Ilmu Tauhid

Apakah Allah Bisa Diam Tak Berfirman?

Jum, 9 Agustus 2019 | 12:45 WIB

Apakah Allah Bisa Diam Tak Berfirman?

Ilustrasi: Ilmu tauhid

Semua ulama dari semua golongan sepakat bahwa Allah bersifat mutakallim (Maha-Berfirman). Dasarnya secara rasional adalah tidak mungkin Tuhan itu bisu. Adapun dasar berupa dalil naqli ada begitu banyak ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa Allah berkalam/berfirman. Bahkan, umat Islam seluruhnya meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalâmullah alias firman Allah.  Namun, ada pertanyaan yang menggelitik yang sering kali timbul dalam topik ini, yakni apakah Allah bisa diam dalam arti sesekali berkalam dan sesekali tidak?
 
Bila orang awam mendapat pertanyaan ini, mungkin jawabannya adalah: Ya Allah bisa berkalam dan bisa juga diam bila menghendaki. Jawaban ala orang awam ini muncul sebab ia menganggap Allah sama dengan makhluk yang kadang berbicara dan kadang tidak. Menurut para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah), jawaban tersebut mutlak salah sebab kalam adalah salah satu sifat bagi Dzat Allah yang selalu ada dan tak pernah tiada. 
 
Imam para ahli tafsir, Ibnu Jarir at-Thabari (310 H), ketika menjelaskan sifat-sifat Allah mengatakan:
 
العالم الذي أحاط بكل شيء علمه، والقادر الذي لا يعجزه شيءٌ أراده، والمتكلم الذي لا يجوز عليه السكوت.
 
“Allah adalah Yang Maha-Mengetahui yang ilmunya meliputi segala sesuatu, dan yang Maha-Berkuasa yang tidak mungkin lemah terhadap apa pun yang Ia kehendaki, dan yang Maha-Berfirman yang tidak boleh Ia diam.” (at-Thabari, at-Tabshîr  Ma’âlim ad-Dîn, 127).
 
Kenapa tak boleh diam? Karena sifat berfirman Allah adalah sifat Dzat yang selalu ada bersama Dzat Allah sehingga tak mungkin sifat ini ada kalanya ada dan ada kalanya berhenti. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Qasthalani (923 H) dalam Syarahnya terhadap Shahih Bukhari berikut:
 

ولم يختلف في ذلك أحد من أرباب المِلَل والمذاهب وإنما الخلاف في معنى كلامه وقدمه وحدوثه، فعند أهل الحديث أن كلامه ليس من جنس الأصوات والحروف بل صفة أزلية قائمة بذاته تعالى منافية للسكوت الذي هو ترك التكلم مع القدرة عليه
 
“Tidaklah berbeda dalam hal itu (adanya kalâmullah) satu pun dari berbagai sekte dan mazhab. Perbedaan pendapat hanyalah dalam hal makna kalâmullah, tidak-berawalnya kalâmullah, dan kebaruannya. Adapun menurut para Ahli Hadits bahwasanya kalâmullah tidaklah berupa jenis suara dan huruf tetapi merupakan sifat yang ada tanpa awal mula (azali) yang berada pada Dzat Allah Ta’ala yang meniadakan adanya diam yang nota bene meninggalkan kalam padahal mampu” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sâry, vol. X, hlm. 428)
 
Berbicara lalu diam lalu berbicara lagi adalah sebuah perubahan kondisi. Perubahan kondisi dari satu kondisi ke kondisi lain adalah secara pasti menjadi ciri khas bagi sesuatu yang punya awal mula (muhdats atau makhluk). Bila Allah dianggap mengalami perubahan kondisi seperti ini, maka berarti Allah juga muhdats alias punya awal mula yang berarti Allah diciptakan. Ini sesuatu yang mustahil sehingga tak mungkin terjadi. Imam at-Thabari menjelaskan kemustahilan status Allah berawal mula (muhdats) ini dalam penjelasannya sebagaimana berikut:
 
 فلا شك أن من زعم أن الله محدثٌ، وأنه قد كان لا عالماً، وأن كلامه مخلوقٌ، وأنه قد كان ولا كلام له، فإنه أولى بالكفر وبزوال اسم الإيمان عنه.
 
“Maka tidak diragukan bahwasanya orang yang menyangka bahwa Allah punya awal mula (muhdats) dan bahwasanya sebelumnya Ia tidak tahu, dan bahwa FirmanNya adalah makhluk, dan sebelumnya Allah telah ada tetapi tidak berfirman, maka sesungguhnya orang itu lebih pantas terhadap kekufuran dan hilang nama iman darinya” (at-Thabari, at-Tabshîr  Ma’âlim ad-Dîn, 149).
 
Maksud Imam at-Thabari di atas adalah sifat-sifat bagi Dzat Allah memang ada sejak azali (kondisi tanpa awal mula). Allah sudah tahu terhadap kondisi alam semesta sejak sebelum alam semesta diciptakan, Kalâmullah (firman Allah) juga bukan makhluk yang awalnya tak ada kemudian ada diciptakan setelah adanya makhluk. Bersama Allah, kalâmullah selalu ada setiap saat bahkan sebelum alam semesta tercipta dan sebelum Allah menurunkan wahyu pada para utusan. Hingga kini dan sampai kapan pun nanti kalâmullah tetap selalu ada tanpa ada akhirnya.
 
Imam besar Ahlusunnah wal Jama’ah, Ibnu Furak (406 H), dalam kitabnya melarang orang berkata bahwa Allah berfirman dengan firman yang beruntun di mana satu firman ada setelah firman lainnya. Hal ini adalah mekanisme kalamnya makhluk yang menunjukkan bahwa kalamnya adalah makhluk pula. Selanjutnya Ia menegaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai berikut:
 
أَنا نقُول إِن الله لم يزل متكلما وَلَا يزَال متكلما وَإنَّهُ قد أحَاط كَلَامه بِجَمِيعِ مَعَاني الْأَمر وَالنَّهْي وَالْخَبَر والإستخبار
 
“Sesungguhnya kami berpendapat bahwa Allah selalu berfirman (berkalam) dan tak pernah berhenti berfirman dan bahwasanya firmannya mencakup semua makna perintah, larangan, berita dan pertanyaan.” (Ibnu Furak, Musykil al-Hadîts wa Bayânuhu, 405)
 
Imam Ibnu Furak juga menjelaskan bahwa keyakinan yang menyatakan bahwa Allah berfirman secara bertahap dan beruntun dari satu kata ke kata lainnya adalah keyakinan golongan Jahmiyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. 
 
أَن مَا كَانَ كَذَلِك فَالثَّانِي متجدد بعد الأول وَكَذَلِكَ الثَّالِث بعد الثَّانِي وَمَا كَانَ كَذَلِك كَانَ مُحدثا مخلوقا وَلم تزد الْجَهْمِية الْقَائِلُونَ بِخلق الْقُرْآن على ذَلِك لما قَالُوا إِنَّه كَلَام يحدثه حَالا بعد حَال ويجدده مرّة بعد أُخْرَى
 
“Bahwa ucapan beruntun seperti itu, maka kata kedua setelah kata pertama dan kata ketiga setelah kata kedua. Yang seperti itu adalah muhdats dan makhluk. Jahmiyah tak bisa menambah penjelasan lagi melebihi itu karena mereka berkata bahwa kalâmullah adalah sesuatu yang diadakan secara bertahap dan diperbarui dari satu kata ke kata lain.” (Ibnu Furak, Musykil al-Hadîts wa Bayânuhu, 402-403)
 
Dari keterangan tersebut diketahui bahwa sifat kalâmullah yang azali tidaklah sama dengan proses makhluk berbicara yang terjadi secara berurutan dari satu kata ke kata lainnya. Yang benar adalah kalâmullah adalah sebuah sifat Dzat yang tanpa suara atau pun huruf sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya
 
Selain itu, sifat kalam adalah sifat wajib yang keberadaannya pasti selalu ada tanpa tergantung pada kehendak dan kekuasaan Allah. Seperti halnya Allah selalu Maha-Hidup dan tak bisa mati, Maha-Mengetahui dan tak bisa tidak tahu, Maha-Mendengar dan tak bisa tuli, Maha-Melihat dan tak bisa buta, maka Allah juga Maha-Berfirman dan tak bisa diam atau bisu. Ketidakbisaan dalam konteks ini tak bisa diartikan bahwa Allah lemah sebab justru ketidakmampuan untuk tak mampu adalah tanda kemampuan yang absolut. Wallahu a'lam.
 
 
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.