Syariah

Fungsi BLT dalam Kajian Fiqih: Menjaga Daya Beli atau Ongkos Tutup Mulut?

Rab, 7 September 2022 | 11:00 WIB

Fungsi BLT dalam Kajian Fiqih: Menjaga Daya Beli atau Ongkos Tutup Mulut?

BLT: Jaga daya beli atau ongkos tutup mulut?

Bagaimanapun, subsidi adalah bantuan dari pemerintah dan merupakan risiko kebijakan. Prinsip utama dari kebijakan dari pemerintah yang adil adalah mewujudkan kemaslahatan rakyat. 


تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة


Artinya, "Manajerial Imam atas rakyatnya adalah mewujudkan kemaslahatan.” 


Karena tindakan idhrar atau sengaja berbuat kerugian akibat intervensi pemerintah adalah risiko manajerial, maka subsidi pada dasarnya juga bisa dimaknai sebagai bantuan. Ciri khas subsidi ini adalah tunai. Misalnya, lewat program BLT (Bantuan Langsung Tunai).


Subsidi tunai tanpa disertai pengawasan dan pendampingan kebijakan, serta penegakan hukum, dapat mengubah kedudukan harta yang diberikan berlaku sebagai bukan bantuan, melainkan ongkos tutup mulut, pemberangusan atau bahkan mungkin adalah suap (risywah). Mengapa? 


Sebab semua akar dari BLT adalah tasaruf itu sendiri yang melazimkan adanya pengaturan yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) dan memenuhi unsur akuntabilitas. 


Imam al-Qarafi (wafat 684 H) di dalam kitabnya al-Furuq menyinggung hal tersebut:


أنَّ المُتَصَرِّفَ فِي الحُكْمِ الشَّرْعِيِّ إمّا أنْ يَكُونَ تَصَرُّفُهُ فِيهِ بِتَعْرِيفِهِ وإمّا أنْ يَكُونَ بِتَنْفِيذِهِ فَإنْ كانَ تَصَرُّفُهُ فِيهِ بِتَعَرُّفِهِ فَذَلِكَ هُوَ الرَّسُولُ إنْ كانَ هُوَ المُبَلِّغَ عَنْ اللَّهِ تَعالى وتَصَرُّفُهُ هُوَ الرِّسالَةُ وإلّا فَهُوَ المُفْتِي وتَصَرُّفُهُ هُوَ الفَتْوى 


Artinya: “Sesungguhnya kewajiban bagi pelaku mutasharrif (pemimpin) dalam hukum Syara’, adalah adakalanya dilakukan dengan jalan memberi tahu teknis pelaksanaan tasarufnya, dan adakalanya dengan langsung (tanpa memberi tahu teknis penyaluran). Tasaruf dengan jalan pemberitahuan misalnya adalah yang berlaku atas Rasulullah. Obyek yang menduduki sesuatu yang disampaikan berasal dari Allah. Cara penasarufannya dilakukan melalui risalah. Atau dengan istilah lain selain risalah, misalnya berlaku pada obyek fatwa. Maka teknis tasarufnya adalah dengan fatwa itu sendiri.” (Al-Qarafi, Al-Furuq, [A’lam al-Kutub], juz I, halaman 206).


Risalah dan fatwa menempati derajat aturan tertulis atau aturan pelaksana. Kita bisa menyebutnya sebagai petunjuk teknis. Baik risalah atau fatwa senantiasa disampaikan sebagai amanah. Kepanjangan dari amanah adalah responsible dan accountable.
 

Untuk memenuhi unsur responsible dan accountable, maka dibutuhkan pengawasan. Imam al-Qala’i (wafat 630 H) mengatakan:


وقالَ بعض القدماء: الدّين والسُّلْطان توأمان وقيل الدّين أس والسُّلْطان حارس. فَما لا أس لَهُ فمهدوم وما لا حارس لَهُ فضائع


Artinya: “Sebagian ulama mutaqaddimin mengatakan bahwa agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Dikatakan, agama itu bagaikan pondasi, sementara kekuasaan bagaikan penjaganya. Sesuatu yang tanpa pondasi maka akan mudah roboh, dan sesuatu tanpa penjaga (pengawasan) akan sia-sia.” (Al-Qala’i, Tahdzibur Riyasah wa Tartibus Siyasah, juz I, halaman 95). 


Alhasil, tanpa adanya pengawasan, dapat berdampak pada:

  1. Subsidi akan tersalurkan pada tempat yang di luar tujuan dan sia-sia.
  2. Subsidi akan bergerak di luar manajemen penasarufan sehingga akan berubah menjadi dana konsumtif semata. 
  3. Dampak besarnya, pihak yang diberi subsidi (rakyat) tidak bertanggung jawab dalam menggunakan subsidi sesuai arahan pemberi subsidi, yaitu menjaga daya beli masyarakat.
  4. Dampak lainnya, pemberian yang asalnya merupakan dana tabarru’ dan pengurangan risiko, dapat berubah menjadi dana wajib yang membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selaku pemberi subsidi. Secara syara’, pola seperti ini merupakan pola yang dicela (madzmum). Wallahu a’lam.
 


Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim