Sirah Nabawiyah

Imam Abu Hanifah dan Kredibilitasnya dalam Ilmu Hadits

Sen, 19 April 2021 | 15:30 WIB

Imam Abu Hanifah dan Kredibilitasnya dalam Ilmu Hadits

Imam Abu Hanifah mengambil sanad hadits kepada banyak ulama di zamannya, serta sangat serius dan berhati-hati di bidang ini.

Kita melihat Imam asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam deretan pakar dan tokoh besar ilmu hadits. Bahkan, sanad hadits yang bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal dari Imam asy-Syafi’i dari Imam Malik bin Anas adalah sanad hadits berderajat paling tinggi yang dikenal juga dengan silsilah dzahabiyyah (rantai emas riwayat hadits). Kitab Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas, kitab Musnad asy-Syafi’i karya Imam asy-Syafi’i, kitab Musnad Ahmad karya imam Ahmad bin Hanbal adalah bagian dari kitab induk dalam ilmu hadits.

 

Lantas, bagaimana dengan Imam Abu Hanifah? Banyak kalangan Wahabi yang mengkritik Imam Abu Hanifah sebagai seorang ulama yang tidak menguasai ilmu hadits. Sehingga mereka berdalih lebih baik kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits daripada bermazhab kepada Imam Abu Hanifah. Menurut mereka, standar kepantasan menjadi seorang mujtahid mutlak sangat rancu karena Imam Abu Hanifah dianggap lemah dalam ilmu hadits.

 

Oleh karena itu, mari kita jelajahi sepak terjang Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits.

 

Imam Abu Hanifah mengambil sanad hadits kepada banyak ulama di zamannya. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i yang menjadikan Imam Malik sebagai rujukan utama dalam sanad hadits. Begitu juga, Imam Abu Hanifah yang menjadikan Imam Atha’ bin Rabbah sebagai guru utama dalam mengambil sanad hadits.

 

Kisah pertemuan Imam Abu Hanifah dengan Imam Atha’ bin Rabbah pun tergolong unik,

 

“Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim al-Bashri, aku mendengar Imam Abu Hanifah bercerita “Dahulu aku bertemu Imam Atha’ di kota Makkah, maka aku pun bertanya kepadanya mengenai suatu permasalahan ilmu. Kemudian, Imam Atha’ bertanya “Darimanakah kamu berasal?” Aku menjawab “Dari kota Kuffah”. Imam Atha’ mengatakan “Kamu berasal dari kota yang banyak perpecahan golongan umat Islam di dalamnya, lantas dari golongan mana kamu berasal?” Aku menjawab “Aku berasal dari golongan umat Islam yang tidak akan pernah mencaci para shahabat, beriman dengan qadha’ dan qadar Allah, serta tidak mengkafirkan seseorang pun dengan sebab dosa yang ia perbuat?” Imam Atha’ pun tersenyum puas, “Kamu berada dalam kebenaran, jangan pernah berpindah dari golonganmu”. Semenjak itu Imam Abu Hanifah menjadi murid dari Imam Atha’ bin Rabbah” (al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2001, vol. 13, hal. 331).

 

Selain itu, Imam Abu Hanifah juga mengambil sanad hadits kepada Abu Ishaq as-Sabi’i, Muharib bin Ditsar, Hammad bin Abu Salamah, al-Haitsam bin Hubaib, Qais bin Muslim, Muhammad bin al-Munkadir, Hisyam bin ‘Urwah, Simak bin Harb dan Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar.

 

Sedangkan, di antara murid Imam Abu Hanifah yang meriwayatkan hadits darinya adalah Husyaim bin Basyir, Yazid bin Harun, Abu Yusuf al-Qadhi, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, ‘Amr bin Muhammad al-‘Anqadzi dan Haudzah bin Khalifah. (Syekh Muhammad bin Rasyid an-Nu’mani, Makanah al-Imam Abu Hanifah fi al-Hadits, Kairo: Dar as-Salam, 2017, hal. 64).

 

Kepakaran dan keluasan Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits diakui oleh para ulama dari berbagai zaman. Meskipun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah tidaklah banyak karena beliau sangat berhati-hati dalam mengambil sanad hadits.

 

Syekh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi mengatakan, “Imam Abu Hanifah adalah ulama yang paling mumpuni dalam ilmu hadits di zamannya. Riwayat haditst Imam Abu Hanifah sangat sedikit karena beliau sangat teliti dalam mengambil riwayat hadits” (Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul Fiqh, Kairo: Dar Kitab al-‘Arabi Kairo, 1972, vol. 1, hal. 350)

 

Syekh Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani mengatakan, “Imam Abu Hanifah adalah pakar dalam ilmu hadits. Prinsip Imam Abu Hanifah adalah lebih memprioritaskan dalil hadits sebagai pedoman berijtihad meskipun dalil hadits tersebut berderajat ahad (sedikit yang meriwayatkan) di atas dalil qiyas. Hal ini beliau lakukan dengan syarat hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipertanggung jawabkan riwayatnya. Dan Hadits yang dinilai shahih oleh Imam Abu Hanifah tidak dikritik oleh siapapun dari ulama ahli hadits” (Syekh Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Bada’i ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, kairo: Maktabah Mishr, 1910, vol. 5 hal. 188).

 

Baca juga:

 

Selain itu, banyak ulama yang menolak segenap kritikan pedas terhadap kepakaran Imam Abu Hanifah dalam ilmu Hadits.

 

Syekh Muhammad bin Yusuf as-Shalih asy-Syafi’i mengatakan, “Ketahuilah bahwa Imam Abu Hanifah adalah pembesar ulama ahli hadits. Al-Hafidz adz-Dzahabi menggolongkan Imam Abu Hanifah sebagai salah satu ulama besar ahli hadits. Seandainya bukan karena kepakaran Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits, bagaimana mungkin beliau mampu menggali dasar ilmu fiqih? Sedangkan Imam Abu Hanifah adalah ulama pertama yang menggali hukum dari dalil al-Qur’an dan hadits” (Syekh Muhammad bin Yusuf as-Shalih asy-Syafi’I, ‘Uqud al-Juman fi Manaqib Abu Hanifah an-Nu’man, Damaskus: Maktabah Ihya’ al-Ma’arif, 1974, hal. 319).

 

Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni mengatakan “Imam Abu Hanifah adalah salah satu ulama tabi’in yang berderajat mujtahid. Beliau adalah ulama pertama yang membuka pintu ijtihad. Tidak ada seorang ulama pun yang meragukan keluasan ilmu dan keagungan sosok Imam Abu Hanifah. Beliau adalah ulama yang sangat memahami al-Qur’an dan hadits karena syariat diambilkan dari keduanya (al-Qur’an dan hadits)” (Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Risalah al-Ajluniyyah, Kairo: Maktabah Mishr, 1914, vol. 4, hal. 188).

 

Syekh al-Hafidz adz-Dzahabi mengatakan dalam pembukaan kitab Mizan al-I’tidal “Aku tidak akan menulis dalam kitabku ini (Mizan al-I’tidal) kritikan terhadap para tokoh besar yang banyak dianut umat Islam karena agung dan luhurnya derajat mereka di hati umat Islam seperti Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dan imam al-Bukhari. Seandainya aku harus mengomentari mereka maka aku akan menjelaskan secara objektif” (al-Hafid adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2017. hal. 44).

 

Walhasil, sedikitnya riwayat hadits yang bersumber dari Imam Abu Hanifah bukanlah sebuah alasan untuk mengkritik beliau sebagai ulama mujtahid mutlak. Pada dasarnya sangat banyak ulama zaman dahulu yang hanya sedikit meriwayatkan hadits karena faktor ketelitian dan kehati-hatian mereka. Misal contoh, shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq yang notabenenya adalah shahabat terdekat nabi dan yang paling pertama masuk Islam juga sangat sedikit meriwayatkan hadits. Bahkan, jumlah hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Bakar jauh lebih sedikit dari shahabat Abu Hurairah yang jauh lebih akhir masuk Islamnya.

 

Begitu juga, ketika Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya karena ada dalil hadits Nabi yang disampaikan kepadanya juga bukan alasan untuk merendahkan derajat ijtihad beliau. Karena hal ini juga banyak dialami oleh ulama-ulama zaman dahulu. Jauhnya jarak antar kota zaman dahulu serta keterbatasan media informasi juga menjadi faktor banyaknya ulama yang mencabut fatwanya ketika menemukan dalil hadits dari daerah lain. Misal contoh Imam asy-Syafi’i yang mencabut sebagian fatwanya dalam qoul qadim karena adanya dalil hadits yang baru beliau dapatkan. Shahabat Umar bin Khattab yang dijuluki sebagai shahabat nabi yang fatwanya paling dijadikan rujukan pun juga pernah mencabut pendapatnya karena disodorkan dalil hadits dari para shahabat yang lain.

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo