Ilmu Tauhid

Apakah Allah Bersuara ketika Menyampaikan Wahyu? (I)

Sel, 6 Agustus 2019 | 02:00 WIB

Semua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari berbagai golongan sepakat bahwa Allah subhanahu wata’ala berwahyu kepada para malaikat dan rasul. Wahyu ini disampaikan dengan sifat kalam (firman). Ulama Asy’ariyah menggolongkan sifat kalam sebagai salah satu sifat wajib dalam arti sifat yang mutlak pasti dimiliki Tuhan. Yang bisu tak berkalam tak mungkin dianggap Tuhan. 

Dalam berbagai ayat disebutkan secara jelas bahwa Allah berkalam (berfirman), misalnya ayat berikut:

وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Allah berfirman secara langsung pada Musa” (QS. an-Nisa’: 164)

Setelah adanya kalam sebagai sifat Allah disepakati, lantas ada pertanyaan lanjutan, yakni apakah kalamullah atau firman Allah itu berupa suara? Lumrahnya kalam manusia satu sama lain memakai suara sehingga terjadi percakapan, apakah Allah juga demikian? 

Dalam menjawab pertanyaan itu, sebagian kecil tokoh yang tampak kurang teliti menjawab bahwa kalam Allah berupa suara biasa yang didengar telinga manusia. Syaikh Utsaimin misalnya, ia berkata:

فَكَلاَمُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لِمُوْسَى كَلاَمٌ حَقِيْقِيٌّ, بِحَرْفٍ وَصَوْتٍ سَمِعَهُ, وَلِهَذَا جَرَّتْ بَيْنَهُمَا مُحَاوَرَةٌ.

“Kalamullah yang Maha Agung kepada Musa adalah ucapan yang sebenarnya, dengan huruf dan suara yang didengar oleh Musa. Karena inilah, maka terjadilah percakapan antara keduanya. (Ibnu Utsaimīn, Syarh Aqîdah al-Wâsithiyah, vol. I, hal. 421)

Jawaban semacam ini dianggap sebuah kesalahan besar oleh para ulama yang teliti dan ahli dalam bidang teologi. Kalimat “ucapan yang sebenarnya, dengan huruf dan suara” adalah redaksi yang tak didukung oleh satu pun ayat atau hadits sahih. Yang valid hanyalah soal Allah berfirman, tanpa menyebutkan suara dan huruf dalam makna yang tiap hari digunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain. 

Imam al-Qasthalani dalam syarahnya terhadap Shahih Bukhari menjelaskan bagaimana mazhab Ahli Hadits dalam hal ini:

ولم يختلف في ذلك أحد من أرباب المِلَل والمذاهب وإنما الخلاف في معنى كلامه وقدمه وحدوثه، فعند أهل الحديث أن كلامه ليس من جنس الأصوات والحروف بل صفة أزلية قائمة بذاته تعالى منافية للسكوت الذي هو ترك التكلم مع القدرة عليه

“Tidaklah berbeda dalam hal itu (adanya kalamullah) satu pun dari berbagai sekte dan mazhab. Perbedaan pendapat hanyalah dalam hal makna kalamullah, tidak-berawalnya kalamullah, dan kebaruannya. Adapun menurut para Ahli Hadits bahwasanya kalamullah tidaklah berupa jenis suara dan huruf tetapi merupakan sifat yang ada tanpa awal mula (azali) yang berada pada Dzat Allah Ta’ala yang meniadakan adanya diam yang nota bene meninggalkan kalam padahal mampu.” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sâry, vol. X, hal. 428)

Mengapa mazhab Ahli Hadits justru menafikan kemungkinan Allah bersuara? Jawabannya antara lain: Karena suara dan huruf hanya bisa muncul dari jism sehingga mengatakan Allah bersuara sama saja dengan mengatakan Dzat Allah adalah jism. Selain itu, suara dan huruf adalah sesuatu yang mengalami perubahan dan berupa susunan, ini adalah bukti bahwa suara adalah makhluk (hudûts). Adalah sebuah kemustahilan bila Dzat Allah melahirkan makhluk. Dalam surat al-Ikhlas dinyatakan bahwa Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Imam al-Sanusi menjelaskan bahwa kalimat “tidak melahirkan” dalam surat tersebut maksudnya adalah Dzat Allah yang Maha Mulia tidak mengeluarkan eksistensi apa pun dari dirinya. (Abu Abdillah al-Sanusi, Syarh Umm al-Barâhîn, 24). Jadi, Dzat Allah tak melahirkan apa pun tanpa kecuali, termasuk di antaranya suara.

Ilmu modern menetapkan bahwa hakikat suara itu adalah gelombang getar dalam frekuensi tertentu yang mengalir melalui media yang dapat dikompresi, semisal udara dan air, atau melalui media benda padat dengan mode propagasi (proses pengiriman). Suara selalu membutuhkan benda fisik yang bergetar sebagai sumber gelombangnya dan selalu membutuhkan media semisal udara atau air untuk sampai pada tempat lain. Suara juga dapat dihalangi dengan media lain yang mencegah sampainya gelombang getar itu atau mengurangi efeknya. Karakter suara seperti ini berlaku universal dalam arti tidak ada satu pun suara yang tidak demikian meskipun bunyinya berbeda-beda.

Sekarang, layakkah suara disebut sebagai salah satu hal yang keluar dari Dzat Allah? Tentu sangat tidak layak. Menetapkan suara bagi Allah sama saja dengan mengatakan bahwa Dzat Allah dapat mengeluarkan gelombang getar. Sama juga dengan mengatakan bahwa sifat Allah membutuhkan media untuk bisa terwujud. Sama juga dengan mengatakan bahwa sifat Allah dapat mengalami propagasi (proses pengiriman) yang berupa pembiasan, pemantulan dan lain-lain. 

Lalu bagaimana wahyu disampaikan bila tanpa suara? Jawabannya dengan ilham yang langsung dapat dipahami para utusan, seperti dijelaskan Imam Ibnu Hajar berikut:

وَهَذَا حَاصِلُ كَلَامِ مَنْ يَنْفِي الصَّوْتَ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَيَلْزَمُ مِنْهُ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يُسْمِعْ أَحَدًا مِنْ مَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ كَلَامَهُ بَلْ أَلْهَمَهُمْ إِيَّاهُ

“Ini adalah konklusi pendapat para imam yang menafikan adanya suara dari Allah. Konsekuensinya, bahwa Allah tidaklah memperdengarkan kalam-Nya [dalam bentuk suara] pada satu pun malaikat dan rasul-Nya, tetapi mengilhamkannya pada mereka.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, vol. XIII, hal. 458)

Bersambung... 
 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.