Syariah

Fiqih Industri dan Ruang Lingkup Kajiannya

Jum, 28 Januari 2022 | 20:15 WIB

Fiqih Industri dan Ruang Lingkup Kajiannya

Fiqih Industri dan Ruang Lingkup Kajiannya

Industri seringkali dimaknai sebagai sebuah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan produk berupa barang (ain) atau jasa (manfaat) yang bernilai lebih tinggi dibanding bahan bakunya.

 

Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi maka rukun industri pada dasarnya ada 5, yaitu:

 
  1. Adanya aktivitas pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau barang setengah jadi sehingga harganya lebih mahal dibanding aslinya
  2. Adanya pihak karyawan yang bekerja (‘ummal) sesuai dengan standar operating procedure (SOP) yang telah ditetapkan oleh pemilik modal (rabbu al-maal)
  3. Adanya modal yang disertakan oleh pemiilik modal, baik berupa bahan baku industri atau bahkan lokasi industri itu sendiri
  4. Adanya hasil berupa produk industri yang terdiri dari barang atau jasa.
  5. Adanya sistem bagi hasil (mudharabah) atau sistem pengupahan (ijarah), prestasi (ju’alah), dan sejenisnya.
 

Saat diksi industri ini dilekatkan dengan diksi fiqih, maka ada pengertian baru yang muncul di sana. Apa itu?

 

Sebagaimana kita ketahui, bahwa fiqih adalah sebuah ilmu yang berbicara mengenai hukum-hukum syara’ (al-ilmu bil ahkami al-syar’iyyah) yang digali lewat dalil-dalil tafshily (rinci) dengan mekanisme ijtihad.

 

Berangkat dari penggabungan dua diksi itu maka yang dimaksud sebagai fiqih industri, sudah barang tentu memiliki wilayah cakupan ruang kajian yang terdiri dari hukum-hukum syara’ dengan objek hukumnya (mahkum bih) terdiri dari aktivitas perindustrian. Alhasil, kelima rukun industri di atas, secara tidak langsung menjadi objek garapan pembahasannya.

 

Berangkat dari sini, maka pertanyaan yang seyogianya harus ditelaah dan dikupas berkaitan dengan fiqih industri adalah meliputii hal-hal yang secara tertib urutannya sebagai berikut:

  1. Apakah proses pengolahan bahan baku menjadi barang jadi sudah memenuhi standar pengolahan sesuai syara’?
  2. Apakah relasi karyaawan dan pemodal sudah memenuhi standar akad yang telah dilegalkan oleh syara’?
  3. Apakah tujuan dasar dari kegiatan industri ini merupakan yang legal dan dibenarkan oleh syara’?
  4. Apakah produk yang dihasilkan oleh industri itu sudah memenuhi standar produk sesuai syara’?
  5. Apakah sistem bagi hasil dari industri ini sudah sesuai dengan ikatan / relasi akad yang dibangun?
 

Kemampuan menelaah dan melakukan perincian terhadap kelima pertanyaan ini, secara tidak langsung menjadi tugas utama guna menghadirkan fiqih produksi ke hadapan masyarakat umum secara luas, sehingga menjadi tepat sasaran dan tepat guna.

 

Namun, karena ruang lingkup kajiannya adalah bab fiqih namun dengan background utama adalah dunia industri, maka alangkah lebih baik apabila susunan pengkajian menyesuaikan dengan tertib urutan fiqih muamalah yang selama ini telah kita kaji bersama. Apa saja?

 

Pertama, shighah akad yang memungkinkan berlaku dan terjadi dalam dunia industri antara sesama para investor, antara investor dengan karyawan produksi, antara investor dengan mitra lainnya, seperti toko retail, dan sejenisnya

 

Kedua, muta’aqidain (dua pihak yang berakad). Objek yang menjadi kajian sudah pasti berkaitan dengan sah tidaknya kedua pelaku sebagai ahli tasharruf (pengelola) harta. Apabila akadnya berbasis kemitraan, maka objek yang dikajii adalah sah atau tidaknya kedua pihak yang berakad tersebut sah berlaku sebagai syarik, sebagai ‘amil qiradl, sebagai mudharib atau bahkan ‘amil murabahah.

 

Ketiga, objek kegiatan industri. Yang dikaji dalam wilayah ini sudah pasti berkaitan dengan jenis-jenis kegiatan produksinya. Misalnya, industri itu bergerak di bidang perdagangan, ekspor impor, atau kegiatan produksi khamr, obat-obatan, racun serangga, kosmetik, dan lain sebagainya. Wilayah-wilayah pendistribusian, dan sumber pengambilan bahan mentah yang diwujudkan untuk dijual, merupakan bagian dari objek garapan jenis kegiatan industri tersebut.

 

Keempat, produk industri itu sendiri. Misalnya Grab atau Gojek, maka produk yang dijanjikan adalah jasa transportasi. Jikalau produk itu berupa barang, apakah barangnya sudah masuk kategori barang yang sah diperjualbelikan atau tidak.

 

Kelima, adalah sistem bagi hasil deviden, sistem pemberian kompensasi ganti rugi kerusakan terhadap lingkungan, sosial dan etika, yang secara tidak langsung merupakan imbas terjadinya akad.

 

Demikianlah sekadar pengantar untuk masuk dalam ruang yang lebih jauh guna membahas fiqih industri tersebut. Insyaallah, kita akan gali sedikit demi sedikit terkait dengan hal-hal yang sudah penulis sebutkan di atas tadi.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur