Opini

Mengendalikan Emosi, Berkaca dari Kisah Baridin dan Arya Penangsang

Sen, 12 Juni 2017 | 11:13 WIB

Oleh Rojaya 

Orang kuat, kata Nabi SAW, bukanlah yang dapat mengalahkan musuhnya, namun yang dapat mengendalikan emosinya saat marah. Perang melawan diri sendiri adalah perang melawan emosi di dalam dirinya. Emosi adalah energi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam dirinya sendiri.

Hadits di atas mengajarkan bahwa mengendalikan emosi sendiri lebih hebat daripada menundukkan orang lain. 

Rasulullah mencontohkan bagaimana ia dapat mengendalikan emosinya. Saat mengajak ke jalan kebenaran, Ia dilempari batu. Wajahnya berlumuran darah dan mengalir sampai kakinya. Rasulullah menahan marahnya. Ia malah mendoakan kebaikan buat mereka yang melempari dan melukainya dengan batu. "Ya Allah, berikan petunjuk pada kaumku, karena mereka belum mengetahui." Betapa tulus dan agung doanya. Doa yang lahir dari jiwa dan hati yang bersih. Subhanallah.

Kekuatan dzikir di samping karunia Allah, di dalamnya juga ada pengendalian emosi. Orang membaca basmalah sehari 7000 selama 7 hari. Lalu terasa ringan, maka dinaikkannya menjadi 12.000 sehari. Sampai terasa bisa ditingkatkan. Lalu sehari 21.000 kali. Sampai emosinya nyaman dan  mengatakan bisa lebih dari itu, dan seterusnya.

Saat memperbanyak dzikir, salah satu ujiannya adalah emosi. Bosan, capek, banyak yang menyukai, ada yang bikin kesal, dan lain lain.

Ratminah, gadis cantik yang orang tuanya kaya raya saat dilamar oleh Ibunya Baridin yang miskin, emosinya meledak. Ia memarahi, memaki, bahkan mengusir Ibu Baridin. Ia tidak kuat menahan gemuruh emosi marahnya. 

Baridin sakit hati. Kalau ditolak, kenapa tidak dengan cara yang baik-baik? Ia pergi meninggalkan rumahnya. Ia menyendiri, tidak makan dan tidak minum. Lisannya membaca mantera kemat jaran guyang. Setelah dibaca berhari-hari dengan hati yang luka berlumuran darah dan dipenuhi dendam, energi manteranya mengkristal, lalu seperti anak panah gaib melesat terbang menembus hati dan jiwa Ratminah.

Ratminah gelisah. Hati dan pikirannya dipenuhi wajah Baridin. Kemanapun wajah memandang, yang ada wajah Baridin yang dulu dibencinya. Rindu Ratminah meluap dan cintanya tumbuh dengan cepat tak tertahankan. Benteng pikirannya tidak bisa membendung gejolak rindu dan cintanya. Ia pergi meninggalkan orang tua dan kekayaannya. Ia pergi ke sana kemari. Satu yang dicarinya dan satu yang disebut-sebut lisannya, yaitu Baridin. Ia seperti orang gila. Anak-anak di jalanan mempermainkan dan memanggilnya gila. Rambut dan tubuhnya tidak terurus. Matanya sering menitikkan air mata. Lisannya terus menyebut lirih nama Baridin. Lisannya jadi liar, sering tertawa sendiri. Tubuhnya dibawa oleh jiwanya yang dipenuhi luapan cinta mencari yang dicintainya. 

Saat dalam satu momen Ratminah bertemu Baridin. Ia terkejut. Ia merengek manja memohon agar Baridin mau pulang dan