Ilmu Tauhid

Bolehkah Menyebut Allah Orang?

Sen, 5 Agustus 2019 | 02:00 WIB

Terkadang dalam obrolan sehari-hari ada yang mungkin saja tanpa sengaja menyebut Allah sebagai orang, misalnya dengan berkata: "tidak ada orang yang bisa menolongmu kecuali Allah " atau "Allah adalah orang yang yang bisa menyelamatkanmu". Bahkan penyebutan Allah sebagai “orang” ini juga bisa ditemui dalam sebuah hadits sahih. Dalam perspektif ilmu tauhid bolehkah menyebut Allah sebagai "orang"?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata orang bermakna manusia. Dengan demikian menyebut Allah sebagai orang adalah sama dengan menyebutnya sebagai manusia. Dari sini sudah tampak bahwa sebutan ini salah bila disematkan pada Allah.

Adapun kata orang dalam bahasa Arab adalah syakhsun (شخص). Menurut Imam al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar, kata syakhshun atau orang secara bahasa adalah badan manusia dan jism-nya (جِرْمِ الْإِنْسَانِ وَجِسْمِهِ) kemudian kata ini dipakai untuk merujuk semua hal yang tampak atau dhahir. Karena itu, Imam al-Qurthubi dengan tegas menyatakan bahwa makna ini tidak mungkin disematkan pada Allah dan seluruh teks hadits yang memakai ini wajib ditakwil dengan makna yang benar, misalnya redaksi “tak seorang pun” dimaknai “tak satu pun.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâry, vol. XIII, hal. 401-402). 

Senada dengan al-Qurthubi, jauh sebelumnya Imam Sulaiman al-Khatthabi sebagaimana dinukil oleh Imam al-Baihaqi mengatakan hal yang serupa. Ia menyatakan:

إِطْلَاقُ الشَّخْصِ فِي صِفَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ غَيْرُ جَائِزٍ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّخْصَ لَا يَكُونُ إِلَّا جِسْمًا مُؤَلَّفًا، وَإِنَّمَا سُمِيَّ شَخْصًا مَا كَانَ لَهُ شُخُوصٌ وَارْتِفَاعٌ، وَمِثْلُ هَذَا النَّعْتِ مَنْفِيُّ عَنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

“Memutlakkan kata orang dalam sifat Allah Yang Maha Suci tidaklah diperbolehkan. Hal itu karena orang tidak dipakai kecuali untuk jism yang tersusun. Sesuatu hanya disebut orang apabila ia mempunyai penampakan dan kemunculan fisik. Yang bersifat seperti ini ditiadakan dari Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.” (al-Baihaqi, al-Asmâ’ was-Shifât , vol. II, hal. 54).

Adapun beberapa redaksi hadits yang memakai kata orang (syakhsun) untuk Allah, misalnya hadits riwayat Muslim berikut:

وَلَا شَخْصَ أَغْيَرُ مِنْ اللهِ

“Tidak ada orang yang lebih cemburu daripada Allah”. (HR. Muslim)

Makna hadits itu menurut para ulama tidaklah bisa dipahami bahwa Allah adalah orang atau manusia. Di poin ini al-Qurthubi dan lain-lain tampak menerima keabsahan redaksi tersebut tetapi mewajibkannya untuk ditakwil dengan makna lain yang lebih sesuai sebagaimana disinggung sebelumnya. Makna takwilannya adalah redaksi hadits tersebut yang lebih sesuai kaidah, yakni memakai kata satu pun (أحد) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya berikut:

لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ

"Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah.” (HR. Bukhari)

Berbeda dengan al-Qurthubi, berdasarkan alasan yang telah disebutkan di atas Imam al-Khatthabi menolak redaksi tersebut dan menegaskan bahwa pastilah redaksi orang (syakhsun) dalam hadits itu tidak benar dan ia semata timbul karena kesalahan perawinya dalam meriwayatkan hadits tersebut secara maknawi. Ia berkata:

وَخَلِيقٌ أَنْ لَا تَكُونَ هَذِهِ اللَّفْظَةُ صَحِيحَةً، وَأَنْ تَكُونَ تَصْحِيفًا مِنَ الرَّاوِي

“Pasti redaksi ini tidak sahih dan merupakan penyelewengan dari perawinya”. (al-Baihaqi, al-Asmâ’ was-Shifât, vol. II, hal. 54)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyebut Allah sebagai orang dalam percakapan sehari-hari tidaklah benar dan tidaklah berdasar. Bila menyebut Tuhan, hendaknya kata orang dihapus atau diganti dengan kata lain yang lebih cocok dengan kaidah penyucian Allah dari keserupaan seperti contoh di atas. Misalnya, kita bisa cukup berucap “tidak ada yang bisa menolongmu kecuali Allah”, “tidak ada penolong bagi kondisi ini kecuali Allah”, dan semacamnya. Wallahu A’lam.
 
 
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.