Nikah/Keluarga

Family Time: Pentingnya Menyediakan Momen Kebersamaan di Tengah Kesibukan

NU Online  ·  Kamis, 14 Agustus 2025 | 15:00 WIB

Family Time: Pentingnya Menyediakan Momen Kebersamaan di Tengah Kesibukan

Ilustrasi keluarga. Sumber: Canva/NU Online.

Burnout, kondisi kelelahan fisik, dan mental akibat stres berkepanjangan menjadi salah satu kendala dalam karier seseorang, ketika dia terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu khusus untuk bercengkerama bersama keluarga, mengakibatkan tidak adanya work life balance yang baik, bahkan berpotensi adanya penurunan produktivitas sebab cekcok antar suami-istri dikarenakan tidak mempunyai waktu sama sekali untuk membantu pekerjaan rumah dan mengurus anak.


Keseimbangan antara kesibukan bekerja dengan peran dalam rumah tangga adalah hal yang harus diwujudkan oleh pasangan suami-istri, membagi waktu sesuai porsinya dan tidak membawa kesibukan pekerjaan ke rumah, kecuali memang tidak bisa ditinggalkan merupakan salah satu bentuk upaya dalam mewujudkan work life balance tersebut.


Tidak hanya itu, family time juga merupakan upaya yang harus diperhatikan dan dilakukan seseorang agar dia bisa menyeimbangkan tanggung jawab kerjanya dengan tanggung jawab peran dalam rumah tangga. Sebab bagaimanapun juga, segala hasil dari jerih payah kerja tentunya diprioritaskan untuk kebahagiaan dan keberlangsungan keluarga itu sendiri. 

 
Family time sangat penting untuk dilakukan oleh para kepala rumah tangga, meskipun dia bekerja tidak dengan keluar rumah (work from home), sebab memberikan porsi waktu untuk keluarga dapat mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga bagi pasangan suami-istri, memberikan perhatian kepada anak agar terhindar dari sindrom fatherless atau motherless ketika keduanya atau salah satunya terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan melupakan perhatian kepada anaknya.


Mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga merupakan salah satu hal yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 19 berikut:


وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا


Artinya, "Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya."


Syekh Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat tersebut bahwa berbicara dengan lemah lembut, berperilaku baik, memiliki good attitude, serta bersikap adil dalam nafkah dan giliran bermalam, merupakan wujud nyata dari mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik dalam rumah tangga) (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991], jilid IV, hlm. 302).


Menurut Az-Zuhaili, keharmonisan rumah tangga lahir dari sikap manis dan kelembutan seorang suami yang memperhatikan istrinya dengan penuh kasih. Beliau bahkan menguatkan pandangan ini dengan mengutip hadis dari Aisyah r.a., yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 3895, sebagai berikut:

 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «‌خَيْرُكُمْ ‌خَيْرُكُمْ ‌لِأَهْلِهِ،» وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي


Artinya: Dari Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.”


Hadits ini menunjukkan bahwa seorang suami yang mampu membina keluarga dengan baik dan harmonis berhak menyandang predikat sebagai pribadi terbaik dalam urusan rumah tangga. Keharmonisan rumah tangga bahkan menjadi tolok ukur penting bagi kebahagiaan hidup seseorang.


Syekh Muhammad bin Ali Asy-Syaukani memberikan komentar sebagai berikut:


في ذلك تنبيه على أن أعلى الناس رتبةً في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان خير الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب النفع ودفع الضرِّ، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من ذلك فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرًا ما يقع الناس في هذه الورطة، فترى الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقًا وأشجعهم نفسًا وأقلهم خيرًا، وإذا لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه وكثر خيره، ولا شكّ أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق، نسأل الله السلامة.


Artinya, "Hadits tersebut memberikan peringatan bahwa peringkat tertinggi manusia dalam kebaikan, dan yang paling layak menyandang predikat tersebut, adalah mereka yang paling baik terhadap keluarganya. Sebab, keluarga adalah pihak yang paling berhak dibahagiakan, diperlakukan dengan baik, diberikan manfaat, dan dijauhkan dari segala mara bahaya. Apabila seorang pria bersikap demikian, maka dialah sebaik-baik manusia. Sebaliknya, jika ia berbuat sebaliknya, maka dialah seburuk-buruk manusia. Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat adalah sebaliknya: mereka bersikap buruk, kasar, dan minim kebaikan kepada keluarganya, tetapi bersikap lemah lembut, sopan, dan penuh kebaikan kepada orang lain. Tidak diragukan lagi, orang seperti ini terhalang dari petunjuk Allah dan menyimpang dari jalan yang benar. Semoga Allah melindungi kita dari sifat tersebut." (Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, [Beirut: Dar Ibn Jauzi], jil. XII, hlm. 331).

 

Asy-Syaukani secara tegas menegaskan bahwa keluarga adalah prioritas utama yang harus dibahagiakan sebelum orang lain. Karena itu, family time merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan seseorang kepada keluarganya demi memenuhi hak prioritas tersebut.


Sarkasme yang dilontarkan Asy-Syaukani ini benar-benar relevan dengan kenyataan. Banyak orang lebih nyaman memberikan waktu, tenaga, dan kebaikan kepada orang lain daripada kepada keluarganya sendiri. Bahkan, saat berinteraksi dengan keluarga, ia justru berperilaku seakan-akan sedang berhadapan dengan orang asing. Ini adalah anomali yang tidak seharusnya terjadi.


Fenomena tersebut umumnya berakar dari minimnya interaksi hangat dalam keluarga. Tidak ada kedekatan emosional yang terbangun, sehingga timbul rasa canggung ketika membicarakan masalah pribadi. Ironisnya, hal ini tidak jarang terjadi bahkan antara orang tua dan anak. Singkatnya, kurangnya family time membuat seseorang semakin jauh secara emosional dari keluarganya sendiri.


Rasulullah SAW adalah teladan sempurna sebagai seorang family man. Banyak riwayat yang menjelaskan kedekatan beliau dengan keluarganya serta kebiasaan beliau menghabiskan waktu bersama mereka. Salah satu contohnya adalah family time beliau bersama Sayyidah Aisyah dengan bermain lari-larian, sebagaimana dicatat oleh Imam al-Ghazali berikut:


وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‌يَمْزَحُ ‌مَعَهُنَّ وَيَنْزِلُ إِلَى دَرَجَاتِ عُقُولِهِنَّ في الأعمال والأخلاق حتى روي أنه صلى الله عليه وسلم كان يسابق عائشة في العدو فسبقته يوماً وسبقها في بعض الأيام فقال صلى الله عليه وسلم هذه بتلك


Artinya: Rasulullah SAW pernah bergurau dengan istri-istrinya, dan beliau menyesuaikan diri dengan kapasitas pemahaman mereka dalam berinteraksi dan berakhlak. Bahkan, diriwayatkan bahwa beliau pernah berlomba lari bersama Aisyah, dan beliau mengalah. Pada kesempatan lain, lomba itu terulang, beliau menang, lalu bersabda: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan yang lalu.” (Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2016], jilid II, hlm. 61).


Rasulullah SAW juga kerap menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Banyak riwayat yang menuturkan betapa beliau sangat menyayangi Hasan dan Husain, sebagaimana dicatat oleh al-Qadi Muhammad bin Salamah al-Qadha’i berikut:


أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ، أَقْبَلَا يَسْتَبِقَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا أَنْ جَاءَهُ أَحَدُهُمَا جَعَلَ يَدَهُ فِي عُنُقِهِ، ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ ‌فَجَعَلَ ‌يَدَهُ ‌فِي ‌عُنُقِهِ، فَقَبَّلَ هَذَا، ثُمَّ قَبَّلَ هَذَا، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُمَا فَأَحِبَّهُمَا


Artinya, “Sesungguhnya Hasan dan Husain pernah berlari menuju Rasulullah ﷺ. Ketika salah satu dari mereka tiba lebih dahulu, Rasulullah merangkul lehernya, lalu melakukan hal yang sama kepada yang datang berikutnya. Beliau mencium keduanya secara bergantian, kemudian bersabda: 'Ya Allah, sungguh aku sangat mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka'.” (Muhammad al-Qadha’i, Musnad Asy-Syihab, [Beirut: Ar-Risalah, 1986], jilid I, hlm. 50).


Jika family time merupakan salah satu bentuk upaya menjalin kedekatan dan keharmonisan keluarga, maka buah dari kebersamaan tersebut adalah terciptanya keluarga yang damai, saling menyayangi, dan saling memahami. Inilah yang menjadikan seseorang layak mendapatkan predikat terbaik dalam urusan keluarga sebagaimana hadis Aisyah, sekaligus telah mengamalkan perintah untuk membentuk keluarga yang harmonis sebagaimana tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 19.


Kesibukan bekerja, meski dilandasi tekad meraih kesuksesan, tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan keluarga. Perhatian, kasih sayang, dan waktu bersama mereka adalah investasi emosional yang jauh lebih berharga daripada pencapaian materi semata. Sebab, apa artinya kesuksesan karier jika keluarga yang dibangun justru menjadi harga mahal yang harus dibayar demi mencapainya. Wallahu a'lam.


Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.