Hikmah

Ketika Nabi Dawud Bingung Cara Bersyukur kepada Allah

Jumat, 23 Agustus 2019 | 06:30 WIB

Ketika Nabi Dawud Bingung Cara Bersyukur kepada Allah

Kerendahan hati sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah

Dalam kitab al-Zuhd, terdapat dua riwayat yang bercerita tentang Nabi Dawud dan pertanyaannya kepada Allah tentang bagaimana caranya bersyukur. Berikut riwayatnya:
 
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا عبد الرحمن حدثنا جابر بن زيد عن المغيرة بن عيينة قال: قال داود عليه السلام يا رب هل بات أحد من خلقك الليلة أطول ذكرًا لك مني فأوحي الله عز وجل إليه نعم الضفدع وأنزل الله عليه: اعلموا آلَ دَاوُدَ شكرًا وقليل مِنْ عِبَادِيَ الشّكور (سورة سبأ: 13)
 
قال: يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي
 
Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Abdurrahman bercerita, Jabir bin Zaid bercerita dari al-Mughirah bin ‘Uyainah, ia berkata:
 
Nabi Dawud ‘alaihissalam berujar: “Wahai Tuhan, apakah ada salah satu makhluk-Mu yang banyak berdzikir kepada-Mu di malam hari melebihi aku?”
 
Kemudian Allah memberitahu Dawud: “Ya, (ada), yaitu katak.” Dan Allah menurunkan (firman-Nya) kepada Dawud (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” 
 
Nabi Dawud berkata: “Duh Tuhan, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu sementara Kau yang memberiku nikmat, kemudian Kau yang memberi rezeki kepadaku atas nikmat itu, kemudian Kau yang menambahiku nikmat demi nikmat. Karena (segala) nikmat berasal dari-Mu, wahai Tuhan, dan syukur berasal dari-Mu. Maka, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu, wahai Tuhan.”
 
Allah berfirman: “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Dawud, benar-benar mengenal-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 88-89)
 
عن أبي الجلد، عن مسلمة أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟ قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا
 
Dari Abu al-Jald, dari Maslamah, sesungguhnya Nabi Dawud shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan sampai bersyukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu juga?”
 
Kemudian Allah memberitahu Dawud: “Wahai Dawud, bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?”
 
Nabi Dawud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.”
 
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 91-92)
 
****
 
Memiliki kesempatan bersyukur adalah nikmat, dan mensyukuri nikmat adalah nikmat. Begitulah gambaran sederhana dari riwayat di atas, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari-Nya. Namun, manusia kadang lalai dengan kemakhlukannya. Ia lupa bahwa dirinya makhluk yang diadakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya. Ketika manusia melupakan kemakhlukannya, ia akan mudah dilalaikan oleh sesuatu. Untuk lebih jelasnya, simak uraian singkatnya berikut ini.
 
Riwayat di atas dimulai dengan Nabi Dawud yang selalu terjaga sepanjang malam untuk berdzikir kepada Allah. Meski demikian, ia diingatkan bahwa ada makhluk lain yang dzikirnya lebih banyak darinya, yaitu katak. Kemudian Allah memerintahkan Dawud dan keluarganya untuk memperbanyak syukur kepada-Nya.
 
Artinya, sebanyak apapun ibadah seseorang, harus dibarengi dengan syukur. Tanpa itu, ibadahnya dikhawatirkan hanya akan menghasilkan bibit takabur dan ujub. Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah pengingat akan kemakhlukan kita, bahwa kita harus berterima kasih dengan apapun yang Allah berikan kepada kita. Dengan melupakan terima kasih (syukur), kita akan terjebak dalam lingkaran ujub dan takabur. Itulah kenapa Allah menyuruh Dawud dan keluarganya untuk bersyukur.
 
Di sisi lain, katak dalam riwayat di atas perlu kita pahami sebagai simbol pengingat, bahwa kita tidak lebih mulia dari siapapun, bahkan dengan makhluk Tuhan non-manusia. Simbol yang mengajarkan kita agar tidak mudah membandingkan amal ibadah kita dengan makhluk Tuhan lainnya. Karena perbandingan amal seringkali berujung pada anggapan mulia diri (takabbur/ujub) yang akan menjebak kita.
 
Inilah yang perlu kita hindari. Salah satu caranya dengan memperbanyak syukur kita kepada Allah. Pintu pembukanya adalah pemahaman bahwa sebanyak apapun syukur kita, tidak mungkin mendekati, apalagi menyamai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seperti yang diungkapkan Nabi Dawud ‘alaihissalam di atas, bahwa bersyukur sendiri adalah nikmat dari Tuhan, maka ‘bagaimana mungkin ia mampu bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya itu’. 
 
Hal ini menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara anugerah yang diterima dan syukur yang dirasakan dan dipanjatkan oleh seseorang. Kebanyakan dari kita lalai akan kehadiran nikmat Allah. Kita lalai bahwa waktu adalah nikmat; sehat adalah nikmat; merasa adalah nikmat, dan semuanya adalah nikmat. Kelalaian ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad jauh-jauh hari, terutama soal nikmat sehat dan waktu luang. Beliau bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
 
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
 
Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai; nikmat sehat dan nikmat waktu luang.” 
 
Kembali ke soal ketidak-seimbangan anugerah dan syukur. Untuk memahaminya, kita harus memperhatikan munajat indah Nabi Dawud berikut ini:
 
إِلَهِيْ، لَوْ أَنَّ لِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنِّيْ لِسَانَيْنِ، يُسَبِّحَانِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، وَالدَّهْرَ كُلَّهُ، مَا قَضَيْتُ حَقَّ نِعْمَةٍ
 
Ilahi, sungguh, andai saja setiap rambutku memiliki dua lidah yang selalu bertasbih siang dan malam, dan (bertasbih) setiap waktu, aku belum menunaikan satu pun hak nikmat (yang Kau berikan kepadaku).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, h. 88)
 
Artinya, bertasbih sepanjang hidup, dengan dibantu setiap helai rambut yang memiliki dua lidah, dan keduanya bertasbih siang-malam dan setiap saat, itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi hak satu nikmat yang Allah berikan. Bayangkan saja, rambut manusia yang jumlahnya sukar dihitung, dikalikan dua (lidah), dan bertasbih sepanjang waktu sampai mati, masih tidak cukup untuk memenuhi hak satu nikmat dari Allah.
 
Karena itu, kerendahan hati (tawaddu’) sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah. Kebingungan Nabi Dawud dalam bersyukur menunjukkan kerendahan hatinya, bahwa tidak mungkin mensyukuri nikmat Tuhan dengan hitungan matematis, atau dengan menghitung amal ibadah yang dilakukannya. Sebab, bisa beribadah sendiri adalah nikmat, sehingga mustahil menghitung anugerah Allah dengan angka. Jika seseorang melakukan perhitungan itu, dan merasa dirinya sebagai orang yang banyak ibadahnya, bisa jadi ia akan kehilangan makna syukur.
 
Maka dari itu, dalam riwayat di atas, Allah menjawab kebingungan dan ketidak-mampuan Nabi Dawud dengan mengatakan, “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu,” dan di riwayat lain, “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Dawud, benar-benar mengenal-Ku.”
 
Pertanyaannya, pernahkah kita bersyukur dengan kerendahan hati?
 
Wallahu a’lam bish shawwab..
 
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen