Masyarakat Nilai RUU KUHAP Jadi Ancaman Serius bagi Kebebasan Sipil
NU Online · Selasa, 8 Juli 2025 | 21:00 WIB

Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di Jalan H Agus Salim, Gambir, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7/2025). (Foto: NI Online/Fathur)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menuai kritik tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.
Di tengah klaim pemerintah bahwa RUU ini akan menjadi lompatan reformasi hukum, sejumlah organisasi justru menilai sebaliknya. Rancangan ini membuka ruang pelanggaran hak asasi manusia dan memperkuat praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menilai proses penyusunan RUU KUHAP sejak awal sudah bermasalah. Ia menyebut adanya dugaan manipulasi partisipasi publik dan pengabaian masukan masyarakat sipil.
“Kami diundang Januari oleh Badan Keahlian DPR untuk memberi masukan, tapi awal Februari sudah muncul draf dan naskah akademik yang sama sekali tidak mencerminkan usulan kami. Proses ini seolah hanya formalitas belaka. Ini manipulasi partisipasi publik,” ujar Isnur dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di Jalan H Agus Salim, Gambir, Jakarta, pada Selasa (8/7/2025).
Isnur menilai substansi RUU ini sangat mengkhawatirkan karena membuka ruang penangkapan sewenang-wenang dan melemahkan prinsip fair trial.
"Hukum acara pidana ini menyangkut hak dasar warga negara: kapan bisa ditangkap, ditahan, disadap. Tapi semua justru makin longgar dan tidak dikendalikan. Ini sangat membahayakan," tegasnya.
Menurut Isnur, RUU KUHAP yang seharusnya menjadi pilar reformasi hukum justru dinilai sebagai ancaman baru terhadap kebebasan sipil. Di tengah meningkatnya kasus penyiksaan, kriminalisasi, dan penyalahgunaan kekuasaan, ia mendesak DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU ini serta membuka kembali ruang partisipasi publik yang bermakna.
"Kita sedang bicara masa depan hukum pidana, bukan sekadar pasal-pasal. Kalau disahkan seperti ini, kita semua bisa jadi korban," tutup Isnur.
Senada, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menyebut bahwa RUU KUHAP versi DPR maupun pemerintah sama-sama bermasalah. Ia menyoroti lemahnya kontrol pengadilan terhadap tindakan aparat.
"Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, seharusnya wajib seizin pengadilan. Tapi di RUU ini, justru ada pengecualian karena alasan ‘kondisi mendesak’ yang ditentukan sepihak oleh penyidik. Ini membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan menormalisasi pelanggaran," jelas Tita.
Ia mencontohkan banyaknya kasus warga yang diminta membuka ponsel tanpa dasar hukum yang kuat.
"Bahkan handphone bisa disita dan isinya digeledah hanya karena klaim dugaan, tanpa izin pengadilan. Di mana perlindungan privasi kita?" tanyanya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina juga menyoroti masuknya upaya paksa dalam tahap penyelidikan, yang menurutnya tidak memiliki dasar yang jelas.
"Penyamaran, pembelian terselubung, pengintaian semua itu bisa dilakukan di tahap penyelidikan. Apa mekanisme kontrolnya? Tidak ada," ujarnya.
Ia juga menyoroti pasal-pasal penyadapan yang dinilai terlalu longgar.
"RUU ini tidak memuat pengawasan ketat atas penyadapan, padahal MK sudah memerintahkan adanya UU khusus tentang penyadapan. Tapi nyatanya tidak ada, ini pelanggaran hak privasi," tegas Gina.
Matheus Nathanael dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menambahkan bahwa pembuat RUU tidak memahami konsep keadilan restoratif secara utuh.
"Keadilan restoratif itu untuk korban, bukan untuk melindungi pelaku dari sidang. Tapi di RUU ini, malah jadi pintu transaksi hukum," katanya.
Ia juga menyoroti absennya mekanisme judicial scrutiny (pengawasan peradilan) yang membuat tindakan subjektif aparat penegak hukum, seperti penahanan, tidak pernah diuji objektivitasnya.
"Kalau seseorang ditahan sewenang-wenang, siapa yang bisa membuktikan? Korban? Harusnya aparat yang membuktikan bahwa tindakannya sah secara hukum," ujarnya.
Hans Giovanny dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memperkuat kekhawatiran tersebut.
Ia mengingatkan bahwa tahun ini saja tercatat 36 kasus penyiksaan oleh polisi dan 7 oleh sipir, akibat lemahnya mekanisme pengawasan upaya paksa.
"RUU KUHAP ini tidak memperbaiki apa pun. Tidak ada check and balance, tidak ada jaminan hak korban. Ini berbahaya," tegasnya.
Fransisca Fitri dari YAPPIKA-ActionAid bahkan menyebut proses legislasi RUU KUHAP sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
"Ini mirip pola-pola pembuatan UU KPK dan Omnibus Law. Disusun diam-diam, cepat, dan tanpa transparansi. Ini bukan partisipasi publik, tapi manipulasi formalitas," katanya.
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Asyura, Tragedi Karbala, dan Sentimen Umayyah terhadap Ahlul Bait
3
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
4
Gencatan Senjata Israel-Hamas
5
Rais Aam PBNU: Para Ulama Tarekat di NU Ada di JATMAN
6
Gus Yahya: NU Berpegang dengan Dua Tradisi Tarekat dan Syariat
Terkini
Lihat Semua