Hikmah

Mengenal Imam Mazhab: Biografi Abu Hanifah dan Kisah Kewarakannya

Ahad, 26 Desember 2021 | 23:00 WIB

Mengenal Imam Mazhab: Biografi Abu Hanifah dan Kisah Kewarakannya

Abu Hanifah, yang bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha adalah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi.

Sebuah fakta yang tak pernah luput dicatat dalam banyak kitab sejarah mazhab, bahwa Imam Abu Hanifah adalah akar pangkal transmisi keilmuan hukum Islam (fiqih). Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i termasuk orang pertama yang mengakui ini, dan hingga sekarang pandangan beliau terhadap Abu Hanifah masih sangat terang.

 

Adalah Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) termasuk yang mengabadikan pengakuan as-Syafi’i tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 131) ia menulis:

 

فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

 

Artinya, “Suatu ketika, as-Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqih berinduk kepada Abu Hanifah’.”

 

Fakta ini nyaris mustahil absen dari memori para santri dan kiai. Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yang dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis (ahlu ar-ro’yi) itu bukan orang sembarangan. Ia tentu lahir dari keluarga yang tidak biasa di hadapan Allah, dan pasti pernah mengukir jejak perjuangan yang tak remeh. Sehingga, Allah terangi keluarga itu sepanjang masa, mengabadikannya dalam sejarah peradaban Islam dunia.

 

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yang bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha adalah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dengan tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

 

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak lama—dengan empat orang sahabat; Anas bin Malik yang tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Tapi sayang, tak satu pun pernah ditemuinya.

 

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin, santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dengan seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.

 

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini adalah seorang wiraswasta. Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal sebagai ulama entrepreneur.

 

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya, Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yang telat belajar. Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yang belajar jauh sebelum dirinya. Terkait kisah lengkap Abu Hanifah tentang perpindahan dunianya dari tongkrongan pasar ke halakah ilmiah, akan dibahas di tulisan berikutnya. Insya Allah.

 

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan untuk mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu sudah mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun, sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di sana. Tapi itu bisa dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tidak sama sekali. Kesehariannya sibuk dengan mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

 

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist adalah imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dengan transmisi keilmuan yang sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yang mana keduanya adalah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104).

 

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yang pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:

 

كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه

 

Artinya, “Abu Hanifah adalah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 

Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i, imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yang muncul dari para murid dekatnya; orang-orang yang langsung mengaji, satu majelis dengan Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

  

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yang ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu saat Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yang dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yang juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yang bernama Hafsh untuk menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayang, barang yang hendak dijual itu tidak utuh, terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:

 

إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن

 

Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yang ingin membelinya, beritahulah dahulu di mana bagian cacatnya.”

 

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan celanya. Sedangkan, untuk menemukan si pembeli tadi sudah tidak mungkin. Bayangkan saja, di tengah pasar yang sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Kerennya, ia tidak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dengan senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.