral sebagai penanggung jawab, sehingga harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran (supply and demand).

 

Karena ketiadaan otoritas yang tersentralisasi dan mengatur ini, maka bitcoin (virtual currency) cenderung menunjukkan karakteristiknya, sebagai berikut:

  1. Nilai tukarnya menjadi sangat fluktuatif, sehingga rentan terhadap risiko. penggelembungan (bubble).
  2. Potensi untuk digunakan dalam tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
  3. Rentan terhadap serangan siber.

 

Modus Operandi Skema Ponzi pada Virtual Currency

Nilai tukar yang fluktuatif, tidak ada otoritas yang mengawasi, dan sulit dijerat hukum, merupakan potensi terbesar bagi pintu masuknya para pelaku bisnis haram (skema ponzi) ke ruang baru virtual currency. Kecenderungan mata uang virtual untuk mengalami bubble, seringkali dipergunakan sebagai kedok untuk menjanjikan profit yang tinggi kepada orang lain.

 

Sudah pasti agar kedoknya itu terbungkus rapi, mereka perlu alat untuk melakukan kamuflase, sehingga seolah-olah telah terjadi kerja/usaha pengembangan harta di sana. Dan satu-satunya alat yang berpotensi digunakan adalah minner.

 

Caranya, melalui minner ini, mereka menawarkan jasa penambangan. Jika untuk mining sendiri memerlukan waktu yang sangat lama dan butuh alat yang mahal, maka hal itu disiasati dengan jalan “bagaimana jika proses mining itu dilakukan secara bersama-sama alias nebeng server?"

 

Agar banyak yang tertarik dan tidak curiga, maka ditampilkanlah potensi bubble dari mata uang virtual money kepada calon konsumennya. Dikemasnya pola penawaran itu dengan janji-janji profit/keuntungan.

 

Di sinilah, mereka kemudian bergerak membentuk suatu komunitas jaringan (networks) yang kemudian disebutnya sebagai saling bantu membantu dalam mining, atau penyewaan minner (alat tambang). Mirip-mirip pola ta'awun lah intinya, yang belakangan juga muncul sebagai pola skema ponzi gaya baru.

 

Selanjutnya dari jaringan ini mereka bersiasat, yaitu agar cepat mendapatkan keuntungan, maka dibuatlah pola upline - downline.

 

Karena tidak ada barang, dan polanya memainkan setor-setor uang saja kepada pihak upline, maka tampaklah pola upline-downline ini sebagai skema ponzi sebab memiliki struktur piramida dan yang terasa adalah kerja mencari anggota dan setor uang ke upline. Mirip dengan arisan berantai, bukan?

 

Agar banyak orang yang tertarik untuk ikut serta, maka ditawarkanlah “bonus” bagi siapa saja yang bisa mengajak anggota baru. Sudah barang tentu, anggota baru ini akan membayar sejumlah uang kepada upline-nya. Karena si upline merasa berhak mendapat bonus, maka ia potong uang dari member baru ini, dan sisanya disetorkan ke para leadernya untuk dibagi-bagi. Alhasil, sewa alat tambang (minner) hanya merupakan kedok semata.

 

Apa dan Siapa BTC Panda?

BTC-Panda merupakan platform yang didirikan dengan menawarkan jasa persewaan minner (alat tambang). Visinya adalah saling bantu membantu dalam melakukan penambangan bitcoin antarsesama anggotanya.

 

Skema bisnis yang dimiliki oleh BTC-Panda sama persis dengan apa yang telah kita uraikan di atas, yaitu berstruktur piramida. Jadi, menyewakan alat tambang (minner) hanyalah merupakan kedok saja sebab pola penyewaannya harus memakai sistem leader atau upline-downline.

 

Jika benar bahwa BTC Panda menyewakan alat mining, semestinya member sendirilah yang seharusnya melakukan proses penambangan. Sebab ia yang menyewa. Namun, praktik itu tidak terjadi dalam BTC-Panda. Oleh karenanya, investasi dalam mining bitcoin oleh BTC-Panda hanyalah merupakan kedok semata sehingga hukumnya adalah haram.

 

Sekelumit Mengenal Potensi Bubble pada Virtual Currency

Apa itu bubble? Secara bahasa, bubble diartikan sebagai gelembung. Namun, bubble dalam virtual currency ini secara istilah dapat dimaknai sebagai penggelembungan spekulatif terhadap suatu entitas virtual currency, yang mana nilai intrinsiknya (nilai tukarnya) tidak sesuai dengan nilai ekstrinsiknya (nilai bahan).

 

Kita buat pengandaian terhadap nilai selembar mata uang kertas, dan kita anggap bahwa setiap lembar mata uang kertas itu berjamin emas.

 

Harga yang tercantum sebagai nilai intrinsik sebesar 100 ribu rupiah merupakan perwakilan dari kepemilikan emas seberat satuan tertentu yang terdapat di BI. Emas ini merupakan nilai ekstrinsik yang merupakan bagian dari underlying asset (aset yang menjadi dasar) dari nilai tukar 100 ribu.

 

Nah, pada virtual currency ini, nilai underlying asset-nya tidak dimiliki secara langsung melainkan menumpang (nebeng) pada nilai-nilai mata uang di mana bitcoin itu ditambang. Jika ditambang di Indonesia, maka underlying asset-nya nebeng ke rupiah. Jika ditambang di Malaysia, maka underlying assetnya nebeng ke Ringgit. Jadi, jika dirunut lebih lanjut, maka nilai jaminan itu terletak pada mata uang fisik negara di mana virtual money itu ditambang.

 

Namun, keunikannya, bitcoin bisa digelembungkan nilainya karena ada pihak yang membutuhkan. Sudah barang tentu, nilai gelembungnya ini tidak sesuai lagi dengan nilai underlying asset-nya, yaitu mata uang fisik itu sendiri. Alhasil nilai tukarnya pun bisa berubah-rubah, bahkan meski terhadap nilai mata uang di mana virtual money itu berasal. Inilah bubble.

 

Jadi, posisi bubble pada virtual currency, adalah seolah menyerupai anda membeli uang klasik. Uang klasik bernilai dan berharga tinggi di tangan kolektor pedagang antik. Uangnya bernilai 1 sen, tapi harganya 1 Milyar. Nilai tukar tidak sesuai dengan nilai bahan. Hal yang sama juga terjadi pada virtual money, meskipun ia bukan berstatus barang antik.

 

Potensi rawan mengalami bubble, bagi para ekonom dan pakar moneter, perlu diwaspadai. Ini yang melandasi mengapa pihak pemegang otoritas moneter di Indonesia (BI), masih belum menerima bitcoin dan mata uang virtual lainnya sebagai alat transaksi legal di Indonesia.

 

Lebih lanjut, karena potensi buble itu maka bitcoin sendiri dan mata uang virtual lainnya, hingga detik ini juga terkadang masih dicurigai sebagai bagian dari skema ponzi. Penyebabnya, karena underlying asset-nya tidak jelas. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur