Hikmah

Kisah Sayyidina Umar Bagikan BLT dan Terapkan Subsidi Tepat Sasaran

Sel, 6 September 2022 | 13:30 WIB

Kisah Sayyidina Umar Bagikan BLT dan Terapkan Subsidi Tepat Sasaran

Ilustrasi: qqphoenix

Tahun 18 H/ 639 M merekam memori duka dalam sejarah umat Islam. Wabah mematikan yang dikenal dengan Tha’un ‘Amwas melanda negeri HIjaz pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Bersamaan dengan wabah itu pula, Umar harus menghadapi masa paceklik yang dalam buku-buku sejarah dikenal dengan ‘Âmur Ramâdah. 
 

Ibnu Katsir melaporkan, saat ‘Âmur Ramâdah, paceklilk melanda negeri Hijaz selama sembilan bulan. Banyak rakyat mati kelaparan. Dinamakan ‘Âmur Ramâdah (secara bahasa berarti tahun kerikil) karena hujan tidak turun dalam waktu yang cukup lama hingga tanah menghitam seperti warna kerikil (kerikil dalam bahasa Arab diartikan ‘ramadah’). Ada pula yang mengatakan karena pada tahun itu angin berhembus membawa debu-debu seperti kerikil yang beterbangan. 
 

Hidup sebagai pejabat tertinggi negara tetap membuat Umar ikut berempati dan merasakan apa yang rakyatnya alami ketika itu. Dikatakan, jika sebelum paceklik ia biasa mengonsumsi susu dan roti, pada tahun susah ini ia hanya memakan roti diolesi cuka dan minyak. Tak pernah ia makan sampai kenyang. Sampai-sampai badannya kurus dan warna kulitnya menghitam. Semua orang sampai khawatir kesehatan sang khalifah akan memburuk. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1997: juz X, halaman 68-69). 

 

Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya mencatat, pada masa ‘Âmur Ramâdah Umar sangat khawatir dengan keadaan rakyatnya. Ketika setiap selesai menjadi imam shalat Isya di masjid, ia akan masuk ke rumah dan terus melaksanakan shalat sampai akhir malam. Selesai shalat, ia berpatroli mengelilingi penjuru Madinah. Ibnu Umar berkata:
 

“Sekali malam aku mendengar Umar memanjatkan doa begini, ‘Ya Allah, jangan kau jadikan masa pemerintahaku sebagai kehancuran bagi umat Muhammad.’” (Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, tanpa tahun, juz III, halaman 312).
 

Ibnu Katsir mengikhbarkan kondisi mencekam saat tahun paceklik ini. Saat Umar berpatroli, ia melihat semua wajah rakyatnya sangat murung tak ada senyum sedikit pun, di rumah-rumah mereka terdiam tidak ada percakapan satu sama lain, begitu pun tidak ada orang yang meminta-minta seperti biasanya. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1997: juz X, halaman 69).
 

Subsidi untuk Janda Kelaparan 

Salah satu langkah yang Umar lakukan untuk memastikan keadaan rakyatnya baik-baik saja di tengah paceklik yang melanda adalah dengan berpatroli dari satu rumah penduduk ke rumah lainnya. Hingga suatu malam, ia berkeliling untuk melakukan pemantauan. Saat itu dia pergi seorang diri.  
 

Zaid bin Aslam yang melihat Sang Khalifah lantas meminta izin untuk mendampinginya. “Izinkan aku untuk mendampingimu, wahai Amirul Mu’minin,” pinta Zaid. “Ya, silakan,” jawab Umar. 
 

Mereka berdua berkeliling kota Madinah dan sekitarnya. Hingga sampai di luar Madinah, tampak dari kejauhan sebuah cahaya. “Sepertinya di sana ada musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan),” kata Zaid.
 

Penasaran, keduanya pun mendekati sumber cahaya itu. Ternyata itu adalah nyala api milik wanita janda tua dengan tiga anak kecil yang semuanya sedang menangis. Wanita itu sedang memasak sesuatu di panci sambil menyumpahi Umar dalam doanya. “Wahai Tuhanku, berilah balasan terhadap Umar. Ia telah berbuat dzalim. Enak saja, kami rakyatnya kelaparan sementara dia hidup serba berkecukupan,” kata si wanita. 
 

Mendengar ucapan wanita itu, Umar pun menghampirinya dan mengucapkan salam. “Bolehkah kami masuk?", kata Umar dengan lembut. “Silakan,” jawab si wanita. Dia tidak tahu bahwa lelaki yang menghampirinya adalah Sang Khalifah. Umar menanyakan tentang kondisinya dan keadaan anak-anaknya. 
 

“Kami datang dari jauh. Aku dan anak-anakku kelaparan. Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa,” terang wanita itu dengan nada sendu.
 

“Lalu, apa yang kau masak di panci ini?” 
 

“Itu hanya air mendidih. Agar anak-anak mengira aku sedang memasak makanan. Dengan begitu mereka akan terhibur.” 
 

Mendengar semua itu, Umar sangat malu, sedih, dan tentu merasa sangat berdosa. Ia pun berpamit untuk pergi dan menuju ke sebuah toko untuk membeli banyak sembako (riwayat lain menyebut ia menuju baitul mal). Ia meminggulnya menuju kediaman wanita tadi. 
 

“Wahai Amirul Mu’minin, turunkan bawaanmu, biar aku saja yang memikulnya,” pinta Zaid. “Jangan, biar aku saja yang membawanya. Anggap saja aku sedang memikul dosa-dosaku, juga semoga menjadi penghalang dikabulkannya doa wanita itu tadi,” tegas Umar. Sambil memikul sekarung sembako yang begitu berat menuju rumah wanita janda itu, ia terus menangis karena sangat merasa berdosa. Sesampainya di rumah wanita, Umar memberikan semua sembako itu. “Semoga Allah memberimu balasan terbaik,” kata si wanita.
 

Tidak hanya sampai di situ. Umar pun ikut memasakkan untuk mereka. Setelah makanan siap, Umar mempersilakan mereka untuk menikmatinya. “Silakan, sekarang kalian semua bisa makan,” kata Umar, senyumnya melebar melihat wajah-wajah mereka yang tidak lagi murung. 
 

“Ibu, mulai sekarang tidak perlu lagi mendoakan keburukan untuk Umar, ya. Mungkin dia belum mendengar kabar ada kalian kelaparan di sini,” kata Umar dengan lembut. (‘Abda Ali Mahna, Tharaiful Khulafa wal Muluk, 2017: 16). 
 

Dari kisah Umar dengan wanita janda itu dapat dipetik hikmah, seorang pemimpin harus berlaku seadil-adilnya terhadap rakyat. Saat rakyat sengsara, pemimpin harus segera mengambil langkah cepat agar segera teratasi. Kita lihat, saat Umar tahu ada satu rakyatnya yang kelaparan, ia dengan tanggap memberi subsidi langsung dan tepat sasaran. 
 

Selain itu, kita juga bisa meneladani Umar yang dengan legowo menerima kritik dari rakyatnya. Saat wanita janda itu menyumpahi sang khalifah karena dikira telah berbuat dzalim, sedikit pun tak membuat Umar tersinggung. Ia justru menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk dirinya. Wallahu a’lam. 
 

 

Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta