Kiai Umar bin Abdul Mannan, Pengasuh Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah merupakan salah satu
wali masyhur yang menapaki jalan kebaikan dengan nilai-nilai yang searah dengan kebaikan dalam pandangan masyarakat luas.
Memang ada sebagian wali lain yang memilih jalan kewalian dengan cara menampilkan diri sebagai orang yang dicemooh oleh masyarakat luas dan tidak populer di mata masyarakat. Tujuannya agar tidak ada rasa sombong, merasa lebih tinggi dari orang lain, atau pula dengan alasan untuk menutupi kewaliannya di hadapan khalayak.
Namun, Kiai Umar Abdul Mannan tidak menapaki jejak kewalian seperti demikian. Ia berjalan dengan kebaikan-kebaikan yang kebaikan tersebut sejalan dengan pandangan masyarakat umum. Salah satu contoh kebaikan Kiai Umar adalah bagaimana caranya ia berusaha tidak menjadikan orang lain tergores hatinya walaupun sedikit.
Baca juga:
Ny. Hj. Maemunah Baedlowie, salah satu putri Kiai Umar pernah bercerita. Dahulu, di pesantren asuhan Kiai Umar, ada salah satu santri yang ingin tidur, tapi tidak kebagian bantal. Tidak kekurangan akal, santri ini pun berusaha membangunkan santri lain yang sudah tidur lebih dulu dengan tujuan apabila ia bangun, bantal bisa gantian digunakan orang lain. Mubarok adalah santri yang menjadi target kala itu. Ia dibangunkan dengan cara dibohongi memakai kalimat, “Eh, kamu ditimbali (dipanggil) Mbah Umar.”
Baru setengah sadar, merasa dipanggil gurunya, Mubarok segera bangun meninggalkan tempat tidur. Ia tidak lagi menghiraukan bantal yang habis ia gunakan. Ia bergegas memakai pakaian pantas lalu menuju ke tempat Kiai Umar berada, padahal Kiai Umar waktu itu sedang serius mengajar santri-santri lain di salah satu majelis.
Dengan percaya diri tinggi, karena merasa dipanggil kiai, Mubarok masuk majelis mendekati sang kiai. “Nyuwun pangapunten, wonten dawuh menopo, Yai? (Mohon maaf, ada perintah apa, Kiai?).”
Kiai Umar langsung menangkap bahwa ada yang tidak beres. Pasalnya ia tidak merasa habis memanggil Mubarok untuk menghadap. Namun, Kiai Umar tidak lantas mengatakan “Ada apa ya? aku tidak memanggil kamu.” Meskipun hal tersebut sah dan jujur, tapi bagaimana malunya Mubarok di depan para santri lain yang hadir apabila Kiai Umar mengatakan sejujurnya. Tentu ia akan menanggung malu.
Kesigapan Kiai Umar mengelola hati orang lain di sini patut diteladani. Sambil melepas jam tangan yang dipakai, Kiai Umar langsung menjawab “Oh ya, begini, jam tangan saya ini tolong disesuaikan dengan jam yang ada di masjid, ya! Kalau sudah cocok, nanti bawa ke sini lagi!” Demikian perintah Kiai Umar.
Mubarok pun langsung melaksanakan perintah Kiai tanpa ada perasaan curiga sama sekali. Dengan demikian, Mubarok, walaupun ia santrinya sendiri, Kiai Umar tetap menjaga supaya tidak menanggung malu di hadapan orang banyak.
Di kemudian hari, Mubarok yang pernah dikerjain temannya ini, menjadi kiai, pengasuh Pesantren Roudhotut Tholibin, Jetis, Susukan, Semarang, Jawa Tengah.
Sikap Kiai Umar dalam menjaga perasaan orang lain, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad ﷺ:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya: “Orang Islam adalah orang yang bisa menjadikan Muslim lain selamat dari perilaku lisan dan tangannya” (HR Bukhari: 10).
(Ahmad Mundzir)
Kisah di atas diceritakan KH. Muhammad Shofi Al-Mubarok Baedlowie. Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan kepada NU Online.