Syariah

Peluang Bisnis Saham dan Pergeseran Kadar Berat Zakat dalam Fiqih Muamalah

Ahad, 16 Februari 2020 | 02:00 WIB

Peluang Bisnis Saham dan Pergeseran Kadar Berat Zakat dalam Fiqih Muamalah

(Ilustrasi: IndonesiaExpat.biz)

Dulu, saat masih menimba ilmu di madrasah tsanawiyah atau madrasah aliyah, pada saat itu kita dikenalkan dengan teori peluang dengan obyek dadu dengan enam sisi. Yang jelas, ini bukan untuk mengajari berjudi. Juga bukan mengajari menentukan peluang  untuk mendapatkan akhi atau ukht? Kita juga tidak lagi berbicara mengenai peluang santri untuk mendapatkan santriwati jebolan pesantren tertentu. Meskipun itu juga bisa diterapkan dalam dunia teori peluang ini.

Kita sedang mencoba untuk lebih membumikannya sebagai peluang mendapat kesempatan usaha. Alih-alih peluang untuk tingkat kehalalan suatu produk atau bahkan tingkat keharamannya. 

Peluang itu memiliki istilah lain sebagai tren positif. Jika jumlah santriwati sebuah pondok pesantren siap menikah sebanyak 200 orang, maka tren positif untuk menjadikan istri salah satu di antaranya adalah sebesar 1/200 atau sebesar 0,005, atau 0,5% saja. Angka yang tentunya sangat kecil. Jadi, nggak usah berharap banyak, ya? 

Lain halnya jika jumlah santriwati yang hendak lulus adalah sebanyak enam orang, maka peluang masing-masing santriwati untuk dijadikan istri oleh salah seorang gus atau santri senior yang siap menikah bisa jadi adalah sebesar 1/6, atau sebesar 0,167, setara dengan 16,7%. Lumayan, ada peluang yang besar.

Suatu misal ada peluang berupa saham yang dijual dalam bentuk sekuritas berjangka. Secara konsep, saham merupakan surat berharga berupa “bukti penyertaan modal” kepada perusahaan dan dengan bukti penyertaan tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan “bagian hasil dari usaha” perusahaan tersebut.”Dengan modal yang disertakan, itu artinya pemilik saham memiliki “peluang” untuk mendapatkan bagian dari hasil usaha karena ia secara tidak langsung memiliki “porsi kepemilikan” dalam jumlah tertentu terhadap aset usaha.

Jika modal usaha awalnya terkumpul sebagai 1 trilliun rupiah, dengan porsi 20 milliar rupiah pembelian saham yang diakuisisi seseorang, maka ini menandakan orang tersebut memiliki peluang sebesar (20 M : 1 trilliun), sama dengan 0,02, atau sekitar 2% modal. Dengan demikian, peluang penghasilan yang didapatnya dari keuntungan sejumlah 1 M adalah sama dengan 20 juta rupiah (bagi hasil). Jika keuntungan itu sebesar 1 triliun, maka ia mendapat 200 juta rupiah dari bagi hasil.

Jika persekutuan yang terbentuk berangkat dari awal penyertaan modal lewat akad syirkah ‘inan, maka porsi saham yang dimiliki oleh perorangan ini secara tidak langsung juga menjadi bagian dari cabang modal syirkah inan. Hukum akad cabang adalah mengikut pada asal cabang yang diikuti. Hukum keturunan saham terhadap mertua saham adalah mengikuti hukum orang tuanya saham karena tidak mungkin cucu saham dipandang sebagai bukan keturunan (trah) dari sang mertua saham bila terbukti asal kelahirannya juga berasal dari pasangan suami-istri saham yang menjadi menantu sang mertua saham itu.

Penulis di sini hanya mengajak pembaca untuk mengambil pendekatan logika saham, ya? Apapun profesi sang cucu saham di kemudian hari, yang bisa jadi akan berbeda dengan orang tuanya, tetap ia dipandang sebagai keturunan dan menjadi bagian dari aset saham orang tuanya.

Contoh praktis dalam pendekatan hukum, dalam terminologi fiqih klasik, yang dinamakan qabdhu (serah terima) adalah harus memenuhi unsur saling yadan bi yadin, yaitu asalnya dari tangan penjual, diterima secara langsung lewat tangan pembeli.  Di era modern sekarang ini, unsur yadan bi yadin bergeser ke qadran bi qadrin, yaitu dari suatu kuasa ke kuasa yang lain.

Jika kuasa ini dimaknai sebagai kadar atau ukuran, maka kadar yang dimaksud adalah dari kadar hasil pendekatan ke kadar hasil pendekatan yang lain. Contoh penerapan ini dalam terminologi fiqih klasik, kadar makanan pokok yang dipergunakan untuk membayar zakat menurut asalnya adalah berupa takaran gandum sebanyak 1 centang, yang hanya disebutkan kadarnya 1 sha’, yang setara 4 mud (1 cakupan tangan orang dewasa). Mengapa sekarang berubah menjadi satuan kilogram sehingga yang sampai di kita menjadi 2.5 kg beras? Sudah pasti, ini semua adalah berdasarkan pendekatan, karena fakta ukuran antara setiap ulama kalangan madzahibul arba’ah, berbeda-beda realita beratnya timbangan. Jika memakai madzhab Hanafi, 1 sha’ setara dengan minimal 3,2 kg obyek zakat yang ditetapkan oleh nash (kurma, anggur, gandum).

Berat 1 sha’ menurut madzhab Syafii ditemukan beberapa variasi berat, antara lain makanan pokok negara dengan berat pada kisaran 2.3 kg sampai dengan 2.9 kg. Masing-masing variasi kadar zakat yang ditetapkan menurut timbangan ini adalah contoh qadran bi qadrin, asalnya dari kadar 1 sha’ menjadi kadar satuan berat timbangan (kg).
 
Ini semua dalam terminologi modern disebut dengan istilah takaran turunan (qadran hukman). Adanya yang sifat “hukman-hukman” ini semua adalah bagian dari pendekatan (taqriban). Imam Nawawi menegaskan hal ini sebagaimana dinukil oleh Syekh Taqiyuddin Al-Husny:

وَاعْلَم أَن الِاعْتِبَار فِي الأوسق بِالْكَيْلِ على الصَّحِيح لَا بِالْوَزْنِ وَإِنَّمَا قدرُوا ذَلِك بِالْوَزْنِ استظهاراً وَهل ذَلِك على سَبِيل التَّحْدِيد أَو التَّقْرِيب قَالَ النَّوَوِيّ فِي أصل الرَّوْضَة الْأَصَح عِنْد الْأَكْثَرين أَنه تَحْدِيد وَقيل تقريب وَصحح فِي شرح مُسلم وَفِي كتاب الظِّهَار من شرح الْمُهَذّب عكس ذَلِك وَقَالَ الصَّحِيح أَنه تقريب وَالثَّانِي أَنه تَحْدِيد وَكَذَا صَححهُ فِي كِتَابه رُؤُوس الْمسَائِل وَعلله بِأَنَّهُ مُجْتَهد فِيهِ

Artinya, “Dan ketahuilah sesungguhnya istilah ausuq itu adalah ditetapkan berdasarkan takaran secara sahihnya, dan bukan dengan timbangan. Adapun kemudian dipergunakan timbangan adalah hanya merupakan bentuk pendekatan pada aspek realitas di masyarakat. Dengan demikian, apakah pendekatan ini merupakan bentuk penetapan batasan (tahdid), ataukah termasuk pendekatan (taqrib). Imam Nawawi menyatakan dalam Matan Ar-Raudhah, menurut qaul ashah mayoritas ulama, itu adalah wujud penetapan batasan. Namun juga disampaikannya secara shahih dalam Syarah Muslim bahwa itu adalah bentuk pendekatan (taqrib) saja. Uniknya, dalam Kitab Ad-Zhihar dalam Syarah Muhadzdzab ia menyatakan sebaliknya (kembali pernyataan sebagai tahdid). Beliau di satu sisi mengatakan bahwa secara shahih itu adalah pendekatan (taqrib). Sementara dalam qaul kedua dinyatakan sebagai tahdid. Demikian juga dalam Kitab Ru’usu al-Masail, beliau menyatakan tahdid. Lalu ia menyampaikan illat bahwa itu adalah obyek ijtihadnya mujtahid.” (Kifayatul Akhyar, juz 1, halaman 182).

Jika menangkap dialektika tentang kadar di atas, kita bisa menangkap bahwa Imam Nawawi saja menetapkan kadar 1 sha’ sebagai dua pendapat yang sama-sama shahihnya maka bagaimana dengan kadar harga yang ada di “pasar turunan saham” yang itu juga berbasis “pendekatan harga” dan harus berlangsung cepat?

Dalam konteks takaran, pendapat pertama Imam Nawawi menyatakan bahwa hasil timbangan 1 sha’ itu sebagai “kadar turunan” yang berlaku sebagai tahdid (pasti), dan pada pendapatan kedua Imam Nawawi menetapkan sebagai kadar “kira-kira” atau “relatif” (taqrib). Padahal, realita di lapangan, kita juga menggunakan kaidah kadar turunan ini dalam praktik pembayaran zakat.
 
Semestinya kalau kita memegang tekstual sehingga kadarnya pasti, kita seharusnya memakai “kadar bakunya” Madzhab Hanafi, sebab beliau mematok pada unsur 5 makanan pokok saja (kurma, gandum dan anggur) dengan satuan takaran sha’ dan rithlun selain Baghdad.

Sekali lagi, ini adalah “kalau”. Jika tidak “kalau”, maka kita boleh memakai taqriban, yang berarti “kadar turunan.” Nah, introduksikan pendekatan ini pada pasar harga saham di dunia pasaran berjangka! Semoga ada waktu untuk bisa mengupas ini melalui perspektif lain. Tentu saja semua ini adalah bentuk praktik pendekatan manhajy, karena ulama terdahulu juga pernah melakukan pola pendekatan yang sama terhadap “kadar baku/kadar ashly” pakai “shad”. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua