Jangan Asal Tuduh, Ini Kata Al-Qur’an tentang Penuduh Zina tanpa Bukti
NU Online · Rabu, 16 Juli 2025 | 16:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Di era digital yang serba cepat ini, kehormatan seseorang bisa runtuh hanya dalam hitungan detik, hanya dengan satu unggahan, komentar, atau pesan yang menyebar luas. Media sosial, yang menjadi ruang tanpa batas, sering kali berubah menjadi ladang fitnah dan tuduhan tanpa kendali. Di tengah kebebasan berekspresi, tak jarang orang melontarkan kata-kata yang menyakiti, bahkan mencemarkan nama baik dan merendahkan martabat orang lain.
Salah satu tuduhan paling berbahaya adalah tuduhan zina. Tuduhan ini bukan sekadar mencederai kehormatan seseorang, tetapi juga berpotensi memicu kekacauan sosial, merusak hubungan keluarga, hingga menyeret pelaku fitnah ke dalam dosa besar. Dalam Islam, menuduh seseorang berzina tanpa bukti bukanlah perkara sepele yang bisa diabaikan begitu saja.
Lantas, seberapa serius Islam memandang tuduhan zina ini? Apa konsekuensinya bagi pelaku fitnah? Dan bagaimana Al-Qur’an mengatur tindakan yang merusak kehormatan ini? Mari kita telusuri firman Allah, latar belakang turunnya ayat-ayat terkait, serta penjelasan para ulama untuk memahami betapa beratnya dosa di balik tuduhan tanpa bukti ini.
Al-Qur’an dan Larangan Menuduh Zina Tanpa Bukti
Al-Qur’an dengan tegas melarang menuduh seseorang berzina tanpa bukti yang sah. Tuduhan semacam ini tidak boleh didasarkan pada dugaan, emosi, atau cerita sepihak. Islam menetapkan syarat yang sangat ketat untuk membuktikan perbuatan zina: diperlukan empat saksi yang adil, yang menyaksikan perbuatan tersebut secara langsung dengan mata kepala sendiri. Tanpa bukti sekuat itu, tuduhan dianggap batil, dan pelaku tuduhan justru terancam hukuman berat.
Ketentuan ini dijelaskan dengan jelas dalam Surah An-Nur ayat 4 dan 5:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Baca Juga
Wali Nikah Anak Zina
Sebab Turunnya Ayat Tentang Menuduh Orang Berzina
Larangan menuduh zina tanpa bukti, sebagaimana termaktub dalam Surah An-Nur ayat 4-5, bukanlah sekadar aturan hukum, melainkan memiliki latar belakang yang mendalam dan penuh hikmah. Ayat-ayat ini turun dalam konteks peristiwa besar yang mengguncang rumah tangga Rasulullah SAW, yang dikenal sebagai Haditsul Ifki (berita bohong). Peristiwa ini tidak hanya menguji keteguhan hati Nabi Muhammad SAW dan Sayyidah Aisyah RA, tetapi juga menjadi pelajaran abadi tentang bahaya fitnah dan pentingnya menjaga kehormatan.
Peristiwa ini bermula ketika Sayyidah Aisyah, istri Rasulullah SAW, tertinggal dari rombongan saat perjalanan pulang dari sebuah ekspedisi militer. Karena suatu kejadian, ia terpisah dari kafilah dan baru kembali ke Madinah bersama seorang sahabat, Safwan bin Mu’attal. Kejadian ini memicu fitnah dari sekelompok orang, termasuk sebagian dari kalangan Muslim, yang menuduh Sayyidah Aisyah telah melakukan perbuatan zina. Tuduhan ini menyebar luas di tengah masyarakat, meskipun tidak didukung oleh bukti apa pun. Imam Thabari, dalam tafsirnya, menguraikan:
وذكر أن هذه الآيةِ إنما نزلت في الذين رموا عائشة زوج النبيّ صلى الله عليه وسلم بما رموها به من الإفك
Baca Juga
Apakah Ada Jalan Tobat atas Dosa Zina?
Artinya: “Disebutkan bahwa ayat ini sesungguhnya turun berkenaan dengan orang-orang yang menuduh Aisyah, istri Nabi SAW, atas tuduhan bohong (ifk) yang mereka lontarkan kepadanya.” (At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Kairo: Dar Hijr, 2001] jilid XVII, halaman 161).
