Nikah/Keluarga

Sertifikat Layak Nikah, Bukti Mampu Menikah?

Sel, 26 November 2019 | 08:00 WIB

Sertifikat Layak Nikah, Bukti Mampu Menikah?

Kunci pokok sebelum menikah adalah mampu, bukan sertifikat.

Sertifikasi pasangan layak nikah yang diwacanakan Pemerintah menuai tanggapan cukup beragam. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang menolak dengan berbagai alasan dan catatan. Sekilas wacana itu mempersulit orang yang hendak menikah. Namun, di sisi lain, menikah juga bukan sesuatu yang boleh dilakukan asal-asalan. Diperlukan kemampuan, persiapan, dan pertimbangan matang. Jika tidak, menikah hanya sebatas mempertemukan dua insan yang berhasrat. Setelah itu, mereka kehilangan ruh dan tujuan pernikahan.

 

Karena itu, kita perlu melihat seperti apa kriteria mampu yang diisyaratkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama dalam hadits berikut:

 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ

 

Artinya, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menundukkan (menjaga) pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah wija (penekan nafsu syahwat) baginya,” (HR al-Bukhari-Muslim).

 

Simak baik-baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan pernikahan kepada orang yang mampu ba’at. Apa maksud mampu ba’at di sana? Para ulama hadits berbeda pendapat dalam memaknai istilah itu. Ada yang memaknai mampu jimak, ada yang memaknai mampu dalam biaya nikah, ada pula yang memaknai keduanya.

 


Menurut ulama yang memaknai mampu jimak, jika bukan makna itu, tidak mungkin diperintah puasa, sebab makna lain tak membutuhkan puasa. Sementara menurut al-Nawawi, ada dua pendapat tentang mampu ba’at, namun merujuk kepada satu makna. Yang paling kuat adalah mampu jimak, sesuai dengan makna bahasanya. Hanya saja, secara implisit, kata itu bermakna mampu jimak disertai mampu biaya pra dan pasca-menikah. Sehingga ketika belum mampu, dianjurkan berpuasa. (Lihat: Husain ibn ‘Audah, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, [Beirut: Daru Ibni Hazm], 1429, jilid 5, hal. 11).

 

Namun, bukan bahasa wahyu namanya jika tak selalu memberi varian makna. Di sinilah kehebatan bahasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu sesuai dan terbuka ditafsirkan sepanjang zaman. Pada zaman an-Nawawi, istilah ba’at sudah cukup ditafsirkan dengan mampu berjimak dan mampu biaya. Boleh jadi makna itu sudah konteksual di zamannya. Namun, terlalu tekstual dalam kacamata sekarang. Sehingga perlu dimaknai ulang agar tetap kontekstual. Dan itu sebuah keniscayaan bagi sebuah teks agar tidak jumud dan ditinggalkan zaman.

 

Sudah ada dua makna dalam istilah mampu ba’at di atas, yakni mampu jimak dan mampu biaya. Namun, dalam konteks sekarang, dua kemampuan itu belum cukup. Diperlukan kemampuan lain, terutama mampu secara mental, pengetahuan, bahkan mampu adil bagi yang hendak beristri lebih dari satu. Ini artinya pasangan yang hendak menikah dituntut mampu secara seksual, finansial, mental, pengetahuan, dan adil. Namun sekali lagi kuncinya mampu, bukan sertifikat.

 

Kemampuan seksual memang biasanya menjadi hal utama yang mendorong seseorang menikah. Dan kemampuan ini merupakan yang pertama dimiliki. Setiap anak yang memasuki usia balig pasti memiliki kemampuan ini. Namun, kemampuan seksual saja belum cukup karena menuntut kemampuan lain, seperti kemampuan bereproduksi dengan baik, mengasuh atau membesarkan anak dengan baik, dan seterusnya.

 

Kemampuan finansial menjadi kebutuhan berikutnya. Terlebih pernikahan sekarang membutuhkan biaya yang tinggi, mulai dari biaya prosesi lamaran, prosesi akad, mahar, hingga resepsi. Belum lagi kemampuan finansial pasca menikah, seperti nafkah makanan, pakaian, tempat tinggal, dan seterusnya. Mahalnya biaya pernikahan sekarang juga seharusnya menjadi bahan kritik bagi para orang tua perempuan agar tidak terlalu membebani calon mempelai pria. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya menekan banyaknya pasangan yang sungkan melenggang ke jenjang pernikahan dengan setumpuk resiko dan konsekuensinya. Ini pula yang ditenggarai meningkatnya angka pergaulan bebas, meskipun ini bukan alasan tunggal.

 


Kemampuan berikutnya adalah kemampuan mental. Tantangan, rintangan, dan masalah yang tidak ringan dalam pernikahan jelas dibutuhkan mental yang cukup kuat. Tak sedikit masalah yang muncul setelah menikah. Mulai dari masalah ekonomi, masalah keuangan, masalah keluarga, masalah loyalitas pasangan, hingga masalah orang ketiga yang kerap muncul dan hendak menghancurkan bahtera rumah tangga. Maka dari itu, batas minimal usia pernikahan menjadi penting. Pemerintah sendiri menetapkannya 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Tujuannya untuk mempersiapkan mental mereka yang akan menikah.

 

Kemampuan berikutnya yang tak kalah penting adalah kemampuan dan bekal pengetahuan. Sayangnya, kemampuan ini seringkali diabaikan. Akibatnya, tak jarang pernikahan yang bubar di tengah jalan hanya persoalan sepele dan minus pengetahuan.

 

Bicara mampu dalam pengetahuan tentu sangat luas. Setidaknya memiliki pengetahuan dasar tentang cara memilih pasangan yang baik, tentang tujuan perkawinan, cara membina mahligai rumah tangga, hak dan kewajiban suami istri, melahirkan keturunan yang saleh. Ditambah pengetahuan dasar lainnya seperti tentang nafkah, talak, iddah, rujuk, dan sejenisnya.

 

Inikah yang hendak dibidik Pemerintah dengan program sertifikasi layak nikah bagi pasangan yang ingin menikah? Cukupkah kesiapan menikah ditunjukkan dengan sertifikat? Jawabannya, jika sertifikat bertujuan untuk meningkatkan wawasan pasangan yang akan menikah dan merepresentasikan sejumlah kemampuan di atas, tentu saja cukup. Jika tidak maka harus ditinjau ulang agar tidak terkesan dipaksakan, tanpa proses pembinaan, apalagi menambah beban. Wallahu a’lam.

 

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor: Mahbib