Syariah

Paylater dan Status Uang yang Dipinjam Konsumen dalam Fiqih Muamalah

Kam, 11 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Paylater dan Status Uang yang Dipinjam Konsumen dalam Fiqih Muamalah

Paylater merupakan transaksi dengan dana talangan atas pembelian atau pembayaran produk tertentu.

Ketika seorang konsumen paylater mengunjungi sebuah marketplace, dan memilih barang-barang yang dibutuhkannya, -dengan berbekal kesanggupan (lewat muwa’adah) pihak penerbit Paylater dalam memberikan Limit Pembiayaan-pihak pengguna paylater ini mengakses Pihak Ketiga (Penerbit Paylater) untuk melakukan klaim pembiayaan sesuai harga yang dibutuhkan untuk membeli barang. 


Saat itu juga, Pihak Ketiga menyanggupi memberikan pembiayaan, dan tuntaslah mekanisme akad jual beli antara pelapak dengan konsumen Paylater. 


Akad yang tersisa berikutnya adalah akad antara Pihak Ketiga (Penerbit) dengan konsumen Paylater. 


Dari harga yang dikucurkan oleh Penerbit Paylater untuk menalangi belanjanya Pengguna, maka pihak Paylater menetapkan bunga. Misalnya, untuk 100 ribu rupiah dana talangan, maka dipungut bunga sebesar 2% atau 4% per bulan dengan lama angsuran sesuai yang dikehendaki oleh pihak konsumen. Sebut misalnya, selama tenor waktu 3 bulan. 


Permasalahan fikihnya, adalah:

(1) Akad apakah yang berlaku antara pihak konsumen dengan penerbit Paylater itu?


(2) Apa status uang yang dikucurkan oleh Penerbit Paylater tersebut?


Untuk mengetahui jawabannya, simak  analisis berikut ini!

Pertama, analisis ini dibangun di atas landasan bahwa saat konsumen mengunjungi marketplace (mis. Bukalapak), ia tidak melakukan transaksi apapun selain hanya melihat-lihat contoh barang yang ingin dibeli. 


Kedua, nasabah paylater sejak awal mengunjungi marketplace sudah berniat hanya akan berbelanja dengan jalan mengajukan klaim kesanggupan penerbit paylater untuk menalangi (iqtiradl) kebutuhannya. 


Berbekal relasi ini, akad yang berlaku antara pihak penerbit dan pengguna, bisa terdiri dari 2 pilihan akad, yaitu: (1) akad ijarah atau (2) akad ju’alah. 


فإن قال رجل لرجل اقترض لي مائة درهم، ولك عشرة دراهم فقد كره ذلك إسحاق، (وأجازه) أحمد. وعندنا: يجرى مجرى الجعاله  )حلية العلماء في معرفة مذاهب الفقهاء ط الرسالة الحديثة ٤/‏٣٩٨ — الشاشي، أبو بكر ]ت ٥٠٧([


Artinya "Jika ada seseorang mengatakan kepada pihak lain, carikan aku utangan sebesar 100 dirham, maka bagimu upah (fee) sebesar 10 dirham. Imam Ishaq menyatakan hukum kemakruhan terhadap akad ini. Imam Ahmad menyatakan hukum kebolehan. Sementara menurut kami, hukumnya boleh dan bisa menempati derajatnya akad ju’alah” (ِAbu Bakar Al-Syasyi, Hilyatu al-Ulama’ fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha, Penerbit: Al-Risalatu al-Haditsiyyah, Juz 4, halaman 394)


Pernyataan senada, juga disampaikan oleh Imam Al-Mawardy seperti berikut ini:


ولو قال لغيره: اقترض لي مائة ولك عليَّ عشرة فهو جعالة، فلو أن المأمور أقرضه من ماله لم يستحق العشرة) أسنى المطالب في شرح روض الطالب ٢/‏١٤٤ — الأنصاري، زكريا ]ت ٩٢٦([


Artinya,“Jika seseorang mengatakan kepada pihak lain: carikan aku utangan 100, maka kamu akan mendapat komisi 10 (fi 100-nya [baca: 10%]), maka ini adalah ju’alah. Namun, bila yang diperintah (ma’mur) meminjami dengan menggunakan uang milik sendiri maka pihak ma’mur tidak berhak atas 10%.” (Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudli al-Thalib, Juz 2, halaman 144).


