Syariah

Sebab Kontrak atau Akad Bisa Batal di Tengah Jalan

Sel, 10 Agustus 2021 | 14:30 WIB

Sebab Kontrak atau Akad Bisa Batal di Tengah Jalan

Akad atau kontrak pada dasarnya adalah ikatan kesepahaman antara dua pihak atau lebih. Pembatal akad sudah digariskan dalam banyak teks syariat.

 

 

Kontrak merupakan istilah lain dari akad (عقد). Di dalam Mu’jam al-Maani, aqad dimaknai sebagai:

 

إِقْرَارُ وتَوطِيدُ وإحْلالُ وتَثْبِيتُ الأَمْن، عَقَد السَّلام، يَعْقِدُه، عَقْدًا، أَقَامَ الهُدْنَةَ، إِقَامَةُ السَّلَام، تَحْقِيقُ السَّلَام وتَهْدِئَتُه

 

"Ikrar, klausul, rincian, kepastian keamanan, akad damai, mengikat suatu ikatan, gencatan senjata, perjanjian damai, penegasan terhadap keselamatan, dan penghentian perang” (Mu’jam al-Manani).

 

Adapun menurut perspektif qanun/undang-undang, sebagaimana peneliti kutip dari laman Wikipedia, “akad” sering dimaknai sebagai :

 

العقد في القانون هو اتفاق بين طرفين أو أكثر يتعهد فيه كل منهم بأشياء أو وعود متبادلة بحيث ينفذها القانون

 

"Akad secara qanuni merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang bersifat mengikat setiap pihak yang terlibat dengan beberapa materi atau berisikan klausul melakukan relasi imbal balik/pertukaran berdasar peraturan.”

 

Dari kedua konsep dasar di atas, kita bisa menarik benang merah, bahwa akad/kontrak dalam wilayah praktis merupakan sebuah kesepakatan dan kesepahaman untuk saling melakukan relasi imbal balik, secara aman, damai, tidak ada yang dirugikan, ditipu, atau dizalimi. Karena adanya sifat imbal balik ini, maka akad secara syara’ sering disemati dengan istilah ‘aqdun lazim, yaitu perjanjian yang sifatnya mengikat.

 

Pertanyaannya: sampai kapan suatu akad/kontrak itu berlaku mengikat? Secara umum jawaban dari pertanyaan ini adalah bahwa akad bisa berlaku menurut dua kategori, yaitu adakalanya bersifat temporer dan dibatasi oleh waktu, namun, adakalanya pula bahwa akad itu berjalan dengan tidak dibatasi oleh waktu (muddah). Alhasil, waktu juga menjadi komponen dari akad. Dan masa berlaku ini tergantung pada isi kesepakatan perjanjian.

 

Hukum Menepati Akad

Hukum menepati akad bagi pribadi muslim adalah wajib secara syara’. Sebab, akad adalah juga merupakan bagian dari janji. Menepati janji adalah wajib.

 

Dalil ketetapan wajib ini berlandaskan pada sabda Rasulullah ﷺ:

 

المسلمون عند شروطهم

 

“Orang Islam itu senantiasa teguh dengan janji-janji mereka” (HR al-Bukhari).

 

Bunyi hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni:

 

المسلمون على شروطهم ما وافق الحقّ

 

"Orang Islam wajib berpegang terhadap janji-janji mereka selagi berjalan di atas kebenaran (al-haq)” (HR ad-Daruquthni).

 

Ibn Syaibah juga meriwayatkan sebuah hadits dengan jalur dari Atha’:

 

المسلمون على شروطهم والصّلح جائز

 

"Orang Islam wajib berpegang pada janji-janjinya. Rekonsiliasi/damai itu hukumnya boleh” (HR Ibn Syaibah).

 

Secara khusus, kesimpulan yang baik berdasarkan hadits-hadits di atas adalah disampaikan oleh Muhammad Shidqi Ali Burnuw di dalam kitabnya Mausu’at al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, juz 10, halaman 610 sebagai berikut:

 

ومعنى قوله: على شروطهم أو عند شروطهم: أي أنّ المسلمين وقّافون عند شروطهم التي التزموها على أنفسهم فلا يتعدّونها، ويعملون على المحافظة عليها ومراعاتها وتنفيذها

 

"Makna sabda Baginda Nabi ﷺ (‘ala syuruthihim dan ‘inda syuruthihim), adalah sesungguhnya orang-orang Islam itu ialah mereka yang senantiasa berdiri di atas janji-janji kesepakatan yang telah dibuat dan bersifat mengikat terhadap diri mereka. Mereka tidak menerjangnya, dan bahkan bertindak sekuat tenaga menjaga, merawat dan menjalankannya.” (Mausu’at al-Qawa’id al-Fiqhiyyah li Muhammad Shidqi Ali Burnuw, Juz 10, halaman 610).

 

Kesimpulan dari Muhammad al-Shidqi ini senada dengan kaidah yang tertuang di dalam al-Mabsuth li al-Sarakhsy, juz 16, halaman 62, bahwasannya:

 

المسلمون عدول بعضهم على بعض

 

"Orang Islam senantiasa berlaku adil terhadap sesama.” (al-Mabsuth li al-Sarakhsy, Juz 16, halaman 62)

 

Batalnya Kontrak: Sebagian Disebabkan Penyelewengan

Berdasar rumusan yang telah diuraikan di muka, maka ada kemungkinan bahwa suatu akad bisa dipandang sebagai rusak (fasad) sehingga tidak berlaku lagi sifat mengikatnya (ilzam dan iltizam-nya). Tentu saja, hal ini memiliki latar belakang dan sebab hukum. “Sebab hukum” ini bisa kita rinci sebagai berikut:

 

Pertama, akad tidak berlaku lagi karena sudah habis masa berlakunya. Misalnya, akad ini berkaitan dengan akad ijarah (sewa jasa). Ketika sudah habis tempo penyewaan, maka barang harus kembali kepada pemiliknya, disertai dengan upah yang diberikan sesuai dengan kesepakatan sewa jasa.

 

Kedua, akad tidak berlaku lagi disebabkan karena adanya pihak yang menyalahi poin-poin kesepakatan dalam kontrak/perjanjian. Dalam bahasa kita, tindakan ini sering dikenal dengan istilah penyelewengan (dispute), moral hazard (tindakan amoral), atau pelanggaran kesepakatan. Secara syara’, pihak-pihak yang dimaksud ini dilabeli dengan istilah khain (pengkhianat), dhalim (pelaku aniaya), fasiq (pelanggar hukum), dan bathil (pembatal akad),

 

Istilah khain muncul karena adanya penjelasan dari Baginda Nabi ﷺ terkait tanda-tanda orang munafik, bahwa …wa idza u’tumina khana (…ketika dipercaya maka khianat).

 

Adapun istilah dhalim muncul karena adanya ayat yang secara sharih menjelaskan:

 

الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه

 

"(Orang zalim itu adalah) orang-orang yang membatalkan janji/kesepakatan yang telah diteguhkan dengan atas nama Allah” (QS al-Baqarah).

 

Istilah fasiq juga muncul secara tegas dinyatakan dalam ayat yang sama dengan ayat di atas, yaitu:

 

ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض أولئك هم الخاسرون

 

"Mereka memutus apa yang diperintahkan oleh Allah agar disambung dan melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS al-Baqarah).

 

Adapun, sematan bathil (pembatal akad) adalah berdasarkan dalil asal:

 

ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

 

"Janganlah kalian saling memakan harta-harta kalian dengan jalan bathil.”

 

Secara qaidah sharfiyyah, diksi “bathil” merupakan isim fa’il yang maknanya adalah pelaku pembatal. Jika hal itu dikaitkan dengan kontrak, maka pelaku ini bisa jadi adalah terdiri dari orang yang melakukan pelanggaran transaksi, sengaja berbuat merugikan orang lain, menipu, dan lain sebagainya.

 

Ketiga, akad menjadi tidak berlaku lagi disebabkan karena dibatalkan. Contoh dari akad ini adalah akad khulu’ (gugat cerai dengan tebusan). Umumnya, akad ini dikaitkan dengan ketentuan yang sudah disepakati dan kemudian dilanggar oleh salah satu pihak. Misalnya, dalam bab ta’liq tathliq yang terdapat dalam buku nikah, disampaikan bahwa apabila suami pergi meninggalkannya selama 7 bulan (Hijriah), tanpa ada kabar berita, dan tanpa ada nafkah, kemudian pihak istri mengajukan gugat cerai ke pengadilan dan diterima oleh pihak hakim, maka jatuh thalaq satu.

 

Dari perspektif suami, pembatalan akad nikah bisa disebabkan karena lepasnya kata-kata thalaq yang disampaikannya kepada si istri.

 

Dalam konteks bangunan kontrak ekonomi, akad pembatalan kontrak ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Adakalanya karena pertimbangan faktor sulitnya dilakukan kesepakatan, dan adakalanya pula memang dikehendaki oleh salah satu pelaku agar kerja sama itu dibatalkan. Misalnya, yang terjadi dalam salah satu konsepsi akad syirkah.

 

Keempat, kontrak yang terjadi secara mutlak melanggar ketentuan syara’ dan membahayakan salah satu pihak. Contoh dari akad ini adalah akad fasakh yang diajukan oleh pihak perempuan karena ada beberapa mani’ (penghalang secara syara’) yang ditemui pada suaminya. Misalnya: si perempuan adalah Muslimah yang taat, sementara sang suami adalah pelaku dosa besar (pezina, pemabuk, suka meninggalkan perintah wajib dalam syara’), atau sang suami adalah pihak yang masuk kelompok hajr (yang ditahan pengelolaan hartanya) disebabkan karena udzur syara’, seperti junun (gila), safih (idiot), dan anak kecil (shabi). Dalam konteks ini, pihak perempuan bisa mengajukan fasakh (pembatalan akad pernikahan).

 

Kelima, kontrak yang terjadi berlangsung otomatis batal. Contoh dari akad ini adalah akad pernikahan yang otomatis batal karena adanya qadzaf (tuduhan zina) dan li’an (saling melaknat disebabkan salah satu pihak ada yang menuduh sebagai zina). Dalam kesempatan lain, pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan budak laki-laki, juga menjadikan akad pernikahan itu otomatis batal. Demikian halnya, pernikahan yang dilakukan antara perempuan Muslimah dengan ubadatu al-autsan (penyembah berhala), secara otomatis batal.

 

Dalam bangunan ekonomi, terjadinya akad antara seorang Muslim dengan produsen minuman keras, juga secara otomatis batal. Alasan hukum yang menyebabkan otomatis batal, adalah disebabkan karena minuman keras tidak dipandang sebagai harta bagi Muslim karena alasan hukum haramnya secara material.

 

Dalam konteks Islam, sesuatu bisa dipandang sebagai harta apabila diperoleh dengan jalan yang sah serta tidak melanggar ketentuan syara’. Alhasil harta bagi muslim adalah wajib halal. Apabila harta itu diperoleh dengan melanggar syara’, maka materi yang didapatkan pada dasarnya bukanlah harta yang berhak dikuasai. Itu sebabnya, ada akad dlaman (ganti rugi), arsyun (tambel), qishash  (kisas), sirqah (hukum pencurian), ghashab (hukum menggunakan harta benda orang lain secara tidak sah). Oleh karena itu, untuk konteks bisnis minuman keras, maka pihak penjual dihukumi sebagai pelaku yang telah mengghashab “uang” milik “pembeli”-nya, sebab minuman keras adalah haram dan tidak sah ditransaksikan. Hukum yang berlaku dalam Islam, apabila objek yang ditransaksikan adalah perkara haram, maka uang yang diserahkan sebagai harga kepada penjual, mutlak harus kembali kepada pembelinya.

 

Kesimpulan

Itulah berbagai konteks yang terjadi dan menyelimuti bangunan akad/kontrak dalam perspektif Islam. Jadi, akad pada dasarnya adalah ikatan kesepahaman antara dua pihak atau lebih. Pembatal akad sudah digariskan dalam banyak nushush al-syariah. Sifat pembatal ini tidak hanya berlaku dalam cabang-cabang kontrak ekonomi, melainkan dalam semua akad, termasuk akad pernikahan. Apabila terpenuhi ketentuan batal dan rusaknya akad secara syara’, maka akad otomatis batal dan kembali pada kondisi netral. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam konsep bathil secara syara’ adalah kembalinya harta kepada pembeli dan barang kepada penjual. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur