Penjelasan tentang Mahram Muabbad dan Mahram Muaqqat
Sabtu, 24 Agustus 2019 | 13:00 WIB
M. Tatam Wijaya
Kolomnis
- Ibu, ibunya ibu (nenek), ibunya ayah (nenek), ibunya nenek (buyut), hingga terus ke atas.
- Anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), anak perempuan dari anak perempuan (cucu), anak perempuan dari cucu (cicit), hingga terus ke bawah.
- Saudara perempuan, baik seayah-seibu, seayah, maupun seibu.
- Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.
- Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.
- Saudara perempuan ayah (bibi), bibinya ayah, bibinya kakek, hingga terus ke samping.
- Saudara perempuan ibu (bibi), bibinya ibu, bibinya nenek, hingga terus ke samping. (Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr. Mustafa al-Bugha, ‘Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi‘i, Damaskus: Darul Qalam, 1992, jilid 4, hal. 25).
- Istri ayah (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan terus ke atas, dengan catatan sang ayah atau sang kakek telah bergaul suami-istri dengannya.
- Istri anak (menantu), istri cucu, hingga terus ke bawah, walaupun sang anak atau cucu baru sekadar akad dan belum bergaul suami-istri. Berbeda jika status “anak” atau “cucu” tersebut adalah anak angkat. Sehingga boleh hukumnya menikah dengan mantan istri anak angkat.
- Ibu istri (mertua), nenek istri, hingga terus ke atas, walaupun baru sekadar akad nikah dengan anaknya belum bergaul suami-istri.
- Anak perempuan istri (anak tiri), anak perempuan dari anak tiri (cucu tiri), dengan catatan ibu si anak tersebut telah dicampuri.
- Ibu persusuan, seorang perempuan yang menyusui Anda, termasuk nenek persusuan, hingga ke atas.
- Saudara perempuan persusuan, yaitu perempuan yang disusui oleh perempuan yang menyusui Anda. Dikecualikan jika saudara perempuan persusuan Anda itu ingin menikah dengan saudara laki-laki Anda. Maka itu dihalalkan.
- Anak perempuan dari saudara laki-laki persusuan (keponakan).
- Anak perempuan dari saudara perempuan persusuan (keponakan).
- Bibi persusuan, yakni perempuan yang menyusu bersama ayah Anda.
- Bibi persusuan, yakni perempuan yang menyusu bersama ibu Anda.
- Anak perempuan persusuan, yakni anak perempuan yang menyusu kepada istri Anda, sehingga Anda menjadi ayah persusuannya.
● Siapa Saja Mahram, Orang yang Haram Dinikahi itu?
● Hukum Jabat Tangan atau Mushafahah dengan Lawan Jenis Bukan Mahram
- Adik/kakak ipar. Artinya, tidak boleh menikah dengan seorang perempuan sekaligus menikahi saudaranya dalam waktu bersamaan, baik bersaudara karena nasab maupun bersaudara karena persusuan, baik dalam satu akad maupun dalam akad yang berbeda. Jika pernikahannya dilakukan dalam satu waktu, maka batallah pernikahan keduanya. Namun, jika pernikahannya dilakukan dalam waktu yang kedua, maka batallah pernikahan yang kedua. Kecuali jika perempuan yang pertama meninggal atau setelah dicerai lalu habis masa iddahnya, maka saudara perempuanya boleh dinikah.
- Bibi istri. Alasannya, tidak boleh menikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibinya atau dengan keponakannya.
- Perempuan yang kelima. Artinya, tidak boleh seorang laki-laki menikahi perempuan yang kelima sebab ia sudah menikahi empat perempuan. Kecuali jika salah seorang dari yang empat meninggal dunia atau dicerai.
- Perempuan musyrik penyembah berhala, yaitu perempuan yang tidak memiliki kitab samawi (Taurat dan Injil). Namun, bila perempuan itu memiliki kitab samawi atau perempuan itu sudah memeluk Islam, maka ia boleh dinikah.
- Perempuan bersuami. Tidak boleh seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang bersuami dan masih dalam ikatan perkawinannya. Namun, bila suaminya meninggal dunia atau menceraikannya dan masa iddahnya sudah habis, maka boleh dinikah.
- Perempuan yang masih menjalani masa iddah, baik dari iddah wafat maupun iddah cerai. Setelah masa iddahnya habis, maka ia boleh dinikah.
- Perempuan yang telah ditalak tiga. Tidak halal bagi seorang suami merujuk atau menikahi kembali istrinya yang telah ditalak tiga, sampai istrinya itu dinikah oleh laki-laki lain (muhallil) dengan pernikahan yang sah dan sesuai syariat. Kemudian, suami kedua atau muhallil itu menceraikannya dan masa iddah si istri darinya telah habis. Jika itu sudah terpenuhi, maka suami pertama boleh menikahinya kembali dengan akad yang baru. (Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr. Mustafa al-Bugha, ‘Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi‘i, Damaskus: Darul Qalam, 1992, jilid 4, hal. 25-33).
Terpopuler
1
Kultum Ramadhan: Meningkatkan Kualitas Ibadah di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan
2
Beasiswa BIB Dibuka 1 April 2025, Berikut Link Pendaftaran dan Persyaratannya
3
Kemenag Prediksi 1 Syawal 1446 H Jatuh pada 31 Maret 2025
4
Kiriman Kepala Babi dan Bangkai Tikus ke Tempo, Pers Hadapi Ancaman Represi dan Pembungkaman
5
NU dalam ‘Rumah Kaca’ Kolonial: Tokohnya Diawasi, Acaranya Dibubarkan Polisi
6
KH M. Zen Syukri, Murid Kinasih KH Hasyim Asy'ari Asal Palembang
Terkini
Lihat Semua