Konsekuensi Hukum Menuduh Orang Lain Berzina
Dalam syari’at Islam, tuduhan seperti ini disebut qadzf, yaitu menuduh seseorang berzina tanpa menghadirkan empat saksi yang sah. Tuduhan semacam ini tidak dianggap sebagai kekeliruan biasa, melainkan sebagai dosa besar yang berdampak hukum di dunia dan akhirat. Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
بعد التنفير من نكاح الزانيات وإنكاح الزناة، نهى الله تعالى عن القذف وهو الرمي بالزنى، وذكر حده في الدنيا وهو الجلد ثمانين، وعقوبته في الآخرة وهو العذاب المؤلم ما لم يتب القاذف
Artinya: “Setelah memperingatkan tentang larangan menikahi pezina, Allah SWT melarang perbuatan qadzf (menuduh zina), dan menyebutkan hukuman di dunia berupa dera 80 kali cambukan, serta azab yang pedih di akhirat, jika si penuduh tidak bertobat.” (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991] jilid XVIII, halaman 181).
Dari sini jelas bahwa tuduhan zina bukan hanya mencederai harga diri korban, tetapi juga mencelakakan pelakunya. Ia tidak hanya akan dihukum di hadapan manusia, tetapi juga terancam siksa yang menyakitkan di hadapan Allah, selama ia tidak bertobat. Hukum ini bertujuan untuk menjaga kesucian masyarakat, mencegah fitnah, dan menutup pintu kerusakan yang bisa timbul dari ucapan yang sembrono.
Selanjutnya, para ulama menjelaskan bahwa siapa pun yang menuduh orang lain berzina tanpa membawa bukti yang sah, maka ia dikenai tiga konsekuensi hukum sekaligus. Pertama, ia harus dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali cambukan. Ini adalah bentuk hukuman fisik yang ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an sebagai efek jera atas perbuatan yang mencemarkan kehormatan orang lain.
Kemudian, kedua, kesaksiannya dalam perkara hukum tidak lagi diterima untuk selamanya. Ketiga, ia dinyatakan sebagai orang fasik, bukan lagi pribadi yang adil, baik menurut pandangan Allah maupun manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya:
فأوجب على القاذف إذا لم يقم البينة على صحة ما قال ثلاثة أحكام: أحدها أن يجلد ثمانين جلدة. الثاني أنه ترد شهادته أبدا. الثالث أن يكون فاسقا ليس بعدل لا عند الله ولا عند الناس
Artinya: “Maka Allah mewajibkan atas orang yang menuduh (zina), apabila ia tidak mendatangkan bukti atas kebenaran ucapannya, dengan tiga ketentuan, yaitu: Pertama, ia (pelaku) harus didera delapan puluh kali cambukan; Kedua, kesaksiannya tidak diterima selamanya; Ketiga, ia menjadi orang fasik, bukanlah pribadi yang adil, baik di sisi Allah maupun di hadapan manusia.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1998] jilid VI, halaman 11)
Menuduh seseorang berzina tanpa bukti yang sah bukanlah perkara ringan dalam Islam. Al-Qur’an memberikan perhatian serius terhadap tindakan ini karena menyangkut kehormatan, nama baik, dan stabilitas sosial.
Melalui ayat-ayat yang tegas, Allah menetapkan bahwa tuduhan zina harus disertai empat orang saksi. Tanpa itu, tuduhan dianggap sebagai dosa besar yang mendatangkan hukuman di dunia dan siksa di akhirat.
Lebih dari sekadar ancaman, Al-Qur’an juga menetapkan tiga konsekuensi nyata bagi penuduh, yakni: dera delapan puluh kali cambukan, penolakan kesaksiannya selamanya, dan status sebagai orang fasik yang tercela di mata Allah dan manusia.
Semua ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi kehormatan pribadi dan menutup rapat pintu fitnah. Karenanya, setiap Muslim wajib menjaga lisannya, tidak mudah menuduh, dan memastikan bahwa setiap ucapan selaras dengan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.
Terpopuler
1
Santri Kecil di Tuban Hilang Sejak Kamis Lalu, Hingga Kini Belum Ditemukan
2
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
3
Sound Horeg: Pemujaan Ledakan Audio dan Krisis Estetika
4
Perbedaan Zhihar dan Talak dalam Pernikahan Islam
5
15 Ribu Pengemudi Truk Mogok Nasional Imbas Pemerintah Tak Respons Tuntutan Pengemudi Soal ODOL
6
Operasional Haji 2025 Resmi Ditutup, 3 Jamaah Dilaporkan Hilang dan 447 Meninggal
Terkini
Lihat Semua