Syariah

Investasi Pertanian dalam Akad Muzara’ah

Sen, 30 Desember 2019 | 15:00 WIB

Investasi Pertanian dalam Akad Muzara’ah

Yang membedakan akad muzaraah dari akad musaqah, adalah benih tanaman itu belum masuk ke dalam lahan sehingga petani penggarap masih perlu mempersiapkan lahannya. Sementara pada akad musaqah, tanaman sudah ada di lahan sehingga petani penggarap tinggal merawatnya.

Muzara’ah merupakan kata benda jadian / turunan dari fi’il tsulasi mazid زارع dengan wazan فاعل, yang bermakna saling berbagi dalam perawatan dan hasil tanaman. Yang membedakan akad muzaraah dari akad musaqah, adalah benih tanaman itu belum masuk ke dalam lahan sehingga petani penggarap masih perlu mempersiapkan lahannya. Sementara pada akad musaqah, tanaman sudah ada di lahan sehingga petani penggarap tinggal merawatnya.

Karena di dalam akad muzaraah, ada unsur saling berbagi perawatan dan hasil tanaman, maka akad ini juga dianggap sebagai turunan dari akad syirkah, menurut konteks tiga mazhab, yaitu Hanafi, Maliki dan Hanbali. Namun, menurut madzhab Syafi’i, hal ini perlu penelitian terlebih dahulu terhadap model akadnya.

Menurut konsep Mazhab Syafii, jika dalam pelaksanaan muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, maka benar bahwa itu adalah akad yang berbasis dari akad syirkah (kemitraan). Akad ini disimpulkan oleh ulama sebagai muzara’ah. Namun, bila benih berasal dari petani, maka hakikatnya muzara’ah ini adalah dipandang sebagai akad ijarah. Sebagian ulama’ menyebutnya sebagai akad mukhabarah. 

Karena ada dua pandangan ini pula, maka kalangan Syafiiyah juga menyatakan bahwa akad muzara’ah ini ada dua jenis, yaitu ada muzara’ah shahihah dan ada muzara’ah fasidah. 

Sebelum membahas banyak hal mengenai akad shahih dan akad fasid yang berlaku pada akad muzaraah ini, ada baiknya terlebih dulu kita mengetahui bagaimana aturan akad muzara’ah. Apa saja batasan-batasan akad muzara’ah? Simak ulasan berikut ini!

Beberapa Ketentuan Pelaksanaan Akad Muzara’ah

Dalil ini kelak akan menjadi dasar pertimbangan utama untuk mengklasifikasi apakah suatu akad muzara’ah dibenarkan oleh syariat atau tidak. Beberapa dalil sebagai dasar batasan akad muzara’ah, antara lain sebagai berikut:

Pertama, tanah tidak boleh menerima bagian kerja

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ، وَلاَ يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمًّى

Artinya, “Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka sebaiknya ia tanami, atau menyuruh saudaranya agar menanaminya. Jangan menyewakan lahan itu dengan 1/3 , atau ¼ hasil tanaman. Jangan pula menyewakannya dengan sejumlah bahan makanan tertentu.” HR. Muslim, Juz III, Nomor Hadits 1181, dan Abu Dawud, Juz 3, Nomor Hadits 689. 

Kedua, Tanah tidak boleh disewa dengan nisbah tertentu dari hasil produksi

أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَفِيزِ الطَّحَّانِ

Artinya, “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari qafizi al-thahhan.” HR. Al-Baihaqy, dalam Sunan al-Kubra al-Baihaqy, Juz V, Nomor Hadits 339, Al-Daruquthny Juz III, Nomor Hadits 47. Al-Hafidh Syamsuddin al-Dzahaby mendlaifkannya dalam Mizan al-I’tidal, Juz 4, Nomor hadits 306 dengan komentarnya: 

هذا منكر وراويه لايعرف

Artinya, “Hadits ini diingkari dan para perawinya tidak dikenal.” (Mizan al-I’tidal, Juz 4, Nomor hadits 306).

Maksud dari qafizi al-thahhan ini adalah semakna dengan istilah isti’jar al-ardli bi ba’dli al-kharij (mengambil sewa tanah dengan sejumlah nisbah hasil panenan). Meski status hadits di atas, adalah yang diingkari menurut penjelasan Ad-Dzahaby, akan tetapi isi dari hadits tidak diingkari sebagai yang dibenarkan dalam syariat. 

Ketiga, menyewa tanah dengan nisbah hasil produksi tanaman adalah sama dengan menyewa tanah dengan harga yang tidak diketahui (majhul)

أَنَّ الاِسْتِئْجَارَ بِبَعْضِ الْخَارِجِ مِنَ النِّصْفِ وَالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَنَحْوِهِ اسْتِئْجَارٌ بِبَدَلٍ مَجْهُولٍ أَوْ مَعْدُومٍ، وَأَنَّهُ لاَ يَجُوزُ 

Artinya, “Sesungguhnya mengambil sewa tanah dengan sebagian hasil panenan, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat dari hasil panen adalah sama dengan penyewaan tanah dengan harga ganti yang tidak diketahui atau tidak maklum.” (Badai’u al-Shanai’, Juz VI, halaman 175).

Keempat, muzara’ah boleh dilakukan pada lahan yang sudah ada tanaman pokok lainnya. Untuk lahan yang masih belum ada tanaman pokoknya, maka hal itu tidak diperbolehkan

لا يَجُوزُ إِعْطَاءُ الأَْرْضِ مُزَارَعَةً إِلاَّ أَنْ تَكُونَ أَرْضًا وَشَجَرًا فَيَكُونُ مِقْدَارُ الْبَيَاضِ مِنَ الأَْرْضِ ثُلُثَ مِقْدَارِ الْجَمِيعِ، وَيَكُونُ السَّوَادُ مِقْدَارَ الثُّلُثَيْنِ مِنَ الْجَمِيعِ، فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ أَنْ تُعْطَى بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ، وَالنِّصْفِ عَلَى مَا يُعْطَى بِهِ ذَلِكَ السَّوَادُ

Artinya, “Tidak boleh memberikan tanah untuk akad muzara’ah kecuali bila sudah ada lahan dan pohonnya. Angka perkiraan luasnya lahan yang kosong di sela areal tanaman adalah ⅓ dari total area lahan pertanian (yang digarap), sehingga mayoritas lahan sudah dikelola (al-sawwad) adalah kurang lebih ⅔ dari seluruh lahan. Dalam kondisi seperti ini, maka boleh hukumnya memberikan nisbah bagi hasil untuk lahan, yaitu sebesar ⅓ atau ¼ atau ½, mengikut pada ketentuan yang berlaku atas tanaman pokok di mayoritas lahan tersebut.” (Bidayatu al-Mujtahid, Juz II, halaman 276)

Kelima, akad bagi hasil tanaman dengan muzaraah hakikatnya adalah boleh selagi tidak ada nash syariat yang melarang.

رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَل أَهْل خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

Artinya, “Diriwayatkan dari Umar radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan akad bagi hasil dengan penduduk Khaibar dengan sejumlah hasil panenan tanah tersebut, baik berupa buah atau tanamannya.” (Fathu al-Bari, Juz V, halaman 10).

Ketentuan-ketentuan sebagaimana di atas ini, disepakati berlaku sebagai dasar penggalian hukum oleh para fuqaha madzahibu al-arba’ah. Berangkat dari pemahaman ketentuan ini pula, para ulama kelak berbeda pendapat dalam hukum akad muzara’ah, sebagaimana Imam Syafii yang secara tegas menolaknya (secara umum), namun tiga madzhab lainnya menerima dalam pengertian khusus. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua