Nasional

PBNU Akan Luncurkan Penulisan Sejarah NU Jilid Pertama pada Peringatan Satu Abad Masehi 31 Januari 2026

NU Online  ยท  Jumat, 25 Juli 2025 | 19:30 WIB

PBNU Akan Luncurkan Penulisan Sejarah NU Jilid Pertama pada Peringatan Satu Abad Masehi 31 Januari 2026

Bendera NU. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bakal meluncurkan hasil penulisan sejarah NU yang sementara ini akan diberi judul Nahdlatul Ulama dalam Arus Sejarah Peradaban Ahlussunnah wal Jamaah.


Ketua Tim Penulisan Sejarah NU Ahmad Suaedy juga menerangkan, hasil penulisan akan disusun dalam tiga jilid. Jilid pertama mencakup rentang waktu 1800 hingga 1952, jilid kedua meliputi periode 1952 hingga 1984, dan jilid ketiga mencakup kurun waktu 1984 hingga sekarang.


"Akan dilaunching (pada) peringatan puncak 1 Abad NU Masehi (31 Januari 2026), akan dilaunching jilid pertama 1800 sampai 1952. Ini bukan bagian dari penulisan kembali sejarah Indonesia. Jadi, saya menginisiasi penulisan sejarah Nahdlatul Ulama tapi dibantu oleh direktur sejarah di Kementerian (Kebudayaan)," katanya saat ditemui NU Online di lantai 3 PBNU, jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Jumat (25/7/2025).


Suaedy menerangkan, tim penulis terdiri dari 15 orang yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang akademik, tidak hanya dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), tetapi juga dari berbagai daerah seperti Bandung dan Surabaya.


"Tapi intinya adalah menulis sejarah dengan perspektif Indonesia center. Saya punya kritik terhadap penulisan sejarah Indonesia yang, sejauh ini, masih berorientasi kolonial. Saya masih menguji apakah benar penulisan sejarah Indonesia bisa menjadi Indonesia center atau tidak," katanya.


"Tapi kalau melihat sebagian besar sejarawan Indonesia, penulisannya masih berorientasi kolonial. Kita akan menulis sejarah NU ini dengan pendekatan Indonesia-centered atau Nusantara-centered," tambahnya.


Ia menjelaskan alasan penulisan dimulai dari tahun 1800 karena pada masa itu merupakan fase penting munculnya kesadaran kolektif rakyat terhadap kolonialisme. Ia mengkritik pandangan yang menganggap kebangkitan nasional dimulai dari berdirinya Budi Utomo.


"Budi Utomo benar sebagai organisasi modern pertama itu mungkin benar, mungkin, tapi itu pun masih diperdebatkan. Tapi itu bukan kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional adalah di (prakarsai oleh) Diponegoro, Diponegoro itu sudah melawan kolonialisme dan itu mempengaruhi gerakan-gerakan di seluruh Nusantara terhadap kolonial," katanya.


Ia juga menekankan bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak hanya lahir dari institusi formal, tetapi dari kesadaran rakyat yang dibangun oleh para ulama, pesantren, dan kerajaan-kerajaan Islam.


"Hanya ulama dan guru tarekat yang rela membawa aspirasi. Karena itu, merekalah yang menjadi pelopor, baik yang kerja sama dengan keraton ataupun tidak. Jadi kalauย di Yogyakarta, keraton diokupasi tapi ada juga yang bersama dengan keraton," katanya.


"(Seperti) Di Eropa, kan semua orang budak kecuali pemimpin agama dan keraton (kerajaan). Pertama-tama perjuangan demokrasi itu dari rakyat bukan dari organisasinya, bahkan itu di Indonesia kebangkitan nasional bukan organisasi tapi pada aspirasi hak kesadaran ketertindasan yang kemudian mengorganisasi," jelasnya.


Melalui penulisan sejarah NU ini, PBNU ingin menegaskan bahwa perjuangan dan kontribusi NU terhadap bangsa Indonesia memiliki akar yang panjang, mendalam, dan berakar kuat dalam nilai-nilai Aswaja serta realitas sosial-politik Nusantara.


"Isu persatuan yang diusung oleh Budi Utomo adalah ujung dari proses ini bukan mulainya, ujung dari kesadaran itu barulah persatuan. Jadi kalau dipotong persatuan lalu apa? memangnya tidak ada(gerakan yang diprakarsai)?," terangnya.