Syariah

Ketika Barang Pesanan Online Tidak Sesuai Pesanan

Rab, 7 Agustus 2019 | 02:00 WIB

Ketika Barang Pesanan Online Tidak Sesuai Pesanan

Terkait pengajuan klaim oleh pembeli, ada beberapa syarat yang harus dipatuhi kedua pihak.

Kewajiban dari seorang penjual online adalah menampilkan deskripsi dan spesifikasi barang yang dijual di pasaran online dalam bentuk:

 

  1. Visual, berupa gambar atau video yang menggambarkan barang yang dijual, baik berupa sampel atau berupa kondisi barang yang ada dalam tanggungannya.
  2. Menampilkan deskripsi barang secara tertulis, yang dilengkapi dengan spesifikasinya serta kondisi barang yang masih baru atau bekas pakai.
  3. Penjual tidak perlu menunjukkan hasil review terhadap barang, karena biasanya hal ini merupakan tugas dari pihak produsen.
  4. Penjual wajib mencantumkan jasa pengiriman atau ekspedisi yang ditentukan dan bisa dimanfaatkan oleh pembeli.
  5. Mencantumkan lama masa khiyar, yaitu berupa opsi memilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad setelah barang itu positif diterima oleh pembeli.

 

Kewajiban mencantumkan "khiyar syarat" ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari transaksi online, mengingat ia masuk kategori jual beli barang ghaib atau setidaknya merupakan akad jual beli salam.

 

Transaksi semacam dimasukkan dalam rumpun transaksi barang ghaib (belum pernah dilihat) disebabkan karena penjual bukan orang yang memiliki barang secara langsung. Ia merupakan kepanjangan tangan dari penjual lain (supplier). Contoh untuk kasus ini adalah dropshipper.

 


Adapun rumpun jual beli salam (akad pesan barang) berlaku pada kasus jual beli barang yang barangnya sudah ada di tangan penjual (bai' maushûfin fi al-dzimmah). Maka dari itu, penjual lebih mengenal barangnya dibanding penjual dropshipper.

 

Dalam kasus jual beli di lingkup marketplace, umumnya disediakan kolom chatting, yang berisi kolom khusus dialog antara penjual dan pembeli. Akan tetapi, hal ini kadang juga tidak disediakan. Misalnya marketplace Lazada. Sejauh yang penulis ketahui, marketplace ini hanya menyediakan kolom komentar yang bisa dikendalikan oleh pihak penjual yang tidak buta teknologi. Jadi, seandainya ada keluhan dari konsumen dengan barang yang dikirim, para calon pembeli bisa mengetahui track record dari penjual, sehingga ia bisa lebih berhati-hati.

 

Dalam kasus toko online, kebanyakan penjual hanya menyediakan kontak pesan yang bisa dihubungi, melalui via Whatsapp atau Line. Dulu sewaktu masih ada aplikasi BBM, aplikasi ini sering digunakan juga sebagai media perantara. Namun, kiranya pengguna aplikasi ini sudah jauh berkurang, disebabkan unsur kepraktisan.

 

Meskipun ada via chatting dan contact person yang disematkan di dalam toko online dan marketplace, agaknya masih belum memudarkan kasus yang mana antara barang yang dikirim dengan spesifikasi yang ditampilkan menemui kesinkronan. Kadang ada pembeli yang melakukan komplain sambil marah-marah kepada penjual yang bersangkutan. Namun, kadang juga ada yang menerima begitu saja terhadap barang yang dikirimkan, meskipun ada cacat pada barang. Di sinilah letak dan pentingnya khiyar.

 

Khiyar memang berfungsi melindungi konsumen dalam kerangka transaksi syariah. Dalam syariat, keputusan khiyar berada di tangan pembeli. Ketika pembeli mengajukan klaim, maka yang dimenangkan dalam kasus ini adalah klaim pembeli. Khiyar berupa tidak boleh dibatalkannya akad, hanya berlaku apabila pembeli sudah mengetahui kondisi barang saat akad. Misalnya, pada waktu transaksi, disajikan video. Jika tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap barang bila dibandingkan saat transaksi, maka dalam hal ini keputusan terusnya transaksi adalah di tangan penjual. Kecuali misalnya ada perubahan berupa rusaknya fisik barang akibat pengiriman. Dalam hal ini, biasanya pihak ekspedisi lah yang menanggung wajibnya ganti rugi itu, mengingat barang yang dikirim sudah diasuransikan oleh penjual. Jasa asuransi ini sudah include dalam biaya ongkos kirim yang diterima oleh jasa ekspedisi.

 

Berkaitan dengan pengajuan klaim oleh pembeli, sudah pasti dalam hal ini ada beberapa syarat yang harus dipatuhi kedua pihak. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan beberapa klausul kebolehan melakukan klaim cacat itu, antara lain sebagai berikut:

 

يشترط لثبوت الخيار شرائط هي: (١) ثبوت العيب عند البيع أو بعده قبل التسليم، فلو حدث بعدئذ لا يثبت الخيار (٢) ثبوت العيب عند المشتري بعد قبضه المبيع، ولا يكتفى بالثبوت عند البائع لثبوت حق الرد في جميع العيوب عند عامة المشايخ. (٣) جهل المشتري بوجود العيب عند العقد والقبض، فإن كان عالما به عند أحدهما فلا خيار له، لأنه يكون راضيا به دلالة. (٤) عدم اشتراط البراءة عن العيب في البيع، فلو شرط فلا خيار للمشتري، لأنه إذا أبرأه فقد أسقط حق نفسه. (٥) أن تكون السلامة من العيب غالبة في مثل المبيع المعيب. (٦) ألا يزول العيب قبل الفسخ. (٧) ألا يكون العيب طفيفا مما يمكن إزالته دون مشقة، كالنجاسة في الثوب الذي لا يضره الغسل. (٨) عدم اشتراط البراءة من العيب في البيع، على التفصيل الآتي في آخر البحث

 

Artinya: "Ada beberapa syarat yang berlaku bagi tetapnya opsi pembatalan atau penerusan akad, yaitu: (1) Ketika cacat barang sudah diketahui secara pasti saat berlangsungnya transaksi dan barang belum diserahkan ke pembeli. Bila barang sudah diserahkan, maka tidak berlaku lagi khiyar (2) Ketika cacat barang diketahui oleh pembeli saat menerima barang. Tidak bisa dianggap cukup oleh penjual (manakala ditemui cacat oleh pembeli atas barang yang dibelinya) mengingat hak mengembalikan barang belian akibat cacat adalah berlaku tetap bagi pembeli, menurut mayoritas masyayikh. (3) Ketidaktahuan pembeli terhadap cacat barang saat transaksi dan saat menerima. Bila pembeli mengaku tahu cacat tersebut di saat transaksi atau di saat menerima, maka tidak berlaku lagi khiyar baginya, karena dianggap sebagai yang ridla terhadap cacat tersebut. (4) Tidak ada syarat bebas dari cacat saat membeli oleh pembeli. Bila disyaratkan, maka tidak berlaku khiyar bagi pembeli karena pembebasan itu sama artinya dengan menggugurkan haknya sendiri untuk mengajukan klaim. (5) Jika kondisi baiknya barang yang dibeli itu bersifat maksimal, dan kekurangannya hanya sedikit. (6) Jika cacat barang tidak hilang sebelum dibatalkannya transaksi. (7) Jika cacat barang tidak bersifat ringan yang mudah dihilangkan tanpa masyaqqah yang berarti. Misalnya karena terkena najis sehingga tidak membahayakan pada ain barangnya dan (8) Ketiadaan disyaratkan terbebas dari aib pada saat transaksi, sebagaimana rinciannya akan disampaikan nanti pada akhir pembahasan." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 4/581).

 

Semoga tulisan ini bermanfaat dalam memberikan panduan umum bagi perkembangan muamalah kontemporer. Wallahu a'lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur