Asyura, Tragedi Karbala, dan Sentimen Umayyah terhadap Ahlul Bait
NU Online · Ahad, 6 Juli 2025 | 14:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Tanggal 10 Muharram dalam kalender Islam yang dikenal sebagai Hari Asyura memuat salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Islam, yaitu terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, al-Husain bin Ali, di padang Karbala. Peristiwa ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan sebuah dinamika kekuasaan dan sentimen ideologis yang mengakar dalam pemerintahan Bani Umayyah terhadap keluarga Nabi, Ahlul Bait.
Tulisan ini merupakan analisis historis yang murni berdasarkan sumber-sumber kredibel, tanpa bermaksud menyudutkan pihak mana pun atau membahas polemik yang mungkin dikaitkan oleh pembaca di masa sekarang.
Tragedi Karbala pada tahun 61 Hijriah menandai titik balik dalam sejarah politik Islam. Ketika Yazid bin Muawiyah mengklaim kekhalifahan secara turun-temurun, al-Husain menolak mengakui legitimasi tersebut. Husain meyakini bahwa kekuasaan tidak boleh diwariskan secara otoriter, terutama kepada seorang pemimpin yang dinilai cacat secara moral. Penolakan ini kemudian dijawab dengan kekerasan brutal dari aparat negara Umayyah.
Atas perintah Ubaidillah bin Ziyad, pasukan Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad mengepung al-Husain dan pengikutnya di Karbala. Mereka dicegah mendapatkan air dari Sungai Eufrat, bahkan dalam keadaan kehausan dan keletihan. Hingga akhirnya, al-Husain dan sebagian besar keluarganya dibantai tanpa ampun. Ini adalah bentuk kekejaman yang mencoreng citra kekhalifahan.
Namun, yang lebih memilukan dari tragedi Karbala adalah narasi yang dibentuk setelahnya. Rezim Umayyah berusaha meminimalisasi dampak peristiwa itu dengan propaganda yang mendiskreditkan al-Husain dan mengangkat legitimasi Yazid. Para khatib diperintahkan untuk mencaci maki Ali bin Abi Thalib dari mimbar-mimbar Jumat sebagai bagian dari strategi politik.
Tragedi Karbala adalah fakta sejarah yang berdasarkan studi Howard, dilaporkan terdapat sembilan riwayat yang berbeda dalam sejumlah sumber Islam awal. (Howard, Husayn the Martyr: A Commentary on the Accounts of the Martyrdom in Arabic Sources', Al-Serat, 12 (1986), h. 124).
Penting dicatat, sikap represif terhadap Ahlul Bait bukan dimulai dari Karbala. Sejak masa Muawiyah, terdapat upaya sistematis untuk menyingkirkan loyalis Ali dari posisi penting dalam pemerintahan. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh seperti Hujr bin Adi karena tetap setia kepada Ali. Fakta ini menandakan permusuhan ideologis yang lebih dalam.
Yazid, putra Muawiyah, dilaporkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa sebagai pemabuk, penggila hiburan, dan lalai dalam urusan agama. Kenyataan ini membuat sebagian besar umat Islam saat itu menolak kepemimpinannya. Namun, karena ia adalah simbol dinasti, maka seluruh perangkat negara dikerahkan untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk dengan menumpas al-Husain. (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, [Beirut: Darul Arqam, 2016], h. 164)
Karbala menjadi simbol ketidakadilan politik dalam sejarah Islam. Ahlul Bait yang seharusnya dimuliakan sebagai keluarga Nabi justru diperlakukan sebagai musuh negara. Mereka dibunuh, ditawan, dan dipermalukan di hadapan publik. Narasi ini bertahan dalam memori kolektif umat, terutama kalangan pecinta Ahlul Bait.
Sikap Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait tidak berhenti di Karbala. Penerus Yazid seperti Marwan bin Hakam dan Abdul Malik bin Marwan terus melanggengkan diskriminasi. Khalifah-khalifah ini secara sistematis membungkam kritik dengan cara represif, termasuk terhadap keturunan Nabi yang menolak bekerja sama dengan rezim.
Abdul Malik bin Marwan, misalnya, melalui tangan al-Hajjaj bin Yusuf, dikenal kejam terhadap tokoh-tokoh yang masih menunjukkan simpati kepada keluarga Nabi. Bahkan, al-Hajjaj pernah membunuh Said bin Jubair, seorang tabi'in yang dikenal karena ketaatannya. Semua ini menunjukkan betapa kerasnya sikap Umayyah terhadap oposisi, khususnya yang berasal dari Ahlul Bait. (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, [Kairo: Darul Ma'arif, 1967], juz XI, h. 641)
Pengendalian Narasi Publik
Baca Juga
Syiah di Indonesia, Seperti Apa?
