Ilmu Tauhid

Mengenal Sifat Wajib, Mustahil, dan Jaiz bagi Para Rasul

Ahad, 27 November 2022 | 12:00 WIB

Mengenal Sifat Wajib, Mustahil, dan Jaiz bagi Para Rasul

Sebagaimana Allah, para rasul memiliki sifat wajib, mustahil, dan jaiz yang harus dipahami umat Islam

Rukun iman yang keempat adalah iman dengan mempercayai para nabi dan rasul yang telah diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah dan ajaran-Nya kepada semua manusia tanpa terkecuali. Beriman dalam hal ini adalah mengakui dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengamalkan atas apa yang mereka bawa, serta meyakini bahwa semua itu adalah benar adanya.


Tugas dari masing-masing nabi dan rasul tidak lain selain untuk menegaskan kembali perihal ke-Esa-an Allah, menjelaskan bahwa Dia adalah satu-satunya Zat yang harus disembah, meninggalkan segala sekutu bagi-Nya, mensifati Zat-Nya dengan semua sifat kesempurnaan, dan mensucikan Zat-Nya dari segala sifat yang tidak layak. Para nabi dan rasul juga menjelaskan berita gembira berupa pahala dan surga bagi yang beriman dan taat, dan kabar duka berupa siksa neraka bagi yang mendurhakainya.


Selain iman pada keberadaan para nabi dan rasul, mengimana apa yang dibawa olehnya, kita juga harus beriman kepada sifat-sifat yang mesti dimiliki mereka, mesti tidak ada dalam diri mereka, dan sifat yang boleh-boleh saja ada dalam dirinya. Nah, dalam kesempatan ini penulis akan menjelaskan perihal sifat-sifat para rasul.


Sifat Wajib Para Rasul

Menurut Sayyid Husain Afandi al-Jasr at-Tharabalusi dalam salah satu kitabnya, sifat wajib (pasti ada dalam dirinya) bagi para rasul ada 4, (1) Sidiq; (2) Amanah; (3) Tabligh; dan (4) Fathanah. Sedangkan perlawanan atau sifat yang mustahil (tidak mungkin dimiliki) para rasul juga ada 4, yaitu (1) Kidzib; (2) Khiyanah; (3) Kitman; dan (4) Baladah.


Pertama, Sidiq (Jujur)

Sifat wajib pertama bagi para rasul adalah sidiq, yaitu jujur dan mustahil bagi mereka memiliki sifat kebalikannya, yaitu sifat kadzib atau berdusta. Maksud dari sifat yang pertama ini adalah semua ajaran yang disampaikan oleh para utusan adalah benar dan tidak mungkin ada dusta atau kebohongan di balik ajaran-ajaran yang mereka bawa.


Dalil wajibnya sifat sidiq ini adalah jika seandainya para rasul tidak jujur dalam menyampaikan ajaran kerasulannya, niscaya Allah swt pun juga tidak jujur terhadap mukjizat yang diberikan kepada mereka. Mukjizat yang bersifat irasional kemudian diberikan kepada para rasul menjadi jaminan bahwa mereka akan berbuat jujur. Dengan demikian, wajib bagi mereka untuk memiliki sifat sidiq,


فَالدَّلِيْلُ: لَوْ كَذِبُوْا فِي ذَلِكَ لَلَزِمَ الْكَذِبُ فِي خَبَرِهِ تَعَالَى، لِتَصْدِيْقِهِ لَهُمْ بِالْمُعْجِزَاتِ الَّتِي يَجْرِيْهَا الله عَلَى أَيْدِيْهِمْ تَأْيِيْدًا لَهُمْ لِأَنَّهَا نَازِلَةٌ مَنْزِلَةَ قَوْلِهِ: "صَدَقَ عَبْدِيْ فِي كُلِّ مَا يُبَلِّغُ عَنِّيْ"


Artinya, “Maka dalil (jujurnya para rasul) adalah: jika seandainya mereka berdusta dalam ajarannya, niscaya berita dari Allah juga dusta, karena Allah telah membenarkan mereka dengan adanya mukjizat, yang Allah berikan kepada mereka sebagai jaminan. Dan, mukjizat ini sudah menempati posisi firman Allah: ‘Telah benar hamba-Ku dalam setiap apa yang mereka sampaikan dari-Ku.” (Sayyid Husain, al-Hushun al-Hamidiyah lil Muhafazah ‘alal ‘Aqaid al-Islamiyah, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah: tt], halaman 50).


Kedua, Amanah (Dipercaya)

Sifat kedua yang wajib dimiliki oleh para rasul adalah sifat amanah, yaitu dapat dipercaya, dan mustahil bagi mereka untuk khianat. Dengan sifat ini, maka para rasul terpelihara dahir dan bathinnya dari setiap perbuatan-perbuatan yang melanggar syariat. Mereka terpelihara dari zina, minuman keras, berbohong, iri, dengki, sombong, sifat ingin dipuji.


Dalil wajibnya sifat amanah adalah seandainya para rasul berkhianat dengan cara mengerjakan satu perbuatan maksiat, niscaya umatnya juga diperintah untuk berbuat maksiat, karena tugas umat adalah mengikuti segala tindak tanduk rasulnya. Dengan demikian, wajib bagi para rasul untuk memiliki sifat amanah,


وَالدَّلِيْلُ: لَوْ خَانُوْا بِفِعْلِ مَعْصِيَةٍ لَكُنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِهِ لِأَنَّهُ تَعَالَى أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِهِمْ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيْلٍ، وَاللهُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْصِيَةِ


Artinya, “Adapun dalil (wajibnya sifat amanah): jika seandainya para rasul berkhianat dengan mengerjakan kemaksiatan, niscaya kita akan diperintah mengerjakannya pula, karena Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti mereka dalam ucapan, tindakan, dan perbuatannya tanpa diperinci, sedangkan Allah tidak memerintahkan maksiat.” (Sayyid Husain, 51).


Ketiga, Tabligh (Menyampaikan risalah)

Sifat wajib yang ketiga bagi para rasul adalah sifat Tabligh, yaitu menyampaikan risalah atau ajaran yang diperintahkan oleh Allah agar disampaikan kepada manusia. Sebaliknya, mustahil bagi para rasul memiliki sifat perlawanannya, yaitu sifat Kitman, yaitu menyimpan atau menahan risalah yang seharusnya disampaikan kepada manusia.


Dalil wajibnya sifat Tabligh adalah seandainya para rasul menyimpan apa yang wajib mereka sampaikan, niscaya kita akan diperintah untuk menyimpan ilmu, karena Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka. Dan, perintah untuk menyimpan ilmu tidak-lah benar, maka menyimpan risalah bagi para nabi juga tidak benar. Oleh karena itu, wajib bagi para nabi untuk memiliki sifat Tabligh dan mustahil bagi mereka memiliki sifat Kitman.


Keempat, Fathanah (Cerdas)

Sifat wajib yang terakhir, atau yang keempat bagi para rasul adalah sifat Fathanah, yaitu cerdas dan pintar, dan mustahil bagi mereka mempunyai sifat Baladah, yang berarti bodoh. Sedangkan dalil wajibnya sifat ini adalah, seandainya para rasul itu adalah orang-orang bodoh, maka mereka tidak akan mampu untuk memangun argumentasi dalam menghadapi kelompok-kelompok yang menentang risalah yang dibawanya.


Sebab, ketidakmampuan para rasul untuk membangun argumentasi ketika berhadapan dengan penentang risalahnya bertentangan dengan dengan pangkat dan martabat mereka sebagai utusan. Oleh karena itu, wajib bagi para rasul untuk memiliki sifat yang keempat ini, untuk meyakinkan mereka agar bisa menerima risalahnya,


وَهَذَا يُخَالِفُ مَنْصَبَهُمْ الَّذِي أُرْسِلُوْا بِهِ وَهُوَ هِدَايَةُ الْخَلْقِ اِلَى الْحَقِّ، فَوَجَبَ بِذَلِكَ لَهُمْ الفَطَانَةُ، وَاسْتَحَالَ عَلَيْهِمْ ضِدُّهَا


Artinya, “Dan ini (ketidak mampuan rasul untuk membantah argumentasi penentangnya) bertentangan dengan pangkat mereka yang telah diutus untuk memberikan jalan hidayah kepada makhluk untuk menuju al-haq (Allah). Oleh karena itu, wajib bagi para rasul untuk memiliki sifat Fathanah, dan muhal bagi mereka memiliki sifat perlawananya (Baladah).” (Sayyid Husain, 51).


Sifat Jaiz Para Rasul

Selain 4 sifat wajib dan mustahil di atas, sifat para rasul yang lain adalah sifat Jaiz (boleh). Sifat jaiz bagi para rasul ini hanya ada satu, yaitu sifat-sifat yang juga dirasakan oleh manusia pada umumnya, hanya saja tidak sampai menurunkan derajat dan martabat kenabiannya yang mulia (al-a’rad al-aasyariyah allati la tuazzi ila naqshin fi maratibihim al-‘aliyah), seperti makan, minum, tidur, menikah, dan hal-hal mubah lainnya.


Demikian empat sifat wajib dan mustahil bagi para nabi dan rasul dan satu sifat jaiz serta penjelasannya. Wallahu a‘lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.