Syariah

Pengaturan Harga dan Kompensasinya dalam Kajian Fiqih

Ahad, 4 September 2022 | 08:00 WIB

Pengaturan Harga dan Kompensasinya dalam Kajian Fiqih

Pengaturan harga dan kompensasi dalam kajian fiqih

Hukum asal melakukan pengaturan harga adalah dilarang oleh Nabi Muhammad saw: 


غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: يا رسول الله لوسعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولامال. رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي 


Artinya: "Suatu ketika terjadi krisis di zaman Rasulullah saw. Kemudian para sahabat meminta kepadanya agar menetapkan harga-harga barang: "Hendaknya engkau tetapkan harga barang?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah swt Dzat Yang Maha Mengendalikan, Maha Memberi Rezeki, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha Penentu Harga. Sesungguhnya aku pastilah berharap kelak bertemu Allah swt dalam kondisi tak ada seorang pun menuntutku atas suatu kezaliman yang aku perbuat berkaitan dengan darah dan juga tidak dengan harta.” (HR Imam Lima selain an-Nasai dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi). 


Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah menyatakan bahwa pengaturan harga adalah akar timbulnya krisis. Itu sebabnya, melakukan pengaturan harga hukum asalnya adalah haram.


التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً


Artinya: "Tas'ir merupakan salah satu penyebab timbulnya inflasi harga, karena tabiat para pelaku jual beli jalab (talaqqi rukban). Biasanya ketika sampai kepada mereka (berita harga di pasaran), maka mereka tidak akan mendatangkan dagangan mereka ke negara yang mereka benci melakukan transaksi di dalamnya, sebab tidak sesuai dengan harapannya. Bagi pemilik barang, mereka melakukan penahanan barang, menimbunnya, sementara konsumen banyak yang sedang mencari barang, dan mereka tidak menemukannya di pasaran kecuali dalam jumlah minim. Akibatnya, mereka terpaksa menaikkan harga untuk mendapatkannya. Akhirnya terjadilah kenaikan harga, yang berakibat merugikan kedua pihak yang sedang bertransaksi, yakni: di satu sisi, pihak pemilik barang dirugikan sebagai konsekuensi penahanan barang miliknya, dan di sisi yang lain adalah pembeli sebagai konsekuensi tertahannya ia dari mendapatkan barang yang dibutuhkan. Maka dari itulah, tas’ir hukumnya adalah haram.” (Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Al-Mughni Syarah Matnil Kharâqi, [Kairo: Thab’ah Maktabah al-Qâhirah, 1970], juz IV, halaman 240).


Namun ketika situasi tak dapat dikendalikan sehingga muncul berbagai dekadensi moral akibat krisis, seperti pencurian, perampokan, kecenderungan masyarakat untuk melakukan merugikan kepada pihak lain, maka pemerintah dibolehkan untuk menerapkan kebijakan tas’ir karena dharurah li hajatin nas dan menjaga kemaslahatan umum. 


فألف العلماء بسبب ذلك المؤلفات ليشاركوا في حل هذه المشكلة حلا إسلاميّا، ودعوا إلى النظر في مصالح العامة وفرض التسعيرات الجبرية عند اشتداد الغلاء، والضرب على أيدي المطففين والمحتكرين


Artinya: “Di tengah kondisi itu, banyak ulama yang kemudian tergugah untuk menyusun berbagai karya dalam rangka berpartisipasi untuk mengubah kondisi yang menyulitkan itu secara Islami. Pada akhirnya, mereka menyuarakan pemandangan agar diberlakukan kebijakan demi menjaga kemaslahatan umum dan memutuskan agar dilakukan kebijakan pengaturan harga secara paksa dalam kondisi krisis mendalam tersebut. Selanjutnya, para ulama menyerukan agar ditegakkan hukum terhadap para pelaku yang mencurangi takaran dan timbangan, serta para penimbun barang pokok.” (Al-Thufi, al-Intisharatul Islamiyah fi Kasyfi Syibhin Nashraniyyah, [Beirut: DKI], juz I, halaman 29).


Syeikh Wahbah Az-Zuhaili menyampaiikan dalam karya masterpiecenya:


 ثم أفتى الفقهاء السبعة في المدينة بجوار تدخل الدولة لتسعير الحاجيات ووضع حد لجشع التجار، ومنع الغبن، لأنه يجب أن يكون الثمن عادلاً غير مجحف بالبائع والمشتري. وبه يتبين أن مبدأ الحرية الاقتصادية أصبح مقيداً فيما يجيزه تشريع الإسلام من نشاط اقتصادي اجتماعي للأفراد، ولايجوز للإنسان الخروج عليه كالتعامل بالربا والاحتكار ونحو ذلك


Artinya: “Para Fuqaha Madinah telah berfatwa akan kebolehan intervensi negara dalam melakukan pematokan harga terhadap barang-barang pokok, menetapkan batasan pengendalian guna melindungi konsumen dari ketamakan para pedagang dan mencegah terjadinya kecurangan. Semua ini dilatarbelakangi oleh keharusan bahwa harga yang terbentuk di masyarakat hendaknya berlangsung equilibrum (adil), tidak menyisakan jurang pemisah (gap) antara penjual dan pembeli. Dengan landasan ini, maka menjadi jelas bahwa prinsip dasar kebebasan ekonomi adalah harus bersifat dapat dibatasi dalam bingkai  yang dibolehkan oleh syariat Islam, termasuk di dalamnya aktifitas-aktifitas individu yang mempengaruhi ekonomi masyarakat. Segala aktifitas ini tidak boleh keluar dari batas-batas syariat, sebagaimana praktik riba, monopoli dan sejenisnya.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Dâr al-Fikr], juz VII, halaman 4998-4999).


Di dalam pengaturan harga terdapat pihak yang terkena imbasnya, yakni pedagang dan produsen barang. Setiap kerugian akibat penerapan kebijakan tas’ir menghendaki adanya kompensasi (arsyun) sebagai wujud pengamalan ganti rugi (dhaman).


الأْصْل أنَّ الشَّخْصَ مَسْئُولٌ عَنْ ضَمانِ الضَّرَرِ الَّذِي يَنْشَأُ عَنْ فِعْلِهِ


Artinya, “Berdasarkan dalil asal, seseorang dituntut bertanggung jawab melakukan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan dan muncul karena efek kebijakan yang diterapkannya.” (Majmu’atu al-Muallifin, al-Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil: 1427 H], juz XVIII, halaman 276).


Besarnya nilai kerugian yang wajib ditanggung oleh pemerintah selaku penyebab langsung timbulnya kerugian berbanding lurus dengan nilai kerugian. 


الضرر بالضمان


"Setiap kerugian berbanding lurus dengan nilai ganti kerugian (sebagai kompensasi).”


Arti penting dari relasi pengaturan harga, kerugian dan ganti kerugian ini, dapat dipahami menurut dua sudut pandang, yaitu:

  1. Dilihat dari kacamata pemerintah, kompensasi kerugian ini menempati derajatnya arsyun atau dhamman.
  2. Adapun ditilik dari sudut pandang masyarakat, kompensasi ini berlaku sebagai subsidi. Wallahu a’lam bis shawab.
 


Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim