Ilmu Tauhid

Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah

Jum, 10 Agustus 2018 | 12:00 WIB

Ketika membahas teologi Ahlussunnah wal Jama'ah, siapa pun tak akan bisa menghindar dari nama besar mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah sebab keduanya adalah representasi dari aqidah mayoritas ulama dari masa ke masa. Akan tetapi beberapa orang kemudian salah sangka ketika mendengar istilah "mazhab Asy'ariyah Maturidiyah". Mereka mengira bahwa kedua mazhab ini adalah ajaran baru atau aliran baru yang berbeda dari ajaran ulama salafus shâlih yang sudah ada sebelumnya. Benarkah demikian?

Baca juga: Perihal Kewajiban Mempelajari Ilmu Tauhid
Imam Abu Hasan al-Asy'ari lahir pada tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Sedangkan Imam Abu Mansur al-Maturidi diperkirakan lahir antara tahun antara 233-247 H dan wafat pada tahun 333 H/944 M. Dari tahun hidup keduanya dapat diketahui bahwa kedua imam besar Ahlussunnah wal Jama'ah ini baru lahir setelah era empat imam mazhab yang sudah tersohor namanya itu.  Sebelum mereka berdua juga ada deretan nama-nama besar yang menjadi representasi Ahlussunnah wal Jama'ah seperti Imam al-Auza'i (wafat 157 H), Sufyan ats-Tsauri (Wafat 161 H), Laits bin Sa'ad (wafat antara 170-175 H), Bukhari (wafat 256 H), Muslim (wafat 261 H), at-Thahawi (wafat 321 H) dan banyak lainnya. 

Karena itulah, ketika belakangan muncul Imam Abu Hasan al-Asy'ari di Baghdad dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di Transoksania dengan argumen-argumen teologi yang mampu membungkam para ahli bid’ah, para ulama dari berbagai golongan kemudian menisbatkan diri pada mereka berdua sebagai bentuk dukungan. Akhirnya masyhurlah nama Asy’ariyah (pengikut Abu Hasan al-Asy’ary) dan nama Maturidiyah (pengikut Abu Mansur al-Maturidy). Saat itulah beberapa orang mengira ada mazhab baru yang berbeda dari sebelumnya, padahal faktanya tidak demikian.

Imam Tajuddin as-Subky (771 H) menjelaskan duduk perkaranya sebagai berikut:

اعْلَم أَن أَبَا الْحسن لم يبدع رَأيا وَلم ينش مذهبا وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرر لمذاهب السّلف مناضل عَمَّا كَانَت عَلَيْهِ صحابة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فالانتساب إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَار أَنه عقد على طَرِيق السّلف نطاقا وَتمسك بِهِ وَأقَام الْحجَج والبراهين عَلَيْهِ فَصَارَ المقتدى بِهِ فى ذَلِك السالك سَبيله فى الدَّلَائِل يُسمى أشعريا 

“Ketahuilah sesungguhnya Abu Hasan tak memulai sebuah pendapat baru dan tak memunculkan sebuah mazhab. Itu tak lain hanya merupakan penguatan terhadap mazhab salaf. Dia membela apa yang diyakini sahabat Rasulullah ﷺ. Maka penisbatan diri pada beliau tak lain hanyalah pengakuan bahwa beliau mengikuti jalan salaf, berbicara dan berpegang teguh dengannya, mendirikan hujjah dan bukti-bukti atasnya. Maka yang mengikuti beliau dan menempuh jalan beliau itu dalam dalil-dalil disebutlah seorang Asy’ariyah”. (Tajuddin as-Subky, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz III, halaman 365)

Jauh sebelumnya, Imam al-Hafidz Ibnu Asakir (571 H) juga menjelaskan hal serupa. Ia berkata:

فنسب من تعلق الْيَوْم بِمذهب أهل السّنة وتفقه فِي معرفَة أصُول الدّين من سَائِر الْمذَاهب إِلَى الْأَشْعَرِيّ لِكَثْرَة تواليفه وَكَثْرَة قِرَاءَة النَّاس لَهَا وَلم يكن هُوَ أول مُتَكَلم بِلِسَان أهل السّنة إِنَّمَا جرى على سنَن غَيره وعَلى نصْرَة مَذْهَب مَعْرُوف فَزَاد الْمَذْهَب حجَّة وبيانًا وَلم يبتدع مقَالَة اخترعها وَلَا مذهبا انْفَرد بِهِ ألا ترى أَن مَذْهَب أهل الْمَدِينَة ينْسب إِلَى مَالك بن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمن كَانَ على مَذْهَب أهل الْمَدِينَة يُقَال لَهُ مالكي وَمَالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّمَا جرى على سنَن من كَانَ قبله وَكَانَ كثير الإتباع لَهُم إِلَّا أَنه زَاد الْمَذْهَب بَيَانا وبسطًا وَحجَّة وشرحًا وَألف كِتَابه الْمُوَطَّأ وَمَا أَخذ عَنهُ من الأسمعة والفتاوى فنسب الْمَذْهَب إِلَيْهِ لِكَثْرَة بَسطه لَهُ وَكَلَامه فِيهِ فَكَذَلِك أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا فرق  

“Maka hari ini orang-orang yang bergantung pada mazhab Ahlussunnah dan belajar pengetahuan Ushuluddin dari semua mazhab disandarkan kepada al-Asy'ari karena banyaknya karya beliau dan banyaknya bacaan orang-orang terhadap karya tersebut. Dia bukanlah Ahli Kalam pertama yang berbicara dengan lidah Ahlussunnah akan tetapi dia hanya mengikuti tradisi orang-orang sebelumnya untuk menolong mazhab yang sudah diketahui (mazhab salaf) sehingga mazhab tersebut bertambah kekuatan argumen dan penjelasannya. Dia tidak membuat suatu pernyataan baru dan juga tidak membuat suatu mazhab independen. Bukankah engkau melihat bahwa mazhab Ahli Madinah disandarkan kepada Imam Malik bin Anas sehingga orang yang mengikuti mazhab Ahli Madinah disebut seorang Maliky, padahal Malik hanya mengikuti tradisi orang sebelumnya. Hanya saja beliau  menambah mazhab tersebut dengan keterangan dan penjelasan argumentatif dan juga mengarang kitab al-Muwatta. Dan apa yang dinukil dari Imam Malik meliputi ucapan atau fatwa kemudian disandarkan sebagai mazhab kepadanya karena ialah yang banyak menjelaskan dan berbicara tentang hal itu. Demikian juga Abu Hasan Al Asy'ari tiada bedanya”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 117-118)

Baca juga: Sumber Ilmu Tauhid dan Kedudukannya di Antara Ilmu-ilmu Lain
Satu abad sebelum Imam Ibnu Asakir, Imam al-Hafidz al-Baihaqy (458 H) juga menjelaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary hanyalah membela mazhab para tokoh ulama salaf saja dengan menambahi berbagai keterangan sehingga memperkuat argumen mereka. Ia berkata:

إِلَى أَن بلغت النّوبَة إِلَى شيخنَا أَبِي الْحسن الْأَشْعَرِيّ رَحْمَة اللَّه فَلم يحدث فِي دين اللَّه حَدثا وَلم يَأْتِ فِيهِ ببدعة بل أَخذ أقاويل الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ وَمن بعدهمْ من الْأَئِمَّة فِي أصُول الدّين فنصرها بِزِيَادَة شرح وتبيين وَأَن مَا قَالُوا فِي الْأُصُول وَجَاء بِهِ الشَّرْع صَحِيح فِي الْعُقُول خلاف مَا زعم أهل الْأَهْوَاء من أَن بعضه لَا يَسْتَقِيم فِي الآراء فَكَانَ فِي بَيَانه تَقْوِيَة مَا لم يدل عَلَيْهِ من أهل السّنة وَالْجَمَاعَة وَنَصره أقاويل من مضى من الْأَئِمَّة كَأبي حنيفَة وسُفْيَان الثَّوْريّ من أهل الْكُوفَة وَالْأَوْزَاعِيّ وَغَيره من أهل الشَّام وَمَالك وَالشَّافِعِيّ من أهل الْحَرَمَيْنِ وَمن نجا نَحْوهمَا من الْحجاز وَغَيرهَا من سَائِر الْبِلَاد وكأحمد ابْن حَنْبَل وَغَيره من أهل الحَدِيث وَاللَّيْث بن سعد وَغَيره وَأبي عبد الله مُحَمَّد بن اسمعيل البُخَارِيّ وَأبي الْحسن مُسلم بن الْحجَّاج النَّيْسَابُورِي إمامي أهل الْآثَار وحفاظ السّنَن الَّتِي عَلَيْهَا مدَار الشَّرْع رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم أَجْمَعِينَ وَذَلِكَ دأب من تصدى من الْأَئِمَّة فِي هَذِهِ الْأمة وَصَارَ رَأْسا فِي الْعلم من أهل السّنة فِي قديم الدَّهْر 

“Kemudian sampailah giliran dakwah keturunan Sahabat Abu Musa Al Asy'ari pada guru kita, Abu Hasan Al Asy'ari. Dia tidak membuat hal baru dalam agama Allah dan juga tidak membawa suatu bid'ah, tetapi dia mengambil perkataan para Sahabat, Tabiin, dan orang-orang setelah mereka dari golongan para imam dalam masalah Ushuluddin kemudian membelanya dengan menambahi keterangan dan penjelasan. Dan [beliau membuktikan] bahwasanya apa yang mereka semua katakan dalam masalah aqidah dan apa yang sudah dibawa oleh syariat adalah benar menurut akal. Hal ini berbeda dari apa yang disangka oleh orang-orang menyimpang (ahlu al-Ahwa') yang mengatakan bahwa sebagian yang dibawa syariat tidak masuk akal. Maka dalam penjelasan beliau itu ada penguatan (taqwiyah)  yang sebelumnya tidak disadari oleh Ahlussunnah wal Jamaah.  Imam Abu Hasan Al Asy'ari juga ditolong oleh pernyataan-pernyataan para imam sebelumnya  seperti Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri dari penduduk Kufah, Al Auza'i dan lain-lain dari penduduk Syam,  Malik dan Syafi'i dari penduduk Haramain (Makkah-Madinah) dan sekelilingnya seperti Hijaz dan daerah-daerah lainnya.  Juga seperti Imam Ahmad bin hambal dan lain-lain dari kalangan ahli hadis dan Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Abi Hasan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, dua Imam ahli hadis dan juga para penghafal Kitab Sunan yang menjadi pondasi syariat, semoga Allah meridhai mereka semua.  Begitulah kebiasaan para Imam yang muncul ke permukaan di kalangan umat ini  dan menjadi pemimpin ilmu dari kalangan Ahlussunnah sejak dahulu kala”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 103)

Jadi, yang disebut sebagai mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah sebenarnya tak lain dari metodologi (manhaj) teologis yang basis argumen rasionalnya dibentuk oleh kedua imam tersebut. Secara ajaran, tak ada yang baru dari mereka berdua sebab keduanya hanya membela ajaran ulama salaf yang sudah ada sebelum mereka.

Demikian uraian ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember