Nikah/Keluarga

Apakah Kesalehan atau Keadilan Syarat bagi Wali dan Saksi Perkawinan?

Sel, 21 Juli 2020 | 22:00 WIB

Apakah Kesalehan atau Keadilan Syarat bagi Wali dan Saksi Perkawinan?

Al-Habib Muhammad bin Salim walau mendukung pendapat tentang keadilan wali, tetapi cenderung lebih longgar. Menurutnya, syarat adil wali atau dua saksi cukup dilihat dari kacamata lahir saja, tidak perlu sampai dibuktikan terlalu mendetail. (Ilustrasi: wordpress.com)

Para ulama fikih telah merinci sedikitnya enam syarat yang harus dipenuhi seorang wali dan dua orang saksi nikah. Enam persyaratan dimaksud sebagaimana termaktub dalam petikan berikut:


ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة


Artinya, “Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: (1) beragama Islam; (2) balig, (3) berakal sehat; (4) merdeka; (5) laki-laki (6) adil.” (Lihat Matan Taqrib li Matni Abi Syuja’, jilid I, halaman 31).


Di antara masalah yang kerap muncul ke permukaan adalah syarat adil bagi wali dan dua saksi. Persyaratan ini memang bukan tanpa dasar. Sebab, dalam salah satu hadits Rasulullah SAW telah menyebutkan:


لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ


Artinya, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil,” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi).


Imam Asy-Syafi‘i juga meriwayatkan hadits lain, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali yang mursyid. Dijelaskannya, maksud mursyid dalam hadits tersebut adalah adil dan tidak fasik.”


Adapun adil dan tidak fasik itu dijelaskan para ulama sebagai berikut:


والمقصود بالعدالة: عدم ارتكاب الكبائر من الذنوب، وعدم الإصرار على الصغائر، وعدم فعل ما يخلّ بالمروءة: كالبول في الطرقات


Artinya, “Adapun maksud adil itu sendiri adalah tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi muru‘ah (kehormatan), seperti kencing di pinggir jalan,” (Lihat al-Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i, [Damaskus, Darul Qalam: 1992 M], jilid IV, halaman 64).


Dari sudut pandang tauhid, fasik sebagai dijelaskan Al-Jurzani dalam At-Ta‘rifat adalah orang fasik yang memiliki keimanan dan ketauhidan dalam hati, bahkan diikrarkan dengan lisan, namun keimanan dan ketauhidan tersebut tidak diwujudkan dalam amal perbuatan.


Berdasarkan dalil di atas, sementara ulama fikih memutuskan bahwa orang tidak adil atau fasik tidak boleh menikahkan seorang wanita mukmin dan hak kewaliannya harus dialihkan kepada wali di bawahnya. Demikian salah satu pendapat yang dikutip oleh Doktor Musthafa al-Khin:


فلا يُزوّج الفاسق مؤمنة، بل ينتقل حق تزويجها إلى الوليّ الذي يليه، إن كان عدلاً. ولأن الفسق نقص يقدح في الشهادة، فيمنع الولاية في الزواج.


Artinya, “Laki-laki yang fasik (tidak adil) tidak boleh menikahkan perempuan mukmin sehingga hak menikahkannya beralih kepada wali di bawahnya jika di bawahnya itu adil. Sebab, kefasikan adalah kekurangan yang mencederai kesaksian sehingga mencegah kewalian dalam pernikahan.” (Lihat Al-Musthafa Al-Khin, 1992 M: IV/64).


Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila wali atau saksi tidak memenuhi syarat adil? Bagaimana dengan keabsahan pernikahannya? Para ulama beragam pendapat menyikapi permasalahan ini.


Al-Habib Muhammad bin Salim walau mendukung pendapat tentang keadilan wali, tetapi cenderung lebih longgar. Menurutnya, syarat adil wali atau dua saksi cukup dilihat dari kacamata lahir saja, tidak perlu sampai dibuktikan terlalu mendetail. Dengan demikian, orang yang dikenal segelintir orang sebagai orang adil saja sudah cukup menjadi wali atau saksi.


Pendapat yang dikemukakan oleh Al-Habib Muhammad bin Salim dilatarbelakangi oleh pandangan Imam An-Nawawi yang menyatakan bahwa kewalian orang fasik tetap melekat padanya. Seandainya kewalian wali nasab karena gegara fasik dialihkan kepada wali hakim, boleh jadi wali hakim pun melakukan kefasikan serupa dengan wali nasab tadi, bahkan mungkin lebih berat. (Lihat Al-Miftah li Babin Nikah, halaman 6).


Pendapat ini juga didukung oleh Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qasim Al-‘Izzi dengan alasan kefasikan sudah merajalela di tengah masyarakat. Meski kewalian dialihkan kepada hakim, hakim pun belum tentu adil sehingga kefasikan hakim tidak sampai melepaskan hak kewaliannya. (Lihat Hasyiyatul Baijuri, jilid II, halaman 104).


Mushthafa Al-Khin  sendiri, walau menyebutkan pendapat pertama, tetapi lebih cenderung kepada pendapat kedua yang menyebutkan dengan alasan faktor kasih sayang:


لا تشترط العدالة في الزواج، لأن الولاية في الزواج مبنية على التعصب، والعصبة تحمله وفرة الشفقة على تحرّي مصلحة موليته، وهذه الشفقة لا تختلف بين العدل وغيره. ولأن اشتراط العدالة قد يؤدي إلى حرج كبير لقلّة العدول، ولاسيما في هذه الأيام، ولم يعرف أن الفسقة كانوا يُمنعون من تزويج بناتهم في أيّ عصر من العصور


Artinya, “Tidak disyaratkan sifat adil (wali) dalam pernikahan. Sebab, kewalian dibangun di atas hubungan ‘ashabah (garis turunan dari pihak ayah). Sedangkan ‘ashabah membawa si wali kepada curahan kasih sayang untuk mencari kemaslahatan bagi orang yang di bawah kewaliannya. Dan kasih sayang ini tidak ada bedanya antara orang yang adil dan tidak. Selain itu, sifat adil terkadang terlalu memberatkan, karena saking sedikitnya orang yang adil, terlebih di zaman sekarang ini. Tak sampai di situ, juga tidak dikenal pada satu zaman, ada orang fasik yang dilarang menikahkan putrinya.” (Lihat Al-Musthafa Al-Khin, 1992 M: IV/64).


Dengan mengacu pada penjelasan di atas, wali dan saksi yang adil merupakan sesuatu yang dipersyaratkan berdasarkan sabda Rasulullah. Namun di sisi lain, syarat adil bagi wali dan saksi merupakan sesuatu yang memberatkan, bahkan menyulitkan terlebih di zaman merebaknya kefasikan. Karena itu, sebagian ulama memilih untuk mempertahankan kewalian orang yang fasik, selain karena kian langkanya orang adil, juga kewalian wali nasab dibangun atas dasar kasih sayang ashabah atau garis keturunan dari pihak ayah. Kasih sayang tidak mengenal orang yang adil atau pun tidak.


Walhasil, selama wali nasab yang lebih dekat masih ada, apalagi yang mujbir, yaitu ayah dan kakek, maka kewalian tetap berada padanya. Dengan demikian, perkawinan dengan wali dan saksi yang tidak adil tetap sah secara syariat. Namun, tentu mendahulukan orang baik atau mengambil orang yang dipandang adil–walaupun secara lahir untuk menjadi saksi karena untuk wali sulit sekali diterapkan–adalah hal diutamakan. Wallahu a’lam.


Penulis: Ustadz M Tatam Wijaya

Editor: Alhafiz Kurniawan