Syariah

Pola Akuisisi Barang dalam Fiqih Klasik

Sel, 21 Juli 2020 | 12:00 WIB

Pola Akuisisi Barang dalam Fiqih Klasik

Setiap orang yang terikat dengan akad syuf’ah tidak boleh menjual bagiannya kepada orang lain tanpa seizin pihak lainnya.

Akuisisi merupakan sebuah akad pengambilan hak dan wewenang serta kepemilikan dari suatu entitas perusahaan atau entitas usaha tertentu. Di dalam fiqih klasik, teknik akuisisi ini sering diperankan melalui akad syuf’ah. Ilustrasi dari praktiknya adalah sebagai berikut:

 

“Ada dua orang pihak yang patungan membeli sepeda. Sepeda itu harganya Rp18 juta, kondisi new (baru). Masing-masing pihak patungan mengeluarkan uang sebesar Rp9 juta. Karena yang patungan adalah 2 orang bersaudara yang masih sama-sama jomblo, dan karena salah satunya juga hendak menikah sehingga butuh kepastian sepeda itu menjadi milik salah satu dari dua orang tersebut, maka dilakukanlah upaya menebus kepemilikan. Berhubung sepeda sudah setengah pakai, maka ketika hendak terjadi akuisisi itu, dilakukanlah upaya bertanya ke salah satu dealer untuk mengetahui kadar perkiraan harga sepeda saat akan ditebus itu. Oleh dealer, sepeda itu ditaksir dengan harga 12 juta. Akhirnya, kedua pihak sepakat dengan harga tersebut, dan dilakukanlah saling tebus itu sehingga yang dikeluarkan oleh pihak penebus adalah Rp6 juta.”

 

Pola akuisisi di atas sudah berlaku umum di masyarakat kita, dan hukumnya adalah boleh, serta akadnya adalah termasuk akad syuf’ah. Di dalam syariah, akad syuf’ah ini hanya berlaku untuk harta yang bisa dibagi serta terlarang untuk harta yang tidak bisa dibagi. Contoh dari harga yang tidak bisa dibagi adalah patungan yang digunakan untuk barang yang akan dijadikan mahar menikahi seseorang antara dua orang laki-laki. Karena ada ketentuan dalam fiqih, bahwa:

 

أَن الْبضْع مُتَقَوّم وَقِيمَته بِمهْر الْمثل لِأَنَّهُ بدل الشّقص فالبضع هُوَ ثمن الشّقص

 

“Sesungguhnya budlu’ (farji) perempuan yang hendak dinikah itu memiliki harga (mutaqawwam), dan harganya/nilainya adalah berupa mahar mitsil. Dan karena mahar merupakan ‘ganti’ dari suatu syaqsh (barang), maka farji juga bisa dimaknai sebagai harganya syaqsh (bagian yang dibarter dengan mahar tersebut).” (Kifayatu al-Akhyar, juz 1, halaman 186)

 

Karena wanita dilarang melakukan poliandri, maka patungan mahar sebagaimana hal tersebut hukumnya adalah tidak boleh, untuk itu harus ada yang menceraikan salah satu. Jika tidak, maka itu artinya 2 orang laki-laki melakukan serikat terhadap budlu’, dan hal seperti ini hukumnya adalah haram.

 

Inti utama yang berlaku dalam syuf’ah adalah bahwa:

 

وَالشُّفْعَة وَاجِبَة بالخلطة دون الْجوَار فِيمَا يَنْقَسِم دون مَالا يَنْقَسِم وَفِي كل مَا لَا ينْقل من الأَرْض كالعقار وَنَحْوه

 

Syuf’ah itu hukumnya wajib penyampuran harta dengan sempurna, dan bukan sekadar percampuran jiwar (tidak sempurna) dan terjadi pada barang yang bisa dibagi. Syuf’ah pada barang yang tidak bisa dipindahkan bisa berlaku atas bumi, kebun atau sejenisnya.”

 

Alhasil, syuf’ah itu bisa dilakukan dengan catatan:

 

  1. Patungan antara dua orang atau lebih.
  1. Di dalam patungan ini terjadi percampuran harta secara bersama (percampuran sempurna/khalathah syuyu’) dan bukan sekadar percampuran jiwar (percampuran tidak sempurna)
  1. Setiap pelaku syuf’ah tidak boleh menjual bagiannya kepada orang lain tanpa seizin pihak lainnya.
  1. Percampuran itu harus terjadi pada objek yang bisa dibagi, dan bukan pada objek yang tidak bisa dibagi (Kifayatu al-Akhyar, halaman 184).

 

Nah, di dalam akad modern, pola akuisisi ini berkembang pesat sekali. Adakalanya akuisisi itu tetap memakai konsepsi syuf’ah, namun adakalanya juga akuisisi itu sama sekali meninggalkan konsepsi syuf’ah. Contoh dari kesekian akuisisi ini di alam modern saat ini, adalah merger, saham, aset. Dalam akuisisi aset, ada akuisisi horizontal, akuisisi vertikal dan akuisisi konglomerat. Semua jenis akuisisi ini yang paling sesuai dengan akuisisi syuf’ah adalah akuisisi aset. Namun, dalam hal ini pun, tidak semua jenis akuisisi aset bisa dikategorikan sebagai syuf’ah. Wallahu ‘alam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim