Syariah

Praktik Penukaran Uang yang Boleh dan yang Haram

Jum, 14 Mei 2021 | 11:00 WIB

Praktik Penukaran Uang yang Boleh dan yang Haram

Uang di satu sisi ia dipandang sebagai komoditas ribawi dan di sisi yang lain, ia dipandang sebagai bukan komodiitas ribawi

Sudah menjadi suatu pemandangan yang lumrah setiap menjelang Idul Fitri tiba, sepanjang jalan kawasan Kota Tua, Jakarta Barat banyak orang berjejer dengan tumpukan uang rapi di hadapannya. Uang-uang tersebut mereka tawarkan kepada setiap pengendara yang melintas. Mereka adalah para penjaja jasa penukaran uang yang keberadaanya selalu dicari menjelang lebaran. Demikian sebagaimana dilansir dari Viva.

 

Dilaporkan pula bahwa salah seorang yang menekuni bisnis ini, sudah melakoni profesi tersebut selama kurang lebih 20 tahun. Uniknya, profesi itu tidak hanya dilakukan saat menjelang Idul Fitri saja, bahkan menjadi salah satu sumber mata pencaharian sehari-hari. Banyak pelanggannya yang berasal dari rumah makan atau warung-warung kecil pinggir jalan yang memanfaatkan jasanya.

 

Diceritakan bahwa saat memulai bisnis ini, modal yang dibutuhkan pelaku tersebut terhitung sedikit. Waktu itu ia hanya mengeluarkan Rp3,7 juta sebagai modal awalnya. Keseluruhan modal itu ia peroleh dari kocek pribadinya. Ketika menjalankan bisnisnya, sang pelaku mengenakan biaya tambahan pada setiap orang yang hendak menukarkan uangnya. Ia menetapkan biaya sebesar 10% untuk jasanya per jumlah uang yang ditukarkan.

 

Misalnya ada yang mau menukar uang Rp500 ribu, maka dia harus membayar sebesar Rp550 ribu rupiah. Kalau mau menukar uang Rp1 juta, maka dia harus membayar sebesar Rp1,1 juta. Demikian seterusnya. Walhasil, setiap orang terkena biaya penukaran sebesar 10%.

 

Adapun objek uang yang ditukar, menurut laporan pelaku, dalam sehari ia bekerja dari pukul 7 pagi hingga 6 sore menyiapkan uang sebesar Rp500 juta. Uang-uang itu terbagi dalam beberapa pecahan mulai dari Rp2.000 hinga Rp20.000 yang ia bawa dalam tas ransel berukuran besar. Dari situ keuntungan yang ia peroleh berkisar Rp3 juta hingga Rp5 juta.

 

Di sisi lain, juga turut dilaporkan di media tersebut, bahwa ada pihak lain yang hanya memanfaatkan momen Idul Fitri untuk menjalankan bisnis jasa penukaran uang ini. Mereka tidak menjadikan profesi tersebut sebagai mata pencaharian.

 

Menurut pengakuan pelaku, ia hanya membuka bisnis jasa ini di rumahnya dari selepas maghrib hingga menjelang tengah malam. Tarif yang diberikannya pun beragam, tergantung dari pecahan berapa yang ditukarkan. Misalnya, untuk duit sebesar Rp1 juta rupiah dan hendak ditukar dengan mata uang pecahan Rp2.000 atau Rp5.000, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar 10%, sehingga pihak yang menukar harus menyerahkan uang sebesar Rp1,1 juta. Namun, bila yang ditukar adalah uang sebesar Rp1 juta dengan uang pecahan Rp10.000 atau Rp20.000, maka tarif yang ia pungut adalah sebesar 5%, sehingga pihak yang menukar harus menyerahkan uang sebesar Rp1,05 juta.

 

Dalam sehari, keuntungan yang diperoleh pihak terakhir ini, bersifat tak menentu. Jika sedang ramai, maka bisa mengantongi untung hingga Rp3 juta. Namun, jika keadaan sepi, maka ia hanya mampu memperoleh untung tidak lebih dari Rp2 juta.

 

Objek Permasalahan Fiqih Bisnis Penukaran Uang

Dari deskripsi masalah sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, timbul permasalahan fiqih yang menghendaki jawaban mengenai status hukum bisnis penukaran uang. Sebagaimana diketahui, bisnis tersebut ternyata ada 2 model, yaitu: pertama, bisnis itu dimanfaatkan hanya karena adanya momen insidental, yaitu lebaran. Namun, kedua, ada yang menjalankan bisnis itu sebagai mata pencaharian.

 

Padahal, banyak disebutkan dalam berbagai hasil pembahasan bahtsul masail, bahwa bisnis penukaran ini sifatnya hanya dibolehkan karena alasan dlarurah lil-hajah (ada kebutuhan yang mendesak). Unsur kedaruratan ini timbul karena ada beberapa pihak yang membutuhkan uang pecahan guna menghadapi momen lebaran.

 

Masyarakat yang memanfaatkan jasa ini, biasanya tidak menggunakan uang yang ditukarkan tersebut untuk kebutuhannya sendiri. Mereka menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan memberi uang saku kepada anak kecil tetangga yang silaturahim ke rumahnya, atau dalam rangka memudahkan pembagian uang untuk disedekahkan kepada para fakir miskin di lingkungan tempat tinggalnya.

 

Sementara itu, dalam kasus di atas, bisnis penukaran uang ternyata dimanfaatkan sebagai mata pencaharian. Artinya, praktik tersebut bukan lagi dilandasi oleh illat dlarurah lil-hajah, namun lebih dekat kepada menjadikannya sebagai sebuah profesi. Mereka memanfaatkan hajat para pemilik toko besar atau warung kecil guna mengais keuntungan. Keuntungan diambil dari kebutuhan mereka terhadap uang recehan guna memberi uang kembali kepada konsumen/pelanggan di tokonya.

