Syariah

Robot Otopilot dan Konsep 'Adat' dalam Fiqih Transaksi

Sel, 22 Juni 2021 | 14:00 WIB

Robot Otopilot dan Konsep 'Adat' dalam Fiqih Transaksi

Secara normatif (‘urf), robot masih sulit diterima sebagai pelaku transaksi, sebab ketiadaan akal manusiawinya. Alhasil, secara normatif, robot adalah instrumen, dan bukan ‘aqid.

Pada kajian terdahulu, kita sudah mendapati kesimpulan bahwa ada pertalian antara otomatis, lazim dan adat. Namun dalam ranah fiqih, selain adat, ada sesuatu yang menyerupai adat dan juga berlaku sebagai pertimbangan hukum. Sesuatu tersebut adalah ‘urf. Lantas, apa perbedaan antara keduanya?

 

Secara definisi, adat merupakan:

 

العادة ما استمرّ الناس عليه على حكم المعقول وعادوا اليه مرّة بعد أخرى

 

“Adat adalah sesuatu yang berlangsung terus menerus (berulang) pada diri manusia dan rasional dan mereka terbiasa untuk mengulanginya dari waktu ke waktu.”

 

Sementara ‘urf, didefinisikan sebagai:

 

العرف ما استقرّت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقّته الطبائع بالعقول وهو حجة أيضا لكنه أسرع الى الفهم بعد أخرى

 

“Urf adalah suatu norma yang sudah tertanam dalam diri manusia sebab bukti rasionalitasnya, dan sejalan dengan akal sehat sehingga dijadikan hujjah/landasan hidup mereka, bahkan lebih cepat diterima oleh pemahaman tanpa perlu berpikir lagi.”

 

Di dalam sebuah keterangan yang lain, disampaikan bahwa, ‘urf merupakan:

 

العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول او فعل أو ترك, ويسمّى العادة وفى لسان الشرعيين: لا فرق بين العرف والعادة

 

“Urf merupakan norma yang dikenal oleh masyarakat dan mereka menjalaninya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan atau meninggalkan. Kadang ‘urf juga dikenal sebagai adat. Bahkan, menurut beberapa keterangan para ulama, disampaikan bahwa tiada ada beda antara ‘urf dan adat.”

 

Berangkat dari tiga definisi di atas, kita dapat memerinci bahwa di satu sisi ada perbedaan antara ‘urf dan adat. Adat merupakan nilai, sementara ‘urf adalah merupakan norma. Namun di sisi lain, disinggung bahwa beberapa ulama’ menyamakan keduanya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.

 

Untuk ulama yang menganggap adanya beda ‘urf dan adat, maka perbedaan itu kiranya adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

  1. Adat merupakan sebuah hukum, karenanya menyimpan adanya sanksi hukum bagi pelanggarnya. Dalam padanan kosakata kita, adat ini kiranya adalah sama dengan diksi “nilai”. Oleh karenanya, berlaku adanya kadar dan ukuran ketaatan, pelanggaran, dan sejenisnya. Oleh sebab itu pula, adat merupakan landasan bagi berlakunya hukum positif dan peraturan masyarakat.
  2. Adapun ‘urf merupakan sebuah “norma”. Norma merupakan sesuatu yang ada namun tidak terkodifikasikan. Sebagai aturan yang tidak tertulis, maka ‘urf di satu daerah bisa berbeda dengan ‘urf di daerah lain. Oleh karenanya, pelanggaran terhadap norma, umumnya tidak berimbas kepada sanksi hukum, melainkan status pelanggar sebagai yang dipandang menyimpang oleh masyarakat.

 

Oleh karena adanya rincian konsekuensi perbedaan itu, maka ditarik adanya benang merah yang menjembatani keduanya dan sekaligus memisahkan antara satu sama lain. Kaidah itu adalah:

 

انما تعبر العادة اذا طردت فان أطربت فلا

 

"Sesungguhnya adat itu bisa dijadikan pijakan hukum bila hal itu berlaku umum. Akan tetapi, bila tidak berlaku umum, maka adat tidak bisa dijadikan patokan hukum.”

 

Robot dan Peran Substitusi

Adat adalah pekerjaan manusia yang berulang dan bisa diterima oleh akal sehingga memenuhi hukum sebab-akibat. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap pekerjaan yang berulang, sudah barang tentu memiliki pola dan karakteristik tertentu sehingga bisa ditarik sebuah formula/rumusan. Rumusan ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman komputer dan teknologi lainnya yang serupa sehingga bisa melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang digantikan.

 

Selanjutnya, teknologi ini dikenal dengan istilah teknologi robot atau teknologi otopilot. Melalui penerapan teknologi ini, ruang aktualisasi manusia menjadi tergantikan oleh substitusi teknologi robot atau otopilot tersebut. Dan peran substitusi ini bisa diterima oleh akal. Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah itu berarti tasaruf yang dilakukan oleh robot bisa menempati derajat pengganti tasarufnya manusia? Sehingga, suatu ketika bila ada orang masuk ke restoran, dan ditemui robot, dilayani robot, pembayarannya diterima oleh robot, apakah transaksinya ini dipandang sebagai sah secara syara’?

 

Kita akan telaah tentang bagaimana sebuah robot itu dibangun dan sistem kepercayaannya itu ditempatkan.

 

Robot Pengganti Peran Berulang Manusia

Robot diciptakan untuk menggantikan tugas dan peran manusia yang berulang dan bersifat bisa diterima dengan rasio dan akal sehat. Ketiadaan peran pengganti yang bisa diterima akal sehat, menandakan bahwa robot itu bukan lagi bisa disebut sebagai peran substitusi. Lebih tepatnya, robot itu disebut mainan (al-lu’bah).

 

Tugas apa saja yang digantikan, berikut ini ada beberapa hal yang bisa penulis identifikasi di lapangan.

 

  1. Ada beberapa perilaku manusia itu yang senantiasa dikerjakan secara berulang (takrar)
  2. Perilaku itu merupakan yang masuk akal dan bisa dipahami
  3. Karena perilaku itu harus dikerjakan berulang, maka diciptakan teknologi yang dapat mempersingkat kerja manusia dan bersifat harus mampu menggantikan kedudukan manusia tersebut dalam melakukannya
  4. Sifat dari perilaku yang digantikan ini adalah cenderung stabil (konstan) sehingga mudah untuk ditarik rumusan dan diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai serta kadarnya bisa diukur
  5. Teknologi diciptakan untuk menggantikan peran manusia yang bersifat aqly, sehingga tidak bisa menggantikan adat yang bersifat ibadah (ta'abbudy)
  6. Dari beberapa pokok pikiran di atas, maka lahir teknologi otomatisasi
  7. Robot otopilot adalah sebuah kebutuhan

 

Bagaimanapun juga, penggantian peran melaksanakan beberapa adat kebiasaan yang cenderung berulang itu memiliki nilai keuntungan dan kemaslahatan. Keuntungan dari perakitan otomatisasi adalah:

  1. Manusia bisa melakukan efisiensi waktu kerja
  2. Ada penghematan biaya yang nyata dan lebih murah
  3. Ukuran biaya menggunakan mesin otomatisasi lebih murah bila dibandingkan menggunakan peran wakil atau makelar

 

Karena bersifat menggantikan peran manusia tersebut, maka setiap mesin robot dan didesain otomatis senantiasa memiliki karakter dan pola khusus. Beberapa karakter mesin otomatis tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Mesin menggantikan peran manusia dalam memproses suatu bagian sesuai dengan yang diprogramkan. Misalkan, mesin penghitung, dia diprogram untuk kemampuan menghitung. Contoh dari mesin ini adalah mesin penghitung uang yang ada di perbankan.
  2. Mesin dapat melakukan kerja penyimpanan secara otomatis, baik dalam bentuk data atau dalam bentuk fisik.
  3. Mesin juga dapat memberikan laporan inspeksi dan evaluasi otomatis. Suatu misal, dalam wilayah akademis, peran analisis seringkali diputuskan dengan menggunakan beberapa software statistik
  4. Validitas analisis mesin, banyak bergantung pada kinerja validitas input data dan pengaturan.
  5. Validitas mesin tetap memerlukan adanya quality control ​​​​​​ yang diperankan oleh manusia sehingga membutuhkan inspeksi berkala
  6. Dalam garis besarnya, mesin yang sudah terprogram dengan baik, tidak akan pernah berkhianat dengan majikannya, kecuali ada error system.

 

Karena kerja dan peran manusia itu berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya dan di mana ia ditempatkan, maka orientasi dari otomatisasi teknologi itu bisa dibedakan sebagai 3 jenis otomatisasi. Jenis-jenis tersebut, antara lain:

  1. Fixed automatization, yaitu otomatisasi tetap. Jenis otomatisasi ini bersifat hanya memerlukan ketepatan konfigurasi alat
  2. Programmed automatization, yaitu otoatisasi terprogram. Otomatiisasi ini hanya bergantung pada ketepatan dalam menyusun program alat, memasukkan rumus, dan formula yang dibutuhkan secara terkalibrasi
  3. Flexible automatization, yaitu otomatisasi yang bersifat fleksibel sehingga dapat melakukan beberapa analisis sekaligus dan menghasilkan produk keputusan yang berbeda

 

RIncian dari ketiga jenis otopilotisasi tersebut sesuai dengan karakternya dapat diuraikan sebagai berikut:

 

Pertama, karakteristik otopilot tetap (fixed automatization). Beberapa karakteristik yang tampak dari otomatisasi tetap meliputi:

  1. Ketepatan otopilot ditentukan oleh konfigurasi alat
  2. Biaya perakitannya yang besar sehingga membutuhkan investasi yang besar
  3. Produktivitas alat sangat tinggi
  4. Bersifat tidak fleksibel, sehingga apabila terjadi perubahan kebijakan pada produk maka diperlukan konfigurasi yang baru lagi
  5. Alat tidak senantiasa terhubung dengan komputer baik secara inline maupun secara online

 

Kedua, karakteristik otopilot terprogram (programmed automatization). Beberapa karakteristik yang berlaku atas otomatisasi ini adalah sebagai berikut:

  1. Operasi terprogram biasanya disediakan untuk menjawab tantangan kebutuhan umum masyarakat dan beragam, namun butuh kepraktisan dalam penanganannya sehingga sumber daya manusia yang biasa menangani dapat dialihkan ke sektor produktif yang lain
  2. Langkah robotisasi memerlukan tindakan yang diawali dari pengumpulan data serta identifikasi kebiasaan masyarakat yang bersifat baku dan tetap
  3. Menerjemahkan data-data hasil identifikasi tersebut dalam bahasa pemrograman dan bersifat khusus. Langkah penerjemahan ini membutuhkan keahlian dan kecermatan dari pemrogram
  4. Investasi terhadap alat ini membutuhkan biaya yang besar
  5. Karakteristik alat yang diotomatisasi cenderung fleksibel dan dapat menyikapi perubahan
  6. Meniscayakan alat yang terhubung dengan komputer, baik secara in line maupun secara on line
  7. Ketepatan alat bergantung pada input data dan sistem pemrograman

 

Ketiga, karakteristik otopilot fleksibel (flexible automatization). Beberapa karakteristik yang nampak dan menonjol dari jenis otomatisasi ini adalah:

  1. Produk dirancang untuk menjawab tantangan secara fleksibel terhadap kebutuhan masyarakat
  2. Produk bisa mengidentifikasi beberapa variasi produk sekaligus
  3. Produk dirancang berbasis pemrograman dan konfigurasi alat, sehingga ketepatannya bergantuung pada cara pengkonfigurasiannya dan ketepatan dalam memasukkan data ke bahasa pemrograman
  4. Meniscayakan alat yang tehubung dengan komputer, baik secara in line maupun secara on line
  5. Ketepatan alat bergantung pada input data dan sistem pemrograman

 

Alasan Perlunya Robot-Otopilot

Mengapa perlu menyediakan robot otopilot? Kiranya pertanyaan ini sebenarnya sudah bisa dijawab oleh kita semua. Namun, karena kajian kita adalah mengarah pada sudut pandang fiqihnya, maka perlu kita sampaikan beberapa alasan mengapa diperlukan otomatisasi.

Ada beberapa alasan yang lazim dijadikan dalih bagi otomatisasi, yaitu:

  1. Perlunya peningkatan produktivitas. Hukum ekonomi menyatakan banyak kerja, maka banyak penghasilan
  2. Biaya tenaga kerja yang tinggi sehingga perlu dipangkas dengan teknologi
  3. Ada tren kekurangan tenaga kerja sehingga peran kekurangan tersebut perlu digantikan oleh teknologi, atau
  4. Tren tenaga kerja sektor jasa yang tinggi, sehingga perlu dilakukan pemangkasan kerja melalui introduksi mesin terprogram otomatis sehingga kebutuhan tersebut dapat tercukupi
  5. Mesin yang terprogram, tidak pernah mengkhianati tuannya sehingga senantiasa berjalan sesuai dengan yang diprogramkan
  6. Biaya bahan baku industri yang tinggi, sehingga perlu pengelolaan sumber daya lewat pemangkasan di sektor tenaga kerja
  7. Perlunya kualitas produk yang seragam dan terstandarisasi sehingga pertanggungjawaban risiko (kerugian) bisa diminimalisir
  8. Mengurangi waktu proses yang dibutuhkan oleh manusia sebab tenaganya sudah digantikan secara otomatis oleh mesin terprogram
  9. Memangkas pengeluaran di sektor tenaga kerja
  10. Biaya yang jauh lebih tinggi dibanding tidak mengotomatisasi.

 

Risiko Otopilotisasi Sistem

Karena robotisasi senantiasa dilakukan dengan berbasis pemrograman dan konfigurasi alat, maka sebagai risiko dari otopilotisasi ini adalah perlunya tenaga yang berkompeten dalam melakukan control kualitas.

 

Objek kontrol kualitas ini, antara lain mencakup:

  1. sequence control, yaitu kontrol dari hasil setiap stasiun input data
  2. safety monitoring, yaitu kontrol terhadap keamanan produk
  3. quality monitoring, yaitu kontrol terhadap kualitas dan keseragaman produuk sebagaimana formulasi awal ketika sistem otomatisasi itu hendak dirancang

 

Karena kemampuan alat bisa dibatasi oleh faktor usia dan penggunaan, maka sebagai risiko penyikapan terhadap dlarar yang ditimbulkan akibat penurunan kualitas produk sistem otopilot maka dilakukan sistem manajemen kontrol, sebagai berikut:

  1. instantable control, yaitu kontrol yang berbasis perbaikan terhadap sistem yang rusak
  2. memory control, yaitu kontrol terhadap resistensi konsumen yang diakibatkan penurunan kualitas produk

 

Semua komponen yang disampaikan di atas, pada dasarnya hanya merupakan sarana pendekatan bahwasannya seiring kemajuan teknologi, maka semua perbuatan berulang manusia dan memiliki karakteristik tertentu, ternyata bisa digantikan robot otopilot dengan otak kecerdasan artifisial.

 

Tidak hanya terjadi pada wilayah pelayanan/jasa saja, bahkan dalam ruang tertentu, pihak robot bisa menggantikan peran pekerjaan manusia, seperti melakukan transaksi dan lain sebagainya.

 

Transaksi tersebut bersifat terprogram dan secara langsung bisa melakukan serah terima barang. Contoh praktis adalah mesin ATM, mesin jual beli minuman, alat check lock, dan lain-lainnya. Tidak ada lawan berakad di tempat tersebut.

 

Di sini, kedudukan robot itu dalam fiqih digugat. Apakah transaksi berbasis robot ini termasuk transaksi yang sah? Jika sah, lantas kedudukan terprogramnya robot sehingga bisa mengerjakan secara persis pekerjaan manusia ini dipandang sebagai apa? Apakah sebagai salah satu dari pihak yang berakad, ataukah tetap sebagai instrumen?

 

Jika sebagai instrumen, bagaimana dengan status terprogramnya robot tersebut? Bagaimana pula dengan status transaksi yang dilakukannya secara kontinu? Apakah termasuk gambling?

 

Banyak pertanyaan yang harus diungkap, dan kiranya seolah kesimpulan itu bisa ditarik benang merahnya sebagai berikut:

  1. Secara adat, robot memang bisa ditempatkan sebagai pengganti manusia.
  2. Namun, secara normatif (‘urf), robot masih sulit diterima sebagai pelaku transaksi, sebab ketiadaan akal manusiawinya. Alhasil, secara normatif, robot adalah instrumen, dan bukan ‘aqid. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Direktur Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia (eL-Samsi) dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur