Syariah

Menelusuri Fiqih Maqashid Imam Abu Hanifah

Sel, 18 Desember 2018 | 12:00 WIB

Nu’mân ibnu Tsâbit ibnu Zuwatha al-Taymi al-Kûfî, atau yang lebih dikenal dengan Abû Hanîfah merupakan sosok pendiri mazhab Hanafi. Itulah sebabnya, beliau juga lebih dikenal dengan sebutan Imam Hanafi. Beliau lahir di Kufah pada tahun 80 H abad pertama Hijriah dan wafat di Baghdad pada tahun 148 H. Makam beliau berada di Masjid Imam Abu Hanifah. Sebagai tokoh yang lahir pada abad I Hijriyah maka sewajarnya apabila beliau termasuk salah satu generasi yang pernah berjumpa langsung dengan sahabat Nabi, yaitu Anas ibnu Mâlik, Zaid ibnu Ali, Ja’far al-Shâdiq dan sejumlah sahabat Nabi lainnya, peserta Perang Badar. 

Imam Hanafi kecil bekerja membantu orang tuanya yang berprofesi niaga sutra. Sembari berniaga, ia akrab dengan kajian keislaman di zamannya. Saat itu, di Kufah masyhur adanya tiga halaqah kajian. Halaqah yang pertama membahas masalah aqidah. Halaqah kedua membahas masalah hadits dan ilmu hadits. Halaqah yang ketiga membahas masalah fiqih yang belum berdiri sebagai disiplin ilmu tersendiri. Halaqah ketiga ini didirikan bertujuan menjawab persoalan-persoalan masyarakat kala itu. Istilah sekarang barang kali lebih tepat bila disebut sebagai Lembaga Bahtsul Masail (LBM)-nya Kufah. Halaqah ini pula yang pada akhirnya menjadi titik tolak utama beliau – Imam Abu Hanifah – mengonsentrasikan keilmuannya di bidang fiqih di kemudian hari. 

Catatan tentang guru, beliau pernah berguru kepada Syeikh Hammad ibnu Sulaiman. Dari gurunya ini pula, ia mendapatkan gelar al-Watad karena kegemarannya bangun malam untuk melaksanakan shalat malam dan membaca Al-Qur'an serta menelaah al-Sunnah. Saat itu belum ada keilmuan hadits yang berkembang seperti saat ini. Syekh Hammad ibnu Sulaiman merupakan ulama rujukan masyarakat kala itu, sebelum pada akhirnya kedudukannya digantikan oleh muridnya sendiri, yaitu Imam Abu Hanifah. 

Catatan sejarah menyebutkan bahwa Imam Imam Abu Hanifah pernah menyelesaikan kurang lebih 600 ribu persoalan fiqih yang berbeda. Itulah sebabnya, beliau juga mendapatkan gelar sebagai al-Imam al-A’dhâm dari kalangan ulama semasanya serta menjadi rujukan masyarakat sekitarnya. Sikap beliau ketika menemui persoalan fiqih adalah dijawabnya dengan landasan al-Qurân dan al-Sunnah, dan apabila ia belum menemukan jawabannya, maka ia simpan terlebih dahulu untuk meneliti kembali hukumnya. 

Jika kita cermati susunan ushul fiqih mazhab Hanafi, sepertinya mazhab ini tidak memasukkan maqâshid syarîah sebagai bagian dari teori ushul yang merupakan metode istinbath hukum. Mereka justru memasukkan pembahasan tentang mencari illat hukum (yang merupakan pokok dari fikih maqâshid) justru di dalam fiqih dan juz’iyat-nya. Inilah uniknya dari mazhab ini. Mungkin karena faktor inilah kemudian Imam Abu Hanifah dikenal sebagai tokoh ahli ra’yi. Di saat beliau tidak menemukan dalil nash untuk menggali sebuah hukum, beliau baru menggalinya berdasar hasil ra’yu-nya (pemikiran rasionalnya).  

Instrumen penggalian hukum Imam Abu Hanifah ini cukup populer dengan sebutan istihsân. Istihsân menurutnya merupakan upaya beralih dari penggunaan dalil dari qiyas jali ke qiyas khafi atau dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat daripadanya. Adanya istihsân sebagai salah satu dalil hukum, tidak lepas dari proses sejarah yang melingkupi. Umumnya, para penggali hukum mencari hukum adalah bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah terlebih dahulu. Apabila di dalam keduanya tidak dijumpai adanya dalil hukum, maka baru kemudian para pengkaji hukum menggunakan instrumen qiyas. Di saat qiyas pun tidak bisa dilakukan, maka barulah kemudian para pengkaji menggunakan istihsân sebagai salah satu dalil hukum. 

Sebuah contoh masalah hasil ijtihad Imam Abu Hanifah dalam fikih keluarga adalah terkait dengan konsepsi kafaah, kedudukan wali dalam pernikahan dan nasab anak di luar nikah. Kafaah adalah kesetimbangan antara calon mempelai laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Imam Abu Hanifah menetapkan nilai-nilai kafaah itu berdasarkan enam faktor, antara lain keturunan (al-nasab), agama (al-dîn), kemerdekaan (al-hurriyyah), harta (al-mâl), moral (diyânah) dan pekerjaan (al-shinâ’ah). Keenam konsep ini muncul tidak lepas dari kebutuhan masyarakat Iraq di jaman Imam Abu Hanifah yang menghendaki ditetapkannya maksud dari kafaah. Adanya urbanisasi besar-besaran ke kota-kota besar Iraq dan Kufah, mengakibatkan terjadinya percampuran etnis. Faktor keragaman etnis inilah soko guru utama memaksa Imam Abu Hanifah mengerahkan daya analisisnya untuk mencari dlabith (batasan hukum) dari konsepsi kafaah itu sendiri. 

Dalam pernikahan, salah satu keputusan kontroversial dari Imam Abu Hanifah adalah bab tentang kedudukan wali perempuan. Dalam mazhab Syafi'i, keberadaan wali dalam pernikahan adalah merupakan salah satu syarat sah dan rukun pernikahan. Pendapat ini diamini oleh jumhur ulama’ berdasarkan sebuah hadits masyhur لانكاح إلا بولي (tidak ada pernikahan tanpa wali). Uniknya, Imam Abu Hanifah tidak menjadikan wali ini sebagai syarat sah, melainkan syarat agar sempurnanya sebuah pernikahan saja. Yang justru menjadi pertimbangan syarat sah baginya adalah kafaah. Alasan yang disampaikan oleh beliau adalah bahwasannya perempuan yang sudah dewasa, tidak perlu ijin ke wali-nya untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Ia bisa menikahkan dirinya sendiri meski tanpa kehadiran wali kecuali pernikahan tersebut dilakukan tidak dengan laki-laki sekufu. Apabila laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya tidak sekufu, maka barulah peran wali diperbolehkan untuk ambil bagian dalam melarang. Namun, pernikahan ini menurut beliau tetap sah. 

Pendapat Imam Abu Hanifah ini sebenarnya berangkat dari sebuah qiyas, yaitu menyamakan kedudukan wanita dewasa dengan janda yang bisa menikahkan dirinya sendiri. Illat yang dipergunakan adalah keduanya sama-sama mengetahui dan memahami dirinya sendiri. Ukuran kedewasaan adalah baligh dan berakal sehat. Menarik bukan?

Selanjutnya mengenai nasab anak hasil di luar nikah. Menurut Imam Malik dan Imam Syafii, nasab kekerabatan anak yang lahir di luar nikah adalah dinasabkan kepada ibunya. Hal ini kontras sekali dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau, anak yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah tetap dinasabkan kepada bapak biologisnya. Perbedaan terjadi pada pemaknaan lafadh firasy yang menurut Imam Abu Hanifah dimaknai sebagai “duduk berlutut”. Padahal, yang identik dengan “duduk berlutut” adalah perempuan. Sementara dalam mazhab Syafii, yang dimaksud dengan firasy adalah bapak yang menjadi suami ibu dari anak yang lahir di luar nikah. 

Nalar fiqih yang dipergunakan oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana tersebut di atas dikenal sebagai nalar burhani. Nalar burhani ini lahir tidak lepas dari aspek kondisi masyarakat yang melingkupinya yang meliputi kondisi sosio-kultural, sosio-historis dan juga letak geografis. Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa kota Kuffah – tempat Imam Abu Hanifah melakukan ijtihad saat itu - merupakan pusat peradaban sehingga banyak orang berlalu lalang masuk ke wilayah tersebut. Efeknya, budaya masyarakat menjadi banyak terpengaruh. Budaya ini yang pada akhirnya mempengaruhi konsepsi istinbath beliau. 

Inilah sekelumit gambaran tentang maqâshid Imam Abu Hanifah. Sebagai kesimpulan akhirnya bahwa Imam Abu Hanifah menerima metode istihsân sebagai dalil hukum, akan tetapi tidak menempatkannya ke dalam bagian dari ushul fiqih. Beliau menempatkan istihsan di dalam bagian ilmu fiqih dan bagian juz’iyyat. Wallahu a’lam


Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua