Ilmu Tauhid

Hubungan 20 Sifat Wajib bagi Allah dengan al-Asma’ al-Husna

Ahad, 25 Maret 2018 | 10:30 WIB

Hubungan 20 Sifat Wajib bagi Allah  dengan al-Asma’ al-Husna

Anggapan bahwa 20 sifat wajib menafikan al-Asmâ’ al-Husnâ adalah anggapan yang tidak tepat, sebab tidak ditemukan sama sekali data valid maupun argumentasi kuat yang menunjukkannya. (Ilustrasi: g-1.com)

Bila 20 sifat wajib merupakan sifat-sifat pokok kesempurnaan Allah, bagaimana hubungannya dengan al-Asmâ’ al-Husnâ (secara bahasa: nama-nama Allah yang indah)? Rasionalkah sifat wajib yang hanya 20 mencakup 99 al-Asmâ’ al-Husnâ? Tidakkah 20 sifat wajib justru menafikannya?
 
Bila mengetahui makna sebenarnya dari masing-masing al-Asmâ’ al-Husnâ, maka orang akan memahami bahwa 99 al-Asmâ’ al-Husnâ itu sudah tercakup dalam sifat wajib yang dirumuskan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaimana dalam al-Maqshad al-Asna Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) menulis pasal khusus tentang rasionalisasi kembalinya al-Asmâ’ al-Husnâ pada Dzat Allah (sifat wujud) dan tujuh sifat ma’ani sesuai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. 
 

Lebih lanjut Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dalam al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ menjelaskan, meskipun nama al-Asmâ’ al-Husnâ sangat banyak, namun secara substantif kembali pada Dzat dan tujuh sifat ma’ani, yaitu melalui 10 kategori berikut:
 
  1. a. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat, seperti Allah. Begitu pula al-Haq yang diartikan Dzat Allah yang wajib wujudnya.
     
  2. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat dan menafikan ketidakpantasan, seperti al-Quddûs, as-Salâm, dan semisalnya. Sebab al-Quddûs menunjukkan Dzat Allah sekaligus menafikan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya yang terbersit di hati manusia, sedangkan as-Salâm menunjukan Dzat Allah sekaligus menafikan aib yang tidak pantas bagi-Nya.
     
  3. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat disertai penyandaran pada hal lain (idhâfah), seperti al-‘Aliyy , al-‘Adhîm dan semisalnya. Sebab al-‘Aliyy menunjukkan Dzat Allah yang derajatnya di atas seluruh dzat selainnya, sedangkan al-‘Adhîm menunjukkan Dzat dari melampaui seluruh batas pengetahuan (idrâk) manusia.
     
  4. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat, disertai menafikan ketidakpantasan dan penyandaran pada hal lain, seperti al-Mulk dan al-‘Azîz. Sebab al-Mulk menunjukkan Dzat Allah yang tidak membutuhkan apa pun dan segala sesuatu selain-Nya pasti membutuhkan-Nya, sedangkan al-‘Aziz menunjukkan makna Dzat Allah yang tidak ada bandingannya. 
     
  5. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada salah satu sifat ma’ani, seperti al-‘Alîm, al-Qâdir, dan semisalnya. Sebab al-‘Alîm menunjukkan sifat ‘ilm, sedangkan al-Qâdir menunjukkan sifat qudrah.
     
  6. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat ‘ilm disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Khabîr, al-Hakîm dan semisalnya. Sebab al-Khabîr menunjukkan sifat ‘ilm dengan disandarkan pada hal-hal yang samar, sedangkan al-Hakîm menunjukan sifat ‘ilm dengan disandarkan pada hal-hal yang mulia. 
     
  7. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat qudrah disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Qahhâr, al-Qawiyy, dan semisalnya. Sebab al-Qahhâr menunjukkan sifat qudrah disertai pengaruh penguasaannya pada hal yang dikuasai, sedangkan al-Qawiyy menunjukkan makna sifat qudrah disertai kesempurnaannya.
     
  8. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat irâdah disertai penyandaran pada suatu perbuatan, seperti ar-Rahmân, ar-Rahîm, ar-Ra’ûf dan semisalnya. Sebab ar-rahmah sebagai kata dasar ar-Rahmân dan ar-Rahîm kembali pada sifat irâdah dengan disandarkan pada perbuatan memenuhi kebutuhan makhluk yang lemah, sedangkan ar-ra’fah sebagai kata dasar ar-Ra’ûf berarti rahmat yang sangat maksimal. 
     
  9. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah), seperti al-Khâliq, al-Wahhâb. Sebab al-Khâliq menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan makhluk, sedangkan ar-Razzâq yang menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan rezeki dan orang yang diberi rezeki, menyampaikan rezeki kepadanya, serta menciptakan berbagai sebab sehingga ia mampu menikmatinya. 
     
  10. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah) disertai hal lain, seperti al-Majîd, al-Karîm. Sebab al-Majîd menunjukkan perbuatan Allah dalam memuliakan makhluk yang sangat luas disertai kemuliaan Dzat-Nya, sedangkan al-Karîm menunjukkan perbuatan Allah yang bila berjanji pasti memenuhi, bila memberi pasti melebihi harapan, dan tidak memperdulikan seberapa banyak pemberian-Nya dan kepada siapa memberinya, disertai kemuliaan Dzat-Nya.
 
Di akhir penjelasannya Imam al-Ghazali menegaskan:
 
فَلَا تَخْرُجُ هٰذِهِ الْأَسَامِي وَغَيْرُهُا عَنْ مَجْمُوعِ هٰذِهِ الْأَقْسَامِ الْعَشْرَةِ. فَقِسْ مَا أَوْرَدْنَاهُ بِمَا لَمْ نُورِدُهُ. فَإِنَّ ذٰلِكَ يَدُلُّ عَلٰى وَجْهِ خُرُوجِ الْأَسَامِي عَنِ التَّرَادُفِ مَعَ رُجُوعِهَا إِلٰى هٰذِهِ الصِّفَاتِ الْمَحْصُرَةِ الْمَشْهُورَةِ.
 
“Maka al-Asmâ’ al-Husnâ (yang 99) ini dan selainnya tidak keluar dari 10 kategori ini. Qiyaskan al-Asmâ’ al-Husnâ yang telah aku sebutkan dengan yang tidak aku sebutkan. Sebab hal itu akan menunjukkan tidak terjadinya kesamaan (sinonim) pada Asma’ al-Husna sekaligus menunjukkan kembalinya Asma’ al-Husna pada tujuh sifat (ma’ani dan Dzat/sifat wujud) yang masyhur ini.”
 
Pola pendekatan al-Ghazali ini kemudian diikuti oleh al-Fakhr ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) dalam Syarh al-Asmâ’ al-Husnâ dan Abu al-‘Abbas Ahmad bin Mu’id al-‘Uqlisi (w. 550 H/1155 M) sebagaimana disinggung al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari. Bahkan menurut al-Hafizh Ibn Hajar sendiri, al-Asmâ’ al-Husnâ sebenarnya dari sisi dilâlah dapat diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu (a) yang menunjukkan Dzat Allah saja yaitu Allah, (b) yang menunjukkan sifat yang tetap bagi Allah seperti al-‘Alîm, al-Qâdir, as-Samî’ al-Bashîr, (c) yang menunjukkan penyadaran pada sesuatu, seperi al-Khâliq dan ar-Razzâq, dan (d) yang menafikan ketidakpantasan seperti al-‘Aliyy dan al-Quddûs.
 
Adapun anggapan bahwa 20 sifat wajib menafikan al-Asmâ’ al-Husnâ adalah anggapan yang tidak tepat, sebab tidak ditemukan sama sekali data valid maupun argumentasi kuat yang menunjukkannya. Bahkan Imam as-Sanusi selaku perumusnya justru menulis kitab khusus untuk menjelaskan makna-makna al-Asmâ’ al-Husnâ yang berjudul Syarhal-Asmâ’ al-Husnâ, seperti cetakan pertama yang diterbitkan Muassasah al-Ma’arif Bairut Lebanon pada 1429 H/2008 M edisi tahqiq Nizar Hamadi. 
 
 
Yusuf Suharto, Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
 
(Tulisan ini disarikan dan dimodifikasi dari buku Khazanah Aswaja oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)