Sejarah mencatat bahwa para khalifah Umayyah berusaha menciptakan narasi non-historiografi resmi yang menegasikan peran Ahlul Bait. Maksud non-historiografi di sini karena pada era Umayyah, narasi sejarah tidak disampaikan melalui karya sejarah tertulis, tetapi melalui instrumen-instrumen narasi publik seperti khutbah Jumat, syair resmi, dan pidato-pidato di mimbar. Khalifah dan pejabat Umayyah menyadari bahwa legitimasi kekuasaan tidak cukup dengan pedang, tetapi harus didukung narasi yang membentuk persepsi umat.
Muawiyah bin Abi Sufyan, khalifah pertama Dinasti Umayyah, menetapkan kebijakan pelaknatan terhadap Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jumat yang berlangsung hampir empat dekade, dari awal pemerintahannya (661 M) hingga berakhirnya praktik tersebut di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (720 M). Kebijakan ini bukan sebatas cercaan verbal, tetapi juga bentuk pembunuhan karakter yang terorganisir. Mimbar masjid dimanfaatkan sebagai instrumen politik, layaknya media sosial masa kini yang rawan diperalat untuk menyebarkan propaganda kekuasaan.
Ibnu Jarir ath-Thabari, sejarawan independen era Abbasiyah, mencatat bahwa Hujr bin 'Adi al-Kindi, sahabat Nabi dan pembela setia Ahlul Bait, menolak tradisi kutukan terhadap 'Ali dalam khutbah Ziyad bin Abi Sufyan di Kufah. Ia memprotes keras penyalahgunaan mimbar. Akibatnya, ia ditangkap dan dieksekusi oleh Muawiyah, menjadikannya syuhada pertama dalam membela Ahlul Bait di era Umayyah. (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk: juz V, h. 256)
Momentum Asyura tidak hanya dimaknai secara emosional, tapi juga sebagai simbol perjuangan melawan tirani. Husain bukan sekadar figur keluarga Nabi, tetapi simbol nilai-nilai moral, keadilan, dan penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, sentimen terhadap Ahlul Bait menjadi cermin dari sikap umat terhadap nilai-nilai tersebut.
Rezim Umayyah berusaha menanamkan anggapan bahwa loyalitas terhadap khalifah lebih penting daripada kebenaran. Siapa pun yang menentang, sekalipun cucu Nabi, dianggap pemberontak. Ini adalah warisan politik yang menciptakan budaya taat buta terhadap otoritas, yang kemudian dikritik tajam oleh banyak ulama setelah runtuhnya Umayyah.
Narasi Karbala penting direnungkan umat Islam hari ini. Saat sejarah dikaburkan oleh kepentingan penguasa, tragedi kemanusiaan seperti Karbala mungkin saja terulang dalam wujud berbeda. Memahami sejarah bukan sekadar mengenang, tapi membongkar kepalsuan yang disusun oleh kekuasaan. Hari Asyura bukan hanya milik Syiah, tapi warisan seluruh umat Islam karena Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang dimuliakan.
Membongkar propaganda sejarah membuat kita melihat lebih jernih siapa yang berpihak pada kebenaran. Karbala bukan sekadar masa lalu, tapi cermin dalam menyikapi kekuasaan dan keadilan hari ini. Sebab narasi sejarah tak pernah bebas nilai. Ketika penguasa menguasai pena, kebenaran bisa dibengkokkan.
Mengenang Asyura dengan kesadaran sejarah adalah perlawanan terhadap narasi zalim. Ahlul Bait bukan sekadar korban, tapi juga simbol keberanian dan keadilan. Karbala mengajarkan kita menjaga nurani, menolak penindasan, dan membela yang lemah di tengah manipulasi simbol dan jargon kekuasaan yang menyesatkan.
Asyura tidak akan pernah usang. Selama masih ada ketidakadilan, selama masih ada pemutarbalikan fakta oleh rezim, maka semangat Karbala akan terus hidup. Al-Husain telah gugur, tetapi darahnya menjadi mata air yang tak pernah kering bagi mereka yang mencintai kebenaran dan membenci kezaliman.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
Terpopuler
1
Tim TP2GP dan Kemensos Verifikasi Pengusulan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional
2
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
3
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Keutamaan & Amalan Istimewa di Hari Asyura – Puasa, Sedekah, dan Menyantuni Yatim
5
Jejak Mbah Ahmad Mutamakkin, Peletak Dasar Keilmuan, Pesantren, dan Pemberdayaan Masyarakat di Kajen
6
Pangkal Polemik ODOL Kegagalan Pemerintah Lakukan Tata Kelola Transportasi Logistik
Terkini
Lihat Semua