Tafsir

‘Nusyuz’ dalam Etika Pergaulan Suami Istri Menurut Ulama Tafsir

Sab, 19 Oktober 2019 | 15:00 WIB

‘Nusyuz’ dalam Etika Pergaulan Suami Istri Menurut Ulama Tafsir

Nusyuz merupakan tindakan berpalingnya istri dari suami. Seperti apa kriteria dan ketentuannya?

Di dalam Al-Qur’an, telah disebutkan bahwa seorang suami hendaknya mempergauli istrinya dengan jalan yang ma’ruf. Istilah ma’ruf, menurut terminologi bahasanya sering dimaknai sebagai ‘baik’. Menurut pengertian syara’nya, sebuah perbuatan ma’ruf sering diartikan sebagai:

 

كل ما يعرفه الشرع ويأمر به ويمدحه ويثني على أهله، ويدخل في ذلك جميع الطاعات، وفي مقدمتها توحيد الله عز وجل والإيمان به

 

Artinya, “segala sesuatu yang memiliki landasan syara’, diperintahkan, dipuji atau dihimbaukan kepada para ahlinya. Padanya terdapat sekumpulan perbuatan ketaatan, dan yang paling utama di antara ketaatan itu adalah mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla dan sekaligus mengimanani-Nya” (Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, [Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).

 

Di sisi lain ma’ruf kadang juga diartikan sebagai:

 

كل قول حسن وفعل جميل وخلق كامل للقريب والبعيد

 

Artinya, “Segala bentuk ucapan yang baik, perbuatan yang indah, dan akhlak yang sempurna, baik untuk konsekuensi jangka waktu dekat maupun jauh.” (Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, [Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).

 

Jadi, dengan melihat definisi ini maka perintah mempergauli istri dengan baik itu sebagaimana diperintahkan oleh Syari’ (Allah Ta’ala) di dalam Al-Qur’an, adalah juga bermakna sebagai perintah mengeluarkan kata-kata yang baik kepada pasangan, sikap yang baik dalam perbuatan, serta akhlak yang sempurna, atau setidaknya yang mendekati sempurna untuk menjaga konsekuensi logisnya di masa yang akan datang, dalam jangka waktu dekat atau jauh. Konsekuensi logis yang dimaksud di sini, salah satunya adalah antisipasi terhadap perbuatan “nusyuz” dari istri.

 

‘Nusyuz’ dalam Al-Qur’an disinggung sebanyak dua kali. Pertama, nusyuz disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 34; dan kedua, disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 128.

 

Di dalam Surat al-Nisa’ [4] ayat 34, Allah SWT berfirman:

 

﴿ٱلرِّجَالُ قَوَّ ٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡض وَبِمَاۤ أَنفَقُوا۟ مِنۡ أَمۡوَ ٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰت لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللهُ وَٱلَّـٰتِی تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِی ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوا۟ عَلَیۡهِنَّ سَبِیلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیّا كَبِیرا﴾ [النساء ٣٤]

 

Artinya, "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung."

 

Sementara itu di dalam Surat Al-Nisa [4] ayat 128, Allah SWT berfirman:

 

﴿وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضا فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡهِمَاۤ أَن یُصۡلِحَا بَیۡنَهُمَا صُلۡحاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَیۡرۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرا﴾ [النساء ١٢٨]

 

Artinya, "Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

 

Dilihat dari sisi penyandaran pada kedua ayat di atas, lafadh nusyuz pada ayat pertama, disandarkan pada (1) kepemimpinan seorang suami dalam lingkup rumah tangga terhadap istrinya sebab kelebihan yang dianugerahkan kepada suami, dan (2) sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya berupa nafkah dan mahar. Karena faktor keduanya ini, lantas hadir tuntutan sebagaimana termaktub dalam lafadh al-shalihatu qanitatun hafidhatun li al-ghaibi bi ma hafidha allah (perempuan shalihah itu perempuan yang gemar ber-imadah, menjaga diri saat suaminya tidak ada di rumah dengan penjagaan sebagaimana yang sudah diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya).

 

Sementara dalam ayat kedua, lafadh ‘nusyuz’, justru berlaku sebaliknya, yaitu ketakutan seorang istri dari perbuatan nusyuz suami, berpaling atau bersikap acuh tak acuh. Walhasil, penggunaan lafadh nusyuz di dalam Al-Qur’an, ternyata juga berlaku bagi suami dan tidak hanya pada istri saja. Sekarang mari kita lihat kajian nusyuz ini dari para mufassir!

 

Mufassir pertama, kita ruju’ pada Tafsir ath-Thabari (w. 310 H). Ketika menafsiri Surat Al-Nisa [4] ayat 34, dan sampai pada penggalan ayat ‘wal lâti takhâfûna nusyûzahunna’ (ketika seorang istri kalian khawatirkan sikap nusyuz-nya), ath-Thabari (w. 310 H) menyatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ta’wil.

 

Sebagian ahli ta’wil melakukan pengalihan makna terhadap bunyi teks ‘al-khauf’ sebagai ‘al-ilmu’, sehingga makna bergeser dari sebelumnya memiliki pengertian ‘takut’ menjadi berpengertian ‘tahu’. Namun, unsur ‘tahu’ di sini juga memuat pengertian ‘dhan’ (prasangka) sehingga lebih pasnya jika lafadh ‘takhafuna’ dalam ayat di atas, dialihkan maknanya sebagai ‘kalian menduga’.

 

Akan tetapi, mayoritas ahli ta’wil memiliki pengertian yang kiranya agak berbeda dengan di atas. Sebagaimana disampaikan oleh ath-Thabari (w. 310 H), mayoritas ahli ta’wil sepakat mengalihkan makna ayat sebagai:

 

إذا رأيتم منهن ما تخافون أن ينشزن عليكم، من نظر إلى ما لا ينبغي لهن أن ينظرن إليه، ويَدخُلن ويخرجن، واسترْبتم بأمرهن، فعِظُوهن واهجروهنّ

 

Artinya: “Apabila kalian melihat istri-istri kalian, lalu kalian timbul rasa takut akan perbuatan nusyuz-nya atas diri kalian, karena melihatnya mereka kepada sesuatu yang tidak sepatutnya mereka lihat, mereka masuk dan keluar semaunya sehingga menimbulkan rasa ragu pada diri kalian atas ulahnya, maka nasehati mereka, dan pisahilah mereka dari rangjangnya.” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Ath-Thabari (w.310) secara spesifik memberikan kesimpulan terhadap makna ‘khauf’ dalam ayat ini sebagai:

معنى"الخوف" في هذا الموضع: الخوف الذي هو خلاف"الرجاء"

 

Artinya, “Makna ‘khauf’ pada ayat ini adalah seolah bermakna sebagai takut yang merupakan lawan dari ‘al-raja’ (pengharapan akan terjadinya sesuatu).” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Mungkin lebih pasnya, ‘al-khauf’ di sini adalah semakna dengan ‘kekhawatiran akan terjadinya sesuatu’. Dengan demikian, seolah ayat berbicara dengan konteks ketika seorang suami sangat mengkhawatirkan timbulnya sikap ‘nusyuz’ dari istri, disebabkan adanya gejala mereka suka keluar masuk rumah dan pergi seenaknya sendiri tanpa adanya izin dari suami (sebagaimana pengertian ini sudah disampaikan sebelumnya), maka disarankan bagi suami untuk menasehatinya atau melakukan pisah ranjang dengan pasangannya.

 

Sementara itu, pengertian ‘nusyuz’ dalam kitab yang sama, ath-Thabari (w. 310 H) memberikan penjelasan:

 

وأما قوله:"نشوزهن"، فإنه يعني: استعلاءَهن على أزواجهن، وارتفاعهن عن فُرُشهم بالمعصية منهن، والخلاف عليهم فيما لزمهنّ طاعتهم فيه، بغضًا منهن وإعراضًا عنهم

 

Artinya, “Adapun firman Allah SWT: ‘nusyuzahunna’, maka yang dimaksud dari penggalan ayat ini adalah sikap tinggi hatinya istri (isti’la) terhadap suami, dan keberaniannya meninggalkan firasy mereka (personifikasi dari suami) dengan jalan membangkang, serta berani melakukan hal yang seharusnya terikat pada mereka berupa taat suami (mengingat hubungan suami istri), dengan jalan marah serta berpaling dari suami.” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Lafadh firasy, dalam hal ini merupakan personifikasi dari suami, yang maksudnya adalah hak suami atas mereka melalui hubungan persenggamaan (jima’). Jadi, pengertian berpaling meninggalkan firasy adalah seolah sama pengertiannya dengan berpaling dari meninggalkan hak suami untuk menggaulinya lewat hubungan persenggamaan. Berpalingnya ini bisa disebabkan karena dua hal, yaitu: karena sikapnya dalam menolak ajakan suami atau karena kepergiannya mereka yang tidak pamit kepada suami dengan alasan yang tidak dikuatkan oleh syariat. Contoh alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat misalnya: ‘rutinitas kerja, atau adanya perjanjian kontrak kerja yang mengharuskan si istri meninggalkan rumah pada jam kerja. Ini adalah contoh alasan yang dikuatkan oleh syariat.

 

Walhasil, berdasarkan penafsiran di atas, hak suami mendapatkan pelayanan dari istri lewat persenggamaan ini adalah hak yang dikuatkan oleh syariat dan mendapatkan legitimasinya sehingga dapat menutup hak lain, bila hak tersebut tidak dikuatkan oleh syariat pula. Contoh hak lain yang tidak dikuatkan syariat misalnya: keluarnya istri dari rumah suami untuk mengunjungi orang tua atau pergi ke mall untuk bersenang-senang atau jalan-jalan yang tidak ada kaitannya dengan kewajiban yang bersifat mengikat dengan suami seiring adanya ikatan suami istri. Kepergian ini merupakan yang tidak dikuatkan oleh syariat, sehingga kewajiban izin istri kepada suami, belum gugur tanpa adanya keridlaannya.

 

Lain halnya jika perginya istri ada hubungannya dengan pemenuhan haknya untuk menyempurnakan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Semisal, belanja di warung untuk kebutuhan masak, atau membelikan baju ganti untuk anak yang sudah tidak layak, maka keluarnya istri dalam kondisi demikian, meskipun tanpa seizin suami, tidak bisa dipandang sebagai tindakan nusyuz, mengingat ada beban wajib lainnya yang ada kaitannya (iltizam) dengan mu’asyarah bi al-ma’ruf dalam keluarga.

 

Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘nusyuz’ merupakan tindakan berpalingnya istri dari suami, meninggalkan kewajibannya dalam rumah tangga, yang dilakukan dengan kondisi marah atau maksiat, dan meninggalkannya itu tanpa dilandasi oleh alasan yang dikuatkan oleh syariat. Adapun kepergian istri meninggalkan rumah dengan alasan yang dibenarkan dan dikuatkan syariat, maka kepergian ini tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan nusyuz, meskipun tanpa seizin suami. Kunci utama ‘nusyuz’ ada pada tindakan meninggalkan melayani suami dalam urusan firasy (hubungan persenggamaan) tanpa alasan yang benar menurut syara’. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - PW LBMNU Jawa Timur