Syariah

Hukum Sengaja Terlambat atau Tak Ikut Mendengarkan Khutbah Jumat

Jum, 19 Oktober 2018 | 01:15 WIB

Hukum Sengaja Terlambat atau Tak Ikut Mendengarkan Khutbah Jumat

Ilustrasi (Foto: Romzi Ahmad)

Sebagaimana maklum diketahui bahwa khutbah Jumat merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pelaksanaan Jumat. Namun, dalam kenyataannya masih ditemukan jamaah yang sengaja terlambat bahkan tidak ikut mendengarkannya. Sebagian mungkin masih terlihat nyantai bermain gadget di rumahnya, sebagian masih sibuk dengan kegiatannya dan masih banyak hal lagi yang melatarbelakangi keterlambatan mereka. Dalam pandangan fiqih, bagaimana hukum sengaja terlambat atau tidak ikut mendengarkan khutbah?
 
Anjuran mendengarkan khutbah dirumuskan berdasarkan firman Allah ﷻ:
 
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
 
“Dan apabila dibacakan Al Quran (khutbah), maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf, ayat 204).
 
Menurut mayoritas mufassirin, kata “al-Quran” dalam ayat tersebut ditafsiri dengan khutbah. Atas dasar ayat tersebut, ulama menyimpulkan kesunahan bagi jamaah untuk mendengarkan dan memperhatikan khutbah secara seksama. Syekh Zakariyya al-Anshari menegaskan:
 
قال: ( وينبغي) أي يستحب للقوم السامعين وغيرهم ( أن يقبلوا عليه ) بوجوههم ؛ لأنه الأدب ولما فيه من توجههم القبلة ( و ) أن ( ينصتوا ويستمعوا ) قال تعالى { وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا } ذكر كثير من المفسرين أنه ورد في الخطبة وسميت قرآنا لاشتمالها عليه 
 
“Dan disunahkan bagi jamaah, baik yang mendengarkan atau selainnya, menghadap khatib dengan wajah mereka, karena hal tersebut merupakan etika dan membuat mereka menghadap qiblat. Dan sunah bagi mereka untuk memperhatikan dan mendengarkan khutbah. Allah ﷻ berfirman, Dan apabila dibacakan Al-Qur'an (khutbah), maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang. Mayoritas pakar tafsir menyebutkan bahwa ayat tersebut turun dalam persoalan khutbah, disebut dengan al-Quran, karena khutbah memuat ayat Al-Qur'an.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 3, hal. 469).
 
Agama melarang segala bentuk aktivitas yang melalaikan diri untuk berangkat Jumatan sejak muadzin mengumandangkan azan kedua (saat khatib duduk di atas mimbar). Aktivitas yang dimaksud meliputi jual beli, bermain gadget, bahkan yang bersifat ibadah sekalipun seperti membaca Al-Qur'an. Larangan tersebut berlandaskan firman Allah ﷻ:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
 
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah, ayat 9).
 
Dianalogikan dengan keharaman jual beli dalam ayat di atas, segala bentuk aktivitas yang dapat melalaikan diri untuk berangkat jumatan. Larangan jual beli dalam ayat di atas berlaku untuk orang yang berkewajiban melaksanakan Jumat. 
 
Syekh Jalaluddin al-Mahalli mengatakan:
 
قال: ( ويحرم على ذي الجمعة ) أي من تلزمه ( التشاغل بالبيع وغيره ) المزيد في الروضة من العقود والصنائع وغيرها ( بعد الشروع في الأذان بين يدي الخطيب ) قال تعالى : { إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع } أي اتركوه والأمر للوجوب وهو بالترك فيحرم الفعل وقيس على البيع غيره مما ذكر لأنه في معناه في تفويت الجمعة 
 
“Haram bagi yang wajib Jumat menyibukan diri dengan jual beli dan selainnya yaitu beberapa transaksi, pekerjaan dan lainnya, setelah muadzin memulai azannya yang kedua di hadapan khatib, Allah berfirman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Kata perintah dalam ayat ini mengarah kepada kewajiban, dalam konteks ini dengan cara meninggalkan jual beli, maka haram melakukannya. Dianalogikan dengan jual beli, segala aktivitas yang telah kami jelaskan di atas, sebab secara substansi sama dengan jual beli dalam hal melalaikan Jumat.” (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin, juz 1, hal. 334).
 
Keharaman menyibukan diri dengan ibadah yang berdampak melalaikan Jumat disampaikan secara tegas oleh Syekh Muhammad al-Ramli sebagai berikut:
 
وهل الاشتغال بالعبادة كالكتابة كالاشتغال بنحو البيع؟ مقتضى كلامهم نعم
 
“Dan apakah sibuk dengan ibadah seperti menulis hukumnya sama dengan jual beli?. Indikasi dari statemen para ulama menyatakan sama (hukumnya haram)." (Syekh Muhammad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 2, hal. 344).
 
Keharaman melakukan jual beli dan yang sejenisnya tidak berlaku ketika dilakukan di masjid atau di tengah jalan saat menuju masjid atau tempat pelaksanaan Jumat. Sebab hal tersebut tidak dapat melalaikan kewajiban Jumat.
 
Syekh Syarafuddin Yahya al-Nawawi mengatakan:
 
وحيث حرمنا البيع فهو في حق من جلس له في غير المسجد أما إذا سمع النداء فقام في الحال قاصدا الجمعة فتبايع في طريقه وهو يمشي ولم يقف أو قعد في الجامع فباع فلا يحرم لكنه يكره صرح به المتولي وغيره وهو ظاهر لان المقصود أن لا يتأخر عن السعي الي الجمعة
 
“Ketika kita mengharamkan jual beli, maka hal tersebut untuk orang yang duduk bertransaksi di luar masjid. Adapun bila ia mendengar azan, kemudian ia berdiri seketika menuju tempat Jumat dan ia berjualan di tengah jalan sambil berjalan (ia tidak berhenti), atau ia duduk di masjid jamik dan berjualan, maka hal tersebut tidak haram, namun makruh. Sebagaimana dijelaskan Imam al-Mutawalli dan lainnya. Dan hal ini jelas, sebab maksud utama adalah agar ia tidak terlambat berangkat Jumatan.” (Syekh Syarafuddin Yahya al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 4, hal. 500).
 
Mencermati referensi-referensi di atas dapat dipahami bahwa jamaah yang sengaja tidak mendengarkan khutbah dengan menyibukan diri di tempat lain yang dapat melalaikan Jumat hukumnya adalah haram. Lantas bagaimana bila ia menduga masih dapat menemui Jumat, meski terlambat datang?, misalkan karena rumahnya berdekatan dengan masjid.
 
Dalam titik ini, fuqaha Syafi’iyyah berbeda pendapat. Menurut Syekh Ibnu Hajar hukumnya boleh, sebab inti dari keharaman jual beli dan sejenisnya adalah bahwa aktivitas tersebut dapat melalaikan Jumat, sehingga bila masih dapat menemui Jumat, maka ‘illat (alasan dasar) keharaman tersebut telah hilang. Sementara menurut Imam al-Ramli dan Syekh Amirah al-Barlasi, hukumnya haram, sebab mengamalkan perintah Allah dalam surat al-Jum’at ayat 9 di atas. Ayat tersebut memerintahkan jamaah untuk segera berangkat menuju tempat Jumatan dan meninggalkan jual beli dan yang lain, tanpa mengaitkan dengan dugaan dapat menemui Jumatan atau tidak.
 
Ikhtilaf tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj dan Hasyiyah-nya sebagai berikut:
 
ولو كان منزله بباب المسجد أو قريبا منه فهل يحرم عليه ذلك أو لا إذ لا تشاغل كالحاضر في المسجد ، كل محتمل ، وكلامهم إلى الأول أقرب 
 
“Bila rumahnya jamaah berada di pintu masjid atau di tempat yang dekat dengannya, apakah haram jual beli baginya atau tidak? Sebab tidak termasuk melalaikan Jumat seperti orang yang sudah hadir di masjid?, masing-masing memungkinkan (haram dan bolehnya), dan statemen ulama lebih cenderung mengarah kepada yang pertama (haram).
 
 (قوله : وكلامهم الى الأول أقرب) خلافا لحج ويلحق به أي المسجد كما هو ظاهر كل محل يعلم وهو فيه وقت الشروع فيها ويتيسر له لحوقها 
 
“Ucapan al-Ramli, dan statemen ulama lebih cenderung mengarah kepada yang pertama (haram), ini berbeda dengan pendapat Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, berikut statemen beliau, disamakan dengan masjid sebagaimana hal yang jelas yaitu setiap tempat yang ia mengetahui waktu berlangsungnya shalat Jumat dan mudah baginya untuk menemui Jumat di tempat tersebut.” (Syekh Muhammad al-Ramli dan Syekh Ali Syibramalisi, Nihayah al-Muhtaj dan Hasyiyah Ali Syibramalisi, juz 2, hal. 344).
 
Berikut redaksi utuh statemen Syekh Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah-nya:
 
وخرج بالتشاغل فعل ذلك في الطريق إليها وهو ماش أو المسجد وإن كره فيه ويلحق به كما هو ظاهر كل محل يعلم وهو فيه وقت الشروع فيها ويتيسر له لحوقها
 
“Dan dikecualikan dengan menyibukan (melalaikan), melakukan hal di atas (jual beli dan sejenisnya) di perjalanan menuju Jumat sambil berjalan, atau melakukannya di masjid, meski hukumnya makruh di dalam masjid. Dan disamakan dengan masjid sebagaimana hal yang jelas yaitu setiap tempat yang ia mengetahui waktu berlangsungnya shalat Jumat dan mudah baginya untuk menemui Jumat di tempat tersebut.” (Syekh Ibnu hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 2, hal. 480).
 
Mengomentari referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:
 
قال: ( قوله ويلحق إلخ ) خلافا للنهاية والإمداد ( قوله كما هو ظاهر ) أي لانتفاء التفويت 
 
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, 'Dan disamakan dengan masjid dan seterusnya', ini berbeda dengan pendapat kitab Nihayah al-Muhtaj dan al-Imdad. Ucapan Syekh Ibnu Hajar, sebagaimana hal yang jelas, karena ketiadaan meninggalkan Jumat. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 2, hal. 480).
 
Pendapat Syekh Amirah yang mengharamkan sebagaimana penegasan dalam tulisan beliau berikut ini:
 
قول المتن : ( التشاغل بالبيع وغيره ) هذا يفيدك أن الشخص إذا قرب منزله جدا من الجامع ويعلم الإدراك لو توجه في أثناء الخطبة يحرم عليه أن يمكث في بيته لشغل مع عياله أو غيرهم بل يجب عليه المبادرة إلى الجامع عملا بقوله تعالى : { إذا نودي للصلاة } إلخ وهو أمر مهم فتفطن له 
 
“Redaksi kitab matan, sibuk dengan jual beli dan lainnya, ini memberi petunjuk kepada anda bahwa seseorang yang rumahnya sangat dekat dengan masjid jamik dan ia meyakini dapat menemui Jumat bila ia menyusul di pertengahan khutbah, haram baginya menetap di rumah karena kesibukannya bersama keluarga atau lainnya, bahkan wajib baginya untuk bergegas menuju masjid jamik, karena mengamalkan firman Allah ﷻ, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat dan seterusnya. Yang demikian ini adalah hal yang penting, maka cerdaslah dalam memahaminya.” (Syekh Syihabuddin Ahmad Amirah al-Barlasi, Hasyiyah Amirah ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 334).
 
Demikian penjelasan mengenai hukum sengaja tidak ikut atau terlambat datang mendengarkan khutbah. Meski masih ada peluang boleh, namun sebaiknya kedatangan menuju tempat Jumat dilakukan sebelum azan kedua dikumandangkan, bahkan bila memungkinkan datang lebih pagi lagi, sebagaimana anjuran berangkat pagi yang diterangkan dalam beberapa hadits Nabi. Wallahu a’lam.
 
(M. Mubasysyarum Bih)