Di dalam Ibarat ini, Imam Al-Mawardi menyampaikan syarat sah akad di atas, sebagai berikut: 

(1) Uang yang disalurkan oleh ma’mur (baca: Penerbit Paylater) adalah uang yang diperoleh dari investor. 


(2) Kalau uang yang disalurkan itu adalah milik Penerbit Paylater itu sendiri, maka Imam Al-Mawardi menyatakan ketidakbolehannya (lam yastahiq al-’asyrah). 


Ketidakbolehan ini  muncul karena illat utang menarik kemanfaatan sehingga riba qardly.


Berbekal hujjah 1 dan 2 ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akad yang berlaku antara nasabah dengan Penerbit Paylater adalah: 

(1) Akad mencarikan utangan (iqtiradl), atau


(2) Meminta tolong kepada Penerbit untuk membelikan barang yang ia butuhkan.


Ketiga. Bunga yang ditetapkan oleh Penerbit Paylater dapat berperan sebagai ujrah atau ju’lu, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

(1) Besarannya ma’lum dan menyatakan kisaran komisi atau kisaran upah yang dikehendaki Penerbit. Misalnya, kisaran komisi yang diinginkan oleh Penerbit adalah 6% dari pencarian utangan yang dilakukan oleh penerbit.


(2) Komisi sebesar 6% bisa dipecah sesuai dengan skema cicilan


(3) Apabila ada keterlambatan, maka tidak ada syarat kenaikan. Misalnya: dari 2% berubah menjadi 4% atau dari 6% berubah menjadi 10%.


Keempat, karena komisi atau upah menempati derajatnya harga, maka komisi itu bisa dicicil penunaiannya.


لأن هذا جعالة على فعل مباح، فجازت، كما لو قال: ابن لي هذا الحائط ولك عشرة


Artinya,“Karena akad ini merupakan akad sayembara dengan obyek pekerjaan yang mubah, sehingga boleh, qiyas dengan apabila seseorang berkata bangunkan aku sebuah tembok, kamu akan mendapat upah sebesar 10.” (al-Mughny li Ibni Qudamah al-Maqdisy, Juz 4, halaman 359).


ويشترط كون الجعل معلوما فلو قال من رده فله ثوب أو أرضيه فسد العقد وللراد أجرة مثله ولو قال من بلد كذا فرده من أقرب منه فله قسطه من الجعل منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه ١/‏١٧٩ — النووي (ت ٦٧٦(


Artinya "Disyaratkan kondisi ju’lu (komisi) bersifat ma’lum. Jika seseorang mengatakan kepada pihak lain: barang siapa bisa mengembalikan barang saya, maka baginya 1 stel pakaian atau tanah, maka akad tersebut adalah fasad (rusak). Bagi pihak yang bisa mengembalikan berhak atas ujrah mitsil. Apabila ada seseorang yang mengatakan (barang siapa bisa membawakan barangku) dari negeri ini, kemudian ada pihak yang disekitar itu sanggup mengembalikan barang tersebut, maka baginya berhak atas cicilan dari ju’lu.” (Raudlatu al-Thalibin li al-Nawawi wa ‘Umadatu al-Muftin fi al-Fiqh li al-Nawawi, Juz 1, halaman 179).


Kelima. Terjadinya praktik riba al-yad atau riba nasiah, atau riba al-qardly, adalah apabila besaran ujrah atau ju’lu bersifat tidak ma’lum di awal sehingga bisa bertambah terus seiring bertambahnya waktu mencicil. Adapun dalam Paylater, ada batasan waktu mencicil. 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur