Syariah

Hukum Jual Beli Kupon Jalan Sehat Berhadiah dan Poin Voucher Operator Seluler

Sen, 19 Oktober 2020 | 15:00 WIB

Hukum Jual Beli Kupon Jalan Sehat Berhadiah dan Poin Voucher Operator Seluler

Semua praktik muamalah pada dasarnya boleh (mubah) manakala tidak ditemui adanya illat keharaman.

Untuk menyelenggarakan suatu acara atau kegiatan tertentu, terkadang pihak panitia mengadakan kupon hadiah. Kemudian kupon tersebut dijualbelikan kepada pihak peserta. Misalnya, harga per kupon adalah Rp3.000. Adapun acaranya, terkadang hanya berupa praktik jalan sehat, dan semua peserta pemegang kupon berhak atas kesempatan mendapatkan hadiah melalui pengundian.

 

Hal yang sama juga terjadi di sejumlah platform tertentu atau program gifts (hadiah) yang disampaikan lewat program undian oleh sejumlah perusahaan. Suatu misal, pembelian voucher lewat harta poin Telkomsel atau Indosat yang pemenangnya juga disampaikan lewat program undian. Nah, apakah kedua akad ini termasuk yang dibolehkan oleh syara’?

 

Berdasarkan hasil kajian peneliti, program-program semacam pada dasarnya mengandung unsur perjudian (qimar) disebabkan 4 hal, yaitu:

 

  1. Ada tindakan spekulatif untuk mendapatkan hadiah
  2. Ada harta yang sah kedudukannya dipandang sebagai harta dan diserahkan kepada pihak penyelenggara dengan alasan pembelian voucher hadiah
  3. Harta yang terkumpul dari biaya pembelian voucher atau kupon, dijadikan sebagai hadiah
  4. Tidak ada kegiatan yang bisa masuk dalam kategori ijarah (jasa), jualah (sayembara), musabaqah (perlombaan), atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’.

 

Secara tegas, bahwa praktik semacam ini adalah termasuk tindakan yang dilarang oleh syariat, sebab termasuk akad muqamarah (perjudian). Bagaimana bisa? Simak penjelasannya!

 

Jual Beli Kupon Hadiah

Kupon hadiah merupakan harta yang tidak berjamin aset. Andaikan dianggap aset, tapi jika kepemilikan aset itu masih harus melalui mekanisme pengundian (qar’ah), maka sifat kepemilikan aset tersebut termasuk kepemilikan yang tidak pasti (gharar).

 

Menjualbelikan kepemilikan yang tidak pasti adalah sama dengan jual beli barang yang tidak pasti pula (gharar), sehingga tidak bisa dijamin pengadaannya. Jadi, sifat adanya barang menempati kedudukan antara barang ma’dum (fiktif) dengan barang yang bisa disifati.

 

Karena ketidakpastian itu, jual beli kupon itu cenderung syarat kepada timbulnya unsur kecurangan (ghabn), sebab salah satu pihak yang telah menyerahkan harga dapat berlaku sebagai yang dirugikan (yughram) sebab hartanya terambil. Dan ini adalah salah satu ciri utama dari perjudian (qimar).

 

Undian Poin Voucher

Hal yang sama dengan kupon di atas, sering terjadi pada pola pengundian poin voucher. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa poin voucher ini sering kita dapati pada beberapa produk yang berkaitan dengan teknologi digital.

 

Ambil contoh misalnya, Anda memiliki kebiasaan melakukan pengisian pulsa lewat Telkomsel atau Indosat. Berdasar kebiasaan pengisian itu, pihak Telkomsel atau Indosat mengidentifikasi setiap transaksi pengisian Anda, dengan memberikan poin setiap bulannya sebesar 1 poin untuk pengisian di bawah 10 ribu sampai dengan 100 ribu per bulan, dan 2 poin untuk kelas pengisian di kisaran 100 ribu-300 ribu, dan 4 poin di kisaran 300 ribu - 999.999 rupiah.

 

Berbagai poin ini bisa ditukar dengan tiket menonton konser, atau berbelanja merchandise pada sejumlah outlet tertentu. Karena sifatnya yang bisa ditukar dengan harta, maka poin semacam ini, secara tidak langsung menduduki posisi sebagai harta manfaat disebabkan posisinya yang bisa dirupiahkan. Tegasnya, adalah bahwa poin itu merupakan mal manfaat maushuf fi al-dzimmah (harta manfaat yang sifatnya bisa diketahui berdasarkan karakeristiknya). Bisa juga, poin itu disebut sebagai mal duyun (harta utang), yaitu utangnya pihak perusahaan kepada pelanggan pemegang poin itu.

 

Jika poin ini diserahkan dalam suatu program untuk membeli voucher undian, maka secara tidak langsung pula, sama artinya dengan menyerahkan harta dalam sebuah program undian judi (qimar), tanpa adanya unsur kerja (jasa), sayembara, perlombaan, atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’.

 

Alhasil, menyerahkan poin untuk membeli voucher undian semacam ini, adalah sama kedudukannya dengan ikut serta dalam program judi modern.

 

Apakah ada solusi mengatasinya?

Semua praktik muamalah pada dasarnya adalah boleh (mubah) manakala tidak ditemui adanya illat keharaman. Hal yang menyebabkan keharaman dari praktik jual beli kupon dan voucher, sudah disampaikan di atas, yaitu ada 4 hal.

 

Dari keempat hal itu, yang paling penting untuk mendapatkan perhatian adalah wajib adanya 4 kriteria yang benar dalam pemberian hadiah (iwadl/bonus/hadiah): kerja (jasa), sayembara, musabaqah (perlombaan), atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’.  Selagi tidak ada 4 kegiatan itu, maka terpenuhi unsur spekulatif judinya.

 

Musabaqah dan Munadhalah

Musabaqah merupakan istilah dalam perlombaan. Tiga kriteria perlombaan yang dibenarkan dalam syariat, yaitu olahraga renang, pacuan kuda, dan memanah. Boleh bila ketiga perlombaan ini diqiyaskan dengan perlombaan di era modern sekarang ini, misalnya: pacuan kuda dengan balap motor atau mobil, lari maraton, lari cepat, balap sepeda, dan lain-lain . Illat kesamaannya, ada pada adu cepat (sibaq).

 

Adapun munadhalah merupakan ajang adu keterampilan dan ketangkasan. Keterampilan ini merupakan furu’ (cabang) dari lomba memanah dan renang. Contoh olahraga yang menjadi cabang dari memanah adalah sepakbola, badminton, dan sejenisnya. Keduanya memiliki illat kesamaan berupa keterampilan dengan olahraga renang, dan ketangkasan serta ketepatan dengan olahraga memanah.

 

Sudah barang tentu kriteria perlombaan itu harus jelas, dan peserta lomba dapat mengikutinya berbekal keterampilan dan ketangkasan yang dia miliki.

 

Bagaimana dengan jalan santai dan undian poin voucer berhadiah?

 

Jalan santai tidak memuat adanya unsur adu cepat, keterampilan, dan ketangkasan. Alhasil, tidak masuk rumpun perlombaan. Apabila di dalam jalan santai terdapat pembagian hadiah yang diperoleh lewat undian kupon berbayar, maka sifat undian ini bisa masuk kategori judi, bilamana hadiah yang diberikan berasal dari uangnya penonton yang diperoleh lewat jual beli kupon atau penyerahan poin. Akad jual beli kupon itu dipandang sebagai akad yang tidak sah, sebab kupon sendiri adalah barang fiktif (tak berjamin aset). Harta sebenarnya dari kupon itu adalah undian untuk memperoleh hadiah, sehingga merupakan barang spekulatif yang memenuhi unsur judi.

 

Sebagai langkah solutif untuk mengatasi illat larangan praktik judi ini, maka diperlukan langkah lain untuk menengahinya, yaitu:

 

  1. Hadiah yang disajikan, hendaknya bukan dari jual beli kupon, melainkan harus dari pihak lain selaku pemberi sponsor.
  2. Ada salah satu peserta jalan sehat atau poin undian voucer yang tidak dipungut biaya, namun memiliki peluang mendapatkan hadiah. Dengan adanya pihak yang tidak dipungut biaya pembelian kupon namun berhak mendapatkan hadiah ini, menjadikan uang dari hasil penjualan kupon tidak berlaku sebagai uang serahan untuk judi, melainkan sebagai iuran sukarela (tabarru’) untuk menyelenggarakan suatu even bersama dalam rangka membina hubungan baik antar sesama anggota masyarakat. Di sini hal itu perlu dipahami.

 

Kesimpulan

Alhasil, jual beli kupon jalan sehat atau poin voucer untuk suatu acara, hukum asalnya adalah haram sebab (a) memenuhi unsur perjudian dan (b) acara itu tidak memenuhi kategori musabaqah dan munadhalah.

 

Akan tetapi, keduanya bisa menjadi halal, manakala disertai dengan adanya pihak yang tidak dipungut biaya, namun memiliki kesempatan untuk diundi sehingga berhak pula atas hadiah undian. Bisa juga diberlakukan, bahwa hadiah yang diundi adalah murni dari pihak pemberi sponsor. Apabila uang hadiah itu berasal sepenuhnya dari hasil jual beli kupon atau poin voucer, tanpa adanya pihak yang tidak dipungut biaya, maka tak diragukan lagi, bahwa kegiatan itu berubah menjadi kegiatan perjudian, sehingga hadiahnya menjadi haram.

 

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur