Syariah

Forward Trading Emas di Pasar Berjangka

Sab, 24 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Forward Trading Emas di Pasar Berjangka

Trading emas dengan sistem forward di pasar berjangka  harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan disepakati oleh ulama dalam praktik akad salam (pesan).

Ada dua mekanisme transaksi jual beli di dalam Islam, dilihat dari sisi penyerahan harga dan barangnya. Pertama, adalah transaksi kontan (halan). Kedua, yaitu transaksi kredit atau tempo.

 

Transaksi jual beli tempo sudah kita uraikan terdahulu sebagai akad transaksi penyerahan barang di depan, dengan harga yang akan diserahkan kemudian, tanpa diketahui batas waktu penyerahan. Harga ditetapkan berdasar harga yang berlaku saat akad kontrak itu terjadi. Dalam pasar turunan, akad seperti ini dikenal dengan istilah transaksi swap. Hukum keharaman berlaku apabila terdapat unsur gharar (spekulatif), maisir (perjudian), dan riba, yang ditandai oleh “harga barang” menyesuaikan dengan “harga barang” yang sejenis di waktu mendatang saat penyerahan itu terjadi.” Pola seperti ini merupakan ciri khas dari riba al-yad, yaitu riba jual beli tempo.

 

Adapun akad kredit merupakan akad pengembangan dari akad jual beli tempo (swap), hanya saja dengan menambahkan diketahuinya waktu jatuh tempo (hulul al-ajl) penyerahan harga. Karena adanya waktu jatuh tempo inilah, maka akad kredit ini sering dikenal sebagai bai’ bi al-nasa’, yaitu: jual beli tempo yang disertai dengan batas waktu penyerahan harga.

 

Di pasar berjangka, akad ini dikenal sebagai transaksi forward. Jadi, transaksi forward bisa kita definisikan juga sebagai swap yang dibatasi durasi waktu penyerahan.

 

Karena adanya praktik nasa’, maka akad ini juga rawan untuk menyeret seseorang jatuh ke dalam praktik riba, yakni riba nasiah.

 

Riba Nasiah itu dalam Transaksi Forward

Syekh Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan riba nasiah, sebagai berikut:

 

ربا النسيئة الذي لم تكن العرب في الجاهلية تعرف سواه، وهو المأخوذ لأجل تأخير قضاء دين مستحق إلى أجل جديد، سواء أكان الدين ثمن مبيع أم قرضا


"Riba nasiah, yaitu satu-satunya riba yang dikenal oleh kalangan masyarakat Arab jahiliyah. Praktik dari riba ini terjadi karena faktor permintaan penundaan pelunasan utang yang membutuhkan skema tenor waktu pelunasan yang baru, baik utang itu merupakan harganya barang (tsaman mabi’), atau atau utang pada umumnya (qardl)." (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu li al-Zuhaili, Juz 5, halaman 3699).

 

Yang dimaksud sebagai "utang berupa harga barang (al-dain tsaman al-mabi’)” oleh Syekh Wahbah di atas adalah harga barang yang belum bisa dilunasi saat jatuh tempo. Lalu pihak yang berutang meminta penambahan tenor baru pelunasan yang disertai dengan ketentuan ia harus menambah besaran utang harga barang tersebut menjadi skema utang yang baru.

 

Sementara itu, yang dimaksud dengan qardlan (utang) oleh beliau di atas, adalah bila harga itu merupakan barang ribawi sejenis. Misalnya, emas dengan emas, perak dengan perak, bahan makanan dengan bahan makanan. Emas, perak dan bahan makanan yang diserahkan kemudian sebagai ganti (‘iwadl) dari barang yang sudah diserahkan dulu, adalah berlaku sebagai qardlan (utang), sebab keberadaan jeda/waktu. Jika terjadi secara langsung (kontan) dalam majelis jual beli barter, maka dinamakan sebagai iwadl (barang ganti). Alhasil, qardl (utang) adalah sama dengan barter (mu’awadlah) yang disertai tempo (ajal), sehingga disebut juga akad barter bi al-ajal (bai’ bi al-ajal).

 

Jadi, dalam praktik nasiah yang disertai tenor baru, seolah terjadi praktik menyerupai akad bai’ al-dain bi al-dain, yaitu akad jual beli utang yang mengikut skema lama (al-dain) dan dibelli dengan utang yang mengikut skema baru (al-dain).

 

Misalnya, utang lama dengan skema cicilan lama adalah sebesar 100 dolar dalam tempo 1 tahun. Karena belum bisa melunasi, pihak yang berutang meminta penangguhan pelunasan selama 1 tahun lagi lalu disepakati harga skema barunya adalah 120 dolar. Alhasil, utang dengn skema lama (100 dolar) seolah dibeli dengan utang skema baru (120 dolar) dengan tempo penangguhan selama 1 tahun lagi. Inilah yang dimaksud sebagai akad riba nasiah itu, yang hukumnya adalah haram.

 

Transaksi Forward Trading Emas

Dengan menyimak uraian di atas, maka transaksi forward dengan obyek komoditas yang terdiri dari emas, sebagaimana yang marak ditawarkan oleh sejumlah broker, pada hakikatnya bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

  1. Trading emas dengan forward yang boleh secara syara’, dan
  2. Trading emas dengan forward yang hukumnya tidak boleh secara syara’ disebabkan ada unsur riba nasiahnya.

 

Kedua mekanisme transaksi (takyif fiqih) ini, setidaknya dapat kita gambarkan sebagai berikut:

  1. Uang telah diserahkan dulu di muka saat kontrak/transaksi itu dilakukan antara trader dengan trader lainnya
  2. Barang (berupa indeks emas) akan diserahkan kemudian pada waktu yang telah ditetapkan (hulul al-ajl) dengan kadar dan timbangan yang telah ditetapkan kadarnya saat transaksi itu dilakukan.
  3. Kedua harga dan barang (indeks emas) yang dijualbelikan, telah disepakati harganya saat kontrak itu terjadi (taqabudl) yang dilanjutkan dengan penyerahan harga untuk menghindari terjadinya praktik gharar (ketidakpastian).
  4. Kadar dan berat emas dalam indeks yang diserahkan, adalah sesuai dengan kadar dan berat emas saat kontrak terjadi
  5. Apabila kadar berat emas dalam indeks yang diserahkan, adalah dihitung dengan harga menyesuaikan dengan harga yang terjadi pada waktu penyerahan, maka praktik seperti ini adalah hukumnya haram sebab telah terjadi praktik riba nasiah
  6. Apabila kadar dan berat emas dalam indeks yang diserahkan, adalah tetap sama dengan kadar dan berat emas dalam indeks yang dipesan saat awal transaksi itu terjadi, maka akad seperti ini adalah boleh, dan sudah memenuhi unsur taqabudl (saling serah terima) dan hulul (adanya durasi waktu pelunasan yang diketahui).

 

Ringkasan Hukum

Trading emas dengan sistem forward di pasar berjangka  harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan disepakati oleh ulama dalam praktik akad salam (pesan).

 

Jenis jual beli (trading) emas di pasaran bursa semacam ini adalah masuk rumpun bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang yang diketahui indeksnya dan ketersediaan asetnya bisa dijamin.

 

Pihak yang berperan selaku penjamin emisi dari indeks emas di pasar berjangka Indonesia adalah Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur