Khutbah

Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern

NU Online  ·  Kamis, 5 Juni 2025 | 10:15 WIB

Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern

Khutbah Idul Adha: membangun generasi tangguh di era modern (freepik).

Khutbah Idul Adha ini mengajak para jamaah untuk meneladani keluarga Nabi Ibrahim yang tak bisa lepas dan senantiasa terkait dengan Hari Raya Idul Adha. Kisah perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as adalah teladan bagi setiap keluarga Muslim, terutama dalam hal keteguhan iman, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah yang harus dipegang teguh oleh orang tua dan juga anak dalam kehidupan keluarga. 
 

Teks khutbah berikut ini berjudul "Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern." Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi).
 


Khutbah I
 


اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ
 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ. وَبَلَغَنَا إِلَى هٰذَا الْيَوْمِ مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ ذُوْ رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ تُرْجَى مِنْهُ الشَّفَاعَةُ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ، صَلَاةً وَسَلَامًا مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ
 

عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ : لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ


 اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ
 

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,

Pada momentum bahagia ini, marilah kita perkuat takwa dalam sanubari, dan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Takwa adalah cahaya hati, pelindung diri, penuntun langkah menuju surga yang abadi. Takwa bisa kita teladani dari momentum Hari Raya Idul Adha ini. Di mana kita diberikan keteladanan dari keluarga Nabi Ibrahim yang senantiasa patuh pada Ilahi. Keteladanan ini sangat berharga bagi kemaslahatan dan keberkahan keluarga yang sangat kita cintai.
 

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar penyembelihan hewan kurban semata. Lebih dari itu, ibadah ini adalah simbol pengorbanan dan ketaatan yang diwariskan dari Nabi Ibrahim as dan keluarga. Mereka adalah teladan kita yang menjunjung tinggi nilai iman, keikhlasan, dan kepatuhan kepada Allah swt. Keteladanan mereka tetap relevan hingga kini, khususnya saat mendidik putra-putri kita dalam keluarga.
 

Salah satu Pelajaran dari keluarga Nabi Ibrahim adalah pentingnya mendidik anak dengan ketauhidan dan keteladanan yang mulia. Nabi Ibrahim tidak hanya mengajarkan tentang Allah melalui ucapan kata, tetapi juga melalui perbuatan nyata. 
 

Nabi Ibrahim menunjukkan kesungguhan dalam beribadah. Ia jujur dalam bersikap, teguh dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan tak pernah goyah. Orang tua masa kini harus menyadari bahwa anak belajar lebih cepat melalui teladan bukan hanya perkataan dan perintah.
 

Selain itu, Nabi Ibrahim juga memberikan ruang kepada putranya, Nabi Ismail, untuk menyampaikan pendapatnya dalam peristiwa besar penyembelihan. Meskipun perintah itu datang dari Allah, Nabi Ibrahim tetap berdialog dengan anaknya untuk meyakinkan. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an:
 

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ
 

Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?.” (As-Shaffat: 102).
 

Yang dilakukan Nabi Ibrahim ini adalah bentuk penghargaan kepada anak tercinta. Ini adalah contoh baik komunikasi dua arah dalam keluarga. Ini adalah hal yang sangat penting untuk ditanamkan dalam kehidupan rumah tangga.
 

Kisah Nabi Ibrahim dan istrinya, Siti Hajar juga mengajarkan tentang keikhlasan dalam menghadapi ujian kehidupan. Mereka diuji dengan berbagai cobaan berat dengan berbagai tantangan. Mereka sempat lama tak memiliki keturunan. Nabi Ibrahim harus meninggalkan keluarga di padang pasir yang gersang tanpa ada tumbuh-tumbuhan. 
 

Setelah memiliki anak, Allah malah memerintahkan untuk menyembelih Ismail, anak yang selama ini diidam-idamkan. Semua itu mereka jalani dengan penuh keikhlasan dan keimanan. Dari sini, kita sebagai orang orang tua diajarkan untuk tetap sabar dan ikhlas dalam memberikan Pendidikan. Bahkan ketika harus menghadapi perubahan dan arus tantangan zaman.
 

Takwa diiringin dengan doa dan tawakal menjadi kekuatan utama. Nabi Ibrahim tak lelah berhenti berdoa kepada Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 100 tertulis doanya:
 

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
 

Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.”
 

Hal ini mengajarkan kita bahwa dalam mendidik putra putri tercinta, kita sebagai orang tua tidak boleh mengandalkan usaha semata. Tetapi harus terus memanjatkan doa dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
 

Siti Hajar sebagai seorang istri pun memberikan teladan berharga bagi kita. Ia adalah teladan perempuan yang kuat, sabar, dan penuh keyakinan pada pertolongan Allah swt. Saat ditinggalkan di padang pasir bersama bayi kecilnya, ia tidak mengeluh dan diam saja. Ketika mengetahui bahwa itu adalah perintah Allah yang maha kuasa, ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. 
 

Dengan perjuangan yang diabadikan dalam ibadah Haji yakni Sa’i, berlari-lari dari bukit Shafa dan Marwa, kita belajar bahwa seorang ibu harus memiliki ketegaran baja dan keyakinan dalam menjalani peran mendidik anak, meski dalam keadaan sulit yang menerpa.
 

 اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ
 

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Bagi anak-anak yang merupakan generasi penerus di masa yang akan datang, kisah perjuangan keluarga Nabi Ibrahim ini menyimpan pesan yang penting dan cemerlang. Nabi Ismail menunjukkan keteladanan luar biasa dalam hal ketaatan kepada orang tua sebagai simbol rasa sayang.
 

Selama perintah itu sejalan dengan kehendak Allah, Nabi ismail tidak akan pernah menentang. Ketika Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelihnya, Nabi Ismail tidak membangkang. Ia justru menunjukkan sikap tunduk dan berkata dengan terang:
 

قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
 

Artinya: “Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (As-Shaffat: 102)  

Dengan jawaban tanpa keraguan, Nabi Ismail memberikan teladan kepada setiap anak untuk taat kepada orang tua dalam cinta dan kebaikan. Ketaatan pada orang tua adalah bagian dari bentuk pengabdian kepada Allah swt yang Maha menentukan. Dan Ingat, kemurkaan orang tua juga merupakan murka Tuhan. Rasulullah mengingatkan:
 

رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ
 

Artinya: “Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua dan murka Allah ada  pada murka kedua orang tua.” (HR At-Tirmidzi).
 

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,

Selain ketaatan, Nabi Ismail juga memberi teladan dalam hal keberanian dan kesabaran menghadapi ujian. Ia tidak lari dari takdir, tidak menangis, dan tidak mempertanyakan keputusan Allah yang berat ia rasakan. Ia memahami bahwa semua perintah Allah pasti mengandung hikmah dan pelajaran.
 

Prinsip ini menjadi modal penting besar bagi anak-anak yang kini hidup di beda zaman. Para generasi muda tidak boleh gampang menyerah dan terus menguatkan keyakinan, bahwa setiap ujian dalam kehidupan adalah sarana untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan tahan pada cobaan.
 

Keikhlasan Nabi Ismail juga sangat menginspirasi. Ia tidak hanya taat secara lahir, tetapi juga ikhlas dalam menerima takdir dari dalam hati. Ia memiliki tanggung jawab spiritual sejak usia dini. Ini menunjukkan bahwa anak-anak juga harus berperan aktif dalam menjalankan nilai-nilai agama, bahkan tanpa disuruh sama sekali.
 

Yang tidak kalah penting, Nabi Ismail juga menunjukkan bahwa ia memahami perjuangan dan keputusan ayahnya. Ia tidak menyalahkan Nabi Ibrahim karena hendak menyembelihnya. Ia tahu bahwa itu adalah perintah dari Allah swt. Para generasi muda harus belajar menghargai jerih payah orang tua yang berjuang demi kebaikan mereka. Meskipun terkadang keputusan orang tua terasa berat dan tidak sesuai dengan keinginannya.
 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ
 

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

​​​​​​​Kisah keluarga Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail adalah bukti nyata bahwa keluarga merupakan madrasah pertama bagi kita semua. Di sanalah nilai-nilai tauhid, kesabaran, komunikasi, dan keikhlasan ditanamkan sepenuhnya. Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga tidak hanya dibangun atas dasar kasih sayang, tetapi juga atas dasar iman dan takwa.
 

Dengan menjadikan keluarga Nabi Ibrahim sebagai teladan, mudah-mudahan kita dapan membangun membangun fondasi keluarga berlandaskan iman. Semoga kita semua mampu meneladani mereka, agar terbentuk generasi yang kuat dalam iman dan takwa, unggul dalam akhlak mulia, dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang ada. Amin.
 

جَعَلَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِينَ وَالْفَائِزِينَ وَالْمَقْبُولِينَ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ. آمِينَ  

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ، وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
 


Khutbah II


​​​​​​​
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
 

الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ
 

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللهَ تَعَالَى فِي هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحينَ
 

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيدَنَا هَذَا سَعَادَةً وَتَلاَحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ
 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

​​​​​​​

Ustadz H Muhammad Faizin, Ketua PCNU Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung