Nikah/Keluarga

Batas Maksimal Suami Boleh Tidak Memberikan Nafkah Batin

Rab, 21 Desember 2022 | 08:00 WIB

Batas Maksimal Suami Boleh Tidak Memberikan Nafkah Batin

Batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin

Nafkah batin adalah kewajiban yang mesti diberikan oleh suami kepada istrinya selain nafkah lahir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qura'n:
 


لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
 

 

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS At-Thalaq: 7).
 

 


Dari sudut pandang istri, maka bisa kita pahami bahwa pemenuhan nafkah lahir dan batin merupakan hak istri yang jika tidak terpenuhi maka ia diperkenankan menuntut hak tersebut. Syekh Wahbah dalam kitab Al-Fiqhul Islami menyebutkan:
 


للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل

 

Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz IX, halaman 6832).

 

Atas pertimbangan di atas, jika seorang suami tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin akan bisa menimbulkan konsekuensi, yakni istri boleh menuntut cerai kepada suami jika memang ia tidak bersabar akan hal tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam As-Syafi’i:
 


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ 

 

Artinya: “Imam As-Syafi’i berkata: “Baik Al-Qur'an maupun As-Sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak meninggalkannya agar bisa diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersama atau pisah dengannya.” (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121).
 


Pertanyaan selanjutnya ialah berapa lamakah masa terlama suami boleh tidak memberikan nafkah batin bagi istrinya?

 

Mengenai hal ini, Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali satu bulan. Pendapat ini berdasarkan pada ayat:
 


فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ 
 


Artinya: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222).

 

Dari ayat di atas bisa kita memahami bahwa biasanya siklus haid perempuan adalah sebulan sekali, dan perintah untuk menggauli istri pada ayat dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang menunjukkan kewajiban. Berbeda dengan ulama lain yang berpendapat bahwa perintah di atas menunjukkan hukum mubah mengingat kaidah yang berbunyi: “Perintah sesudah larangan menunjukkan hukum mubah”.

 

Imam As-Syafi’i sendiri sepertinya lebih sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa batas waktunya ialah 4 bulan. Pendapat tersebut dibuat berdasarkan ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Pada masa itu, banyak lelaki yang pergi berperang meninggalkan istri mereka. Banyak sekali istri yang merasa sedih akan hal ini. Sesudah berdiskusi dengan Hafshah, Umar kemudian memutuskan bahwa prajurit yang sudah bertugas selama 4 bulan di medan perang pulang untuk memberikan nafkah kepada istrinya, atau menceraikannya:

 


كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ 

 

Artinya: “Umar bin Khaththab ra pernah menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh istrinya. Dalam surat tersebut beliau menginstruksikan kepada mereka agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (Imam As-Syafi’i) kemukakan”. (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121).
 


Kesimpulannya, jika melihat pada pendapat ulama, maka batas maksimal suami tidak memberikan nafkah batin ialah 1 bulan jika mengacu pada pendapat Imam Ibnu Hazm, dan 4 bulan jika mengacu pada keputusan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab.
Namun demikian, di Indonesia kita mengetahui bahwa terdapat ta’liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang di antara poinnya ialah:
 

 


“Apabila saya: ... (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya ... dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya.”



Dari shighat ta’liq talak point 2 tersebut diatas, maka di Indonesia, batasan maksimal tidak memberikan nafkah batin ialah 3 bulan. Meskipun demikian, talak tidak serta merta jatuh karena hal itu masih tergantung pada kerelaan istri. Apabila istri rela, maka pernikahan masih bisa berjalan, sedangkan apabila istri tidak rela, maka ia boleh mengajukan gugat cerai di pengadilan.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.