 

Tinjauan Etika Bisnis

Secara etika bisnis, mengais keuntungan dari penukaran uang semacam ini tentu menjadi tanda tanya besar. Apalagi, uang sendiri memiliki dua wajah pendapat, bahwa di satu sisi ia dipandang sebagai komoditas ribawi (khususnya mata uang utama) karena illat yaruju rawwaja al-dzahab (menempati derajatnya emas), dan di sisi yang lain, ia dipandang sebagai bukan komodiitas ribawi, misalnya seperti fulus.

 

Jika dipandang sebagai komoditas ribawi, maka bisnis penukaran uang beda selisih nominal yang dilakukan secara kontinyu (terus-menerus), maka secara tegas telah menabrak larangan melakukan praktik riba al-fadhli. Adanya pembolehan dalam kasus insidental disebabkan bahwa pihak yang menyediakan jasa penukaran itu ada usaha mengumpulkan uang mata pecahan rupiah yang sama dan jasanya ini kemudian dinilai sebagai kerja sehingga berhak atas ujrah (ganti keringat). Namun, jika penukaran ini dilakukan secara kontinyu (terus menerus), bahkan merupakan profesi, maka illat lelah mengumpulkan uang pecahan menjadi hilang. Alhasil, profesinya itu murni memperdagangkan uang dengan mata uang yang sama. Hal semacam ini secara nyata telah menabrak batas hikmah dari diciptakannya uang sebagai wasilah bertransaksi. Menggunakan uang tidak sebagaimana hikmah diciptakan, adalah merupakan praktik menzalimi pihak lain.

 

Imam al-Ghazali rahimahullah secara tegas telah menyatakan:

 

وكل من عامل معاملة الربا على الدرهم والدنانير فقد كفر النعمة وظلم لأنهما خلقا لغيرهما لالنفسهما إذ لاغرض في عينهما فإذا اتجر في عينهما فقد اتخذهما مقصودا على خلاف وضع الحكمة إذ طلب النقود لغير ما وضع له ظلم

 

Setiap orang yang melakukan muamalah riba (pertukaran uang) atas (mata uang) dirham dan dinar maka sesungguhnya ia telah kufur nikmat dan telah berbuat zalim karena keduanya diciptakan bukan untuk ditukarkan dengan selain keduanya dan bukan untuk sesamanya. Hal ini mengingat keduanya bukan untuk tujuan ‘ain-nya, maka dari itu apabila keduanya diperdagangkan, maka sama artinya dengan telah memperlakukannya tidak sebagaimana hikmah uang itu diciptakan. Memperlakukan nuqud (uang dinar-dirham) tidak sebagaimana fungsinya merupakan perilaku zalim.” (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94).

 

Alhasil, disepakati bahwa tidak semua hal yang sifatnya dibolehkan karena faktor dlarurah lil-hajah berlaku sebagai hukum kebolehan secara mutlak. Secara etika bisnis, ada waktunya kapan hal tersebut boleh dilaksanakan, dan kapan hal itu dilarang. Menempatkan kebolehan karena faktor dlarurah sebagai kemutlakan kebolehan merupakan bagian dari praktiik kezaliman.

 

Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

الظلم ظلمات يوم القيامة

 

"Kezaliman akan menjadi kegelapan di hari kiamat.” HR. Bukhari-Muslim

 

Hadits marfu’ yang senada dengan hadits di atas diriwayatkan oleh sahabat Jabir radliyallahu ‘anhu, bahwasannya Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

اتقوا الظلم، فإن الظلم ظلمات يوم القيامة، واتقوا الشُّحَ؛ فإنه أَهْلَكَ من كان قبلكم

 

"Takutlah kalian dari berbuat zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi biang kegelapan di hari kiamat. Takutlah kalian dari berperilaku syukh (rajanya bakhil), karena sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah mengalami kebinasaan karena hal tersebut” (HR Bukhari-Muslim).

 

Kesimpulan Hukum

Para fuqaha memandang kebolehan praktik bisnis penukaran uang dengan selisih nominal, adalah disebabkan karena menimbang beberapa hal, antara lain:

 

Pertama, karena adanya momen yang bersifat insidental, yaitu momen lebaran.

 

Kedua, kebutuhan penukaran ini tidak dimaksudkan untuk dipergunakan sendiri yang sifatnya konsumtif oleh para penukarnya. Mereka butuh adanya jasa penukaran ini untuk menukarkan uangnya guna memudahkan peran dan aksi sosialnya, seperti memberi uang saku anak kecil, menyantuni fakir miskin, dan sejenisnya.

 

Ketiga, karena alasan tidak untuk dikonsumsi sendiri inilah, maka diambil keringanan hukum bahwa uang kecil dianggap sebagai bukan komoditas barang ribawi sehingga hukum pertukarannya ditempatkan sebagai hukum jual beli.

 

Keempat, menjadikan praktik penukaran uang dengan mata uang yang sama, dan dengan selisih nominal yang berbeda antara penukar yang ditukar dan berlangsung secara terus-menerus (kontinyu) adalah sama dengan menabrak hikmah larangan memperdagangkan uang. Profesi/mata pencaharian yang semacam ini adalah lebih dekat kepada hikmah perilaku menzalimi pihak lain. Berlaku zalim kepada pihak lain, secara syara’ hukumnya adalah haram. Alhasil, menjalankan profesi jasa penukaran uang secara kontinyu hukumnya adalah haram menurut syariat.

 

Kelima, dalam pertimbangan peneliti, hukum keharaman ini berlaku untuk profesi penukaran uang dengan selisih nominal dari jenis mata uang yang sama (misalnya rupiah dengan rupiah). Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur