Syariah

Ragam Pendapat Ulama tentang Hukum Umrah

Sab, 9 Juli 2022 | 11:15 WIB

Ragam Pendapat Ulama tentang Hukum Umrah

Sebagian ulama berpendapan, umrah itu wajib. Sebagian lainnya berpendapat, umrah itu sunnah

Selama ini mungkin masyarakat pada umumnya meyakini bahwa hukum umrah hanya wajib, tanpa kemungkinan hukum yang lain. Persis seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, tidak akan pernah berubah menjadi sunnah. Pasalnya, para tokoh agama yang menyebar di kampung-kampung jarang menjelaskan hal demikian.


Apalagi di tengah masyarakat primitif yang masih mendayagunakan sungai sebagai pusat kebutuhan air mereka, kemungkinan besar pengajian para kiai kampung di sana masih di bab bersuci, shalat, dan anjuran rajin ke masjid. 


Padahal, ulama yang mempelopori hukum selain wajib, bukan ulama kacangan. Mereka berdasar pada cara bacanya imam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan as-Sya’bi. Sedangkan yang mengatakan wajib, bermakmum kepada cara baca selain tiga pembesar di atas.


Alhasil, ibadah umrah menyandang dua hukum yang sama-sama kuat-kendati pasti ada yang lebih kuat-yang akan kita kaji bersama; mulai dari status hukum masing-masing, hingga dalil dan argumentasinya.


Hukum Umrah

Seperti “bocoran” di atas, terdapat silang pendapat ulama terkait ibadah umrah yang sekurangnya memiliki dua hukum; pertama wajib, dan kedua sunnah. Baik kelompok yang mengatakan wajib maupun yang mengatakan sunnah, sama-sama berdasar pada satu teks Al-Qur’an. Yaitu penggalan awal surah al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi;


‌وَأَتِمُّواْ ٱلۡحَجَّ وَٱلۡعُمۡرَةَ لِلَّهِ


Artinya, “Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”


Sayangnya, pemantik silang pendapat itu terletak pada perbedaan cara baca mereka atas teks ‘wal ‘umrah’. Kubu pertama-yang berpendapat wajib-memilih membaca nashab (huruf ta pada ‘al-‘umrah’ dibaca fatah [al-‘umrata]). Sedang kubu kedua lebih percaya membaca rafa’ (huruf ta pada al-umrah dibaca dhammah [al-‘umratu]). Dua cara baca inilah yang melahirkan dua pandangan hukum dalam ibadah umrah.


Kelompok ulama yang mewajibkan umrah-dengan membaca nashab lafal ‘al-‘umrata’ sebab mengikuti lafal ‘al-hajja’-berkesimpulan bahwa hukum umrah sama dengan hukum haji. Ketika ibadah haji menyandang hukum wajib dengan dalil ‘Wa atimmul hajja’, umrah juga memiliki konsekuensi hukum yang sama. Mengingat, kesamaan cara baca pada dua lafal tersebut melahirkan hukum yang sama pula. Dalam teori gramatikal Arab disebut ‘athaf-ma’thuf.


Adapun kelompok yang mengatakan sunnah-dengan membaca rafa’ lafal al-‘umratu-jelas tidak diikutkan kepada lafal ‘al-hajja.’ Ibadah haji memang wajib dengan dalil sebagaimana di atas, tetapi umrah tidak membuntuti hukum haji. Dengan beberapa dalil pendukung, kelompok ini berkesimpulan bahwa hukum umrah adalah sunnah.


Sekadar menambah informasi, dalam merumuskan hukum, para ulama kita tidak hanya mengandalkan teori hermeneutika semata, melainkan “dikawinkan” dengan teks-teks syariat yang lain, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Jadi, satu teks Al-Qur’an bisa saja menafsirkan teks lain dalam Al-Qur’an dan juga sebagai tafsir atas teks hadits.


Demikian pula hadits, ia dapat berfungsi menafsirkan Al-Qur’an dan juga teks hadits yang lain. Dan, dua pandangan ulama yang kita jelaskan tadi, sama-sama mengantongi dalil penguat masing-masing. Mari kita simak perlahan.


Argumentasi Penguat Pandangan Pertama

Kubu pertama ini, ternyata menolak keras cara baca kubu kedua (dengan dibaca rafa’). Selain karena cara baca tersebut keluar dari kaidah semestinya (syaddzah) yang berkonsekuensi kalah bila dihadapkan dengan cara baca yang diterima oleh mayoritas (mutawatirah), juga dinilai lemah dalam gramatikal bahasa Arab.


Karena jika “memaksa” dibaca rafa’, tentu berdampak pada mengikutkan nomina (kata benda, dalam hal ini ‘Al-‘umratu’) kepada verba (kata kerja, yaitu lafal ‘Wa atimmu’). Dan, ini fatal dalam bahasa Arab.


Lebih lagi, jika dibaca lengkap menjadi ‘Wal ‘umratu lillah’ (umrah karena Allah), akan menyimpan makna ‘Wal ‘umratu ‘ibadatullah’ (umrah adalah ibadah kepada Allah). Ketika umrah dimaknai sebagai ibadah, maka kita akan dihadapkan dengan konsep ibadah itu sendiri. Allah berfirman, ‘Wa ma umiru illa li’ya’budullah’ (Dan, kalian tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah).


Artinya, ibadah itu erat kaitannya dengan perintah. Sedangkan hakikat perintah adalah sebuah tuntutan kewajiban. ‘Al-amru haqiqat(an) lil wujub,’ demikian kaidah ushul fiqh yang menjadi wiridan para santri. Alhasil, umrah tidak bisa dihukumi sunnah.


Belum puas dengan argumentasi di atas, kubu pertama kembali “menodong” dengan istilah lain umrah yang disebut “haji kecil”. Bila demikian, cukuplah dalil ‘Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah’ sebagai dalil kewajiban ibadah umrah ini. Kendati begitu, mereka tetap mengutip Hadist riwayat Ibnu al-Jauzi saat Rasulullah menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Islam. Berikut redaksinya;


أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ وَتَعْتَمِرَ


Artinya, “Islam itu, saat engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan terakhir menunaikan ibadah haji dan umrah.”


Dari sini, dipahami bahwa haji dan umrah menjadi satu rangkaian kewajiban yang menjadi tiang agama. Lebih tegas lagi adalah riwayat Ibnu Sirin yang ia peroleh dari Zaid bin Tsabit, baginda Nabi bersabda;


الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ فَرْضَانِ لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِمَا بَدَأْتَ


Artinya, “Haji dan umrah adalah dua kewajiban berbeda, dan tak jadi soal akan mendahulukan salah satu dari keduanya.”


Argumentasi Penguat Pandangan Kedua

Karena mendapat banyak serangan bertubi-tubi, kubu kedua tak mau tinggal diam. Mereka juga mengeluarkan argumentasi-argumentasi kuat yang tak kalah tajam. Mereka bukan tidak tahu sekian banyak dalil yang disampaikan kubu pertama. Namun, tidak bisa dipaksa, mereka juga berpegang pada dalil-dalil “anti roboh”.


Barangkali, sah-sah saja jika cara baca mereka diklaim syaddzah (keluar dari kaidah yang benar), tetapi kubu pertama jelas tidak bisa mengelak keberadaan beberapa hadist landasan mereka.


Di antaranya adalah kisah seorang badui yang bertanya tentang rukun Islam kepada baginda Nabi, lalu dijawab dengan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Saat si badui bertanya kembali apakah ada lagi selain lima butir yang disebutkan, Nabi menjawab, ‘La, illa an tathawwa’a’ (Tidak ada, selain itu semua hukumnya sunnah). Lalu, dengan percaya diri orang badui tadi merespon;


لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ


Artinya, “Aku tidak akan menambah dan mengurangi apapun dari yang engkau sebut tadi.”


Di akhir, baginda Nabi bersabda, ‘Aflaha al-‘arabiyyu in shadaqa’ (orang badui itu akan meregup keuntungan dunia-akhirat jika benar-benar melakukannya).


Ditambah lagi dengan Hadist riwayat Jabir bin Abdillah tentang dirinya yang sempat bertanya langung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum umrah, apakah wajib atau sunnah. Rasulullah dengan tegas menjawab;


لَا وَإِنْ تَعْتَمِرْ خَيْرٌ لَكَ 


Artinya, “Tidak, umrah tidak wajib. Tapi jika engkau melakukannya, itu lebih baik bagimu.”


Akhirnya, dengan berpegang pada sekian argumentasi di atas, mereka kokoh mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya sunnah.


Tentunya, masing-masing dua kubu di atas memiliki banyak dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat yang tak bisa kami sebutkan semua di sini. Porsi kita hanya perlu menoleransi penganut kedua pendapat tersebut. Bagi yang meyakini kebenaran kubu pertama, silahkan diikuti tanpa mencaci penganut kubu kedua. Demikian sebaliknya, kubu kedua tidak boleh memaki para muhib kubu pertama. 


Tulisan ini kami sarikan dari keterangan imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih al-Ghaib (juz 5, hal. 297-298) dan Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (juz 2, hal. 87) karya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi (w. 595 H). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.