Nikah/Keluarga

Batas Ketaatan Istri kepada Suami yang Beda Akidah

Senin, 18 November 2024 | 19:30 WIB

Batas Ketaatan Istri kepada Suami yang Beda Akidah

Ketaatan Istri kepada suami beda akidah (via patheos.com)

Menikah dengan pasangan yang beda akidah dan mazhab, seperti istri sunni dan suami yang menganut selain akidah sunni, dapat menjadi tantangan besar dalam membangun hubungan yang harmonis. Perbedaan ini bukan hanya terkait dengan tata cara ibadah, tetapi juga tentang amaliah sehari-sehari. Problem semacam ini kadang berangkat dari perbedaan afiliasi ormas masing-masing.
 

Misal dalam praktiknya suami tidak menyarankan istri membaca qunut ketika shalat subuh. Padahal menurut mazhab dan keyakinan istri, qunut shalat shubuh hukumnya sunah dan bila ditinggal sunah sujud sahwi. Atau ketika shalat tarawih, suami menyuruh istri shalat 8 rakaat dan melarang shalat 20 rakaat, karena dianggap bid’ah yang haram.
 

Contoh lain, ketika istri meminta izin kepada suami untuk pergi berziarah dan tahlil, tetapi suami melarangnya. Masalah semacam ini kadang menjadi beban yang serius bagi istri yang beda amaliyah dengan suaminya. Karena di sisi lain ia memiliki kewajiban taat kepada suami. 
 

Lantas, sebatas mana kewajiban istri untuk taat kepada suaminya yang beda akidah atau mazhab?
 

Pada dasarnya kewajiban istri untuk taat kepada suami hanya dalam hal yang berkaitan dengan hubungan intim dan istimta’ (hubungan seksual/biologis). Syekh Nawawi Banten mengatakan:
 

ويجب على الزوجة طاعته أي الزوج في نفسها في الوطء والاستمتاع إلا ما لا يحل كالوطء في حال الحيض والنفاس
 

Artinya, “Dan wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya dalam hal yang berkaitan dengan dirinya, yaitu bersetubuh dan bersenang-senang secara seksual, kecuali sesuatu yang tidak halal, seperti bersetubuh dalam kondisi haid dan nifas.” (Mirqatu Su'udit Tasdiq, [Jakarta, Darul Kutub Islamiyah: 2010], halaman 147).
 

Karena itu, suami berhak melarang istri melakukan sesuatu yang dapat menghalangi hak bersenang-senangnya, seperti melarang istri berpuasa sunah mutlak atau yang berkaitan dengan keluar rumah. Dalam hal ini, istri wajib taat pada perintah dan larangan suami.
 

Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
 

وَيَمْنَعُهَا) إنْ شَاءَ (صَوْمَ) أَوْ نَحْوَ صَلَاةٍ أَوْ اعْتِكَافٍ (نَفْلٍ) ابْتِدَاءً وَانْتِهَاءً وَلَوْ قَبْلَ الْغُرُوبِ لِأَنَّ حَقَّهُ مُقَدَّمٌ عَلَيْهِ لِوُجُوبِهِ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ يُرِدْ التَّمَتُّعَ بِهَا عَلَى الْأَوْجَهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَطْرَأُ لَهُ إرَادَتُهُ فَيَجِدُهَا صَائِمَةً فَيَتَضَرَّرُ
 

Artinya, “Dan suami boleh mencegah istri (jika ia mau) dari melakukan puasa atau ibadah sunah lainnya, seperti shalat atau i’tikaf sunnah, baik pada permulaan maupun di tengah-tengah pelaksanaannya, bahkan meskipun sebelum waktu maghrib.
 

Hal ini karena hak suami harus didahulukan atas ibadah sunah tersebut, sebab hak suami adalah kewajiban bagi istri. Bahkan, ini berlaku meskipun suami tidak berniat untuk menggauli istrinya secara seksual saat itu, berdasarkan pendapat yang lebih kuat.
 

Karena mungkin saja di kemudian waktu suami ingin menggauli istrinya secara seksual dan ia mendapati istrinya sedang berpuasa, sehingga hal ini akan membuatnya sulit (untuk memenuhi haknya).” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Ihyait Turats], juz VII, halaman 331).
 

Ibnu Hajar Al-Haitami juga menjelaskan, seorang istri yang hendak keluar dari rumahnya untuk keperluan mengunjungi orang tua harus melalui izin suaminya. Jika tidak, maka ia dianggap berdosa. Beliau mengatakan:
 

وَإِذَا اضْطَرَّتْ امْرَأَةٌ لِلْخُرُوجِ لِزِيَارَةِ وَالِدٍ أَوْ حَمَّامٍ خَرَجَتْ بِإِذْنِ زَوْجِهَا غَيْرَ مُتَبَهْرِجَةٍ فِي مِلْحَفَةٍ وَثِيَابٍ بَذْلَةٍ وَتَغُضُّ طَرْفَهَا فِي مِشْيَتِهَا وَلَا تَنْظُرُ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا وَإِلَّا كَانَتْ عَاصِيَةً
 

Artinya, “Jika seorang wanita terpaksa keluar rumah, misalnya untuk mengunjungi orang tua atau pergi ke pemandian, maka ia harus keluar dengan izin suaminya.
 

Ia tidak boleh berhias berlebihan, harus mengenakan pakaian yang sederhana dan tertutup, serta menjaga pandangannya ketika berjalan. Ia juga tidak boleh menoleh ke kanan atau ke kiri tanpa kebutuhan. Jika ia melanggar hal-hal tersebut, maka ia dianggap berdosa.” (Az-Zawajir, [Beirut, Darul Fikr: 1987], juz II, halaman 78).
 

Meski demikian, dalam hal seperti keluar rumah untuk berkunjung kepada orang tua atau tujuan berziarah kubur, sebaiknya suami tidak melarang istri sebagai bentuk mu'asyarah bil ma’ruf atau berperilaku baik kepada pasangan. 
 

قَالُوا: وَلَكِنَّهُ يَنْبَغِي أَلاَّ يَمْنَعَهَا مِنْ عِيَادَةِ وَالِدَيْنِ مَرِيضَيْنِ وَحُضُورِ جِنَازَتِهِمَا؛ لأَِنَّ فِي ذَلِكَ قَطِيعَةً لَهُمَا وَحَمْلًا لِزَوْجَتِهِ عَلَى مُخَالَفَتِهِ، وَقَدْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِالْمُعَاشَرَةِ بِالْمَعْرُوفِ، وَمَنْعُهَا مِنْ عِيَادَةِ وَالِدٍ مَرِيضٍ لَيْسَ مِنَ الْمُعَاشَرَةِ بِالْمَعْرُوفِ فِي شَيْءٍ
 

Artinya, “Ulama Syafi’i dan Hanbali berpendapat: ‘Namun, seharusnya suami tidak melarang istri untuk menjenguk kedua orang tuanya yang sedang sakit atau menghadiri jenazah mereka. Karena melarang hal tersebut berarti memutus hubungan silaturahmi dengan orang tuanya dan dapat mendorong istri untuk melanggar perintah suami.
 

Padahal Allah telah memerintahkan untuk hidup bersama dengan cara yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Melarang istri untuk menjenguk orang tua yang sedang sakit bukanlah bagian dari mu’asyarah bil ma’ruf sama sekali.’” (Kementerian Waqaf, Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427], juz LVIII, halaman 24).
 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, kewajiban istri taat kepada suami yang beda akidah dan mazhab diperinci sebagai berikut:

  1. Jika perintah dan larangan suami berkaitan dengan hal yang menghalangi hak istimta’nya (hak mengakses kebutuan seksual), seperti berkaitan dengan keluar rumah dalam rangka ziarah kubur, maka istri wajib untuk taat.
     
  2. ⁠Jika perintah dan larangan suami berkaitan dengan hal yang tidak menghalangi hak istimta’nya, seperti yang berkaitan dengan membaca qunut atau shalat tarawih 20 rakaat atau persoalan perbedaan pendapat dalam ibadah tertentu, maka istri tidak harus taat pada suami.
     

Keterangan di atas merupakan Hasil Keputusan Bahtsul Masail Komisi C, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ke-27 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 13-14 November 2024.
 

Hadir sebagai Mushahih pada forum tersebut: KH Bahrul Huda, Kiai Fauzi Hamzah, KH Munir Akromin, dkk. Turut hadir sebagai Perumus: Kiai Ulul Bashair, Kiai Rohmatullah, Kiai Adzim Fadlan, dkk. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Bangkalan, Madura.