Tasawuf/Akhlak

Teladan Kehati-hatian Abu Hanifah dalam Berbisnis

Ahad, 12 Desember 2021 | 05:00 WIB

Teladan Kehati-hatian Abu Hanifah dalam Berbisnis

Teladan kehati-hatian Abu Hanifah dalam berbisnis

 


Di antara sosok yang tak luput dari catatan sejarah mazhab adalah Imam Abu Hanifah, sang Maestro fiqih mazhab ra’yi. Imam as-Syafi’i termasuk orang pertama yang mengakuinya. Dalam Târîkhul Madzâhib Syekh Abu Zahrah (1898-1974 M) menulis:


فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة


Artinya, “As-Syafi’i adalah orang yang pernah memuji Abu Hanifah, ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqh berinduk kepada Abu Hanifah’.” (Muhammad Abu Zahroh, Târîkhul Madzâhib al-Islâmiyyah, juz II, halaman 131).


Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yang dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis atau ahlur ra’yi itu bukan orang sembarangan. 

 


Kehati-hatian Abu Hanifah dalam Berbisnis

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yang pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:


كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه


Artinya, “Abu Hanifah adalah seorang amat wira’i atau hati-hati, dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 


Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kehati-hatian Imam Abu Hanifah. Selain dari Imam as-Syafi’i, pengakuan seperti itu juga muncul dari Imam Malik dan semisalnya. Belum lagi pengakuan yang muncul dari para murid dekatnya, orang-orang yang langsung mengaji satu majelis dengan Abu Hanifah. Seperti Imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).


Al-Hâfidh ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manâqibul Imâm Abî Hanîfah menulis kisah kehati-hatian Abu Hanifah dalam berbisnis, yaitu saat Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yang dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yang juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya bernama Hafsh untuk menjual baju dagangan miliknya. Tapi sayang, barang yang hendak dijual itu tidak utuh, terdapat cacat padanya. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:


إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن


Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau kamu menjualnya, maka jelaskanlah cacatnya.”

 


Namun sialnya, Hafsh ini justru lupa. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan cacatnya,  sementara untuk menemukan si pembeli sudah tidak mungkin. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Ia pun tidak marah atas keteledoran mitranya itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan Abu Hanifah menyikapinya dengan senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia meneladani akhlak baginda Nabi saw. (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi, Manâqibul Imâm Abî Hanîfah wa Shâhibaihi Abû Yûsuf wa Muhammad bin al-Hasan, halaman 41). Wallâhu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumnus Ma’had Aly Situbondo dan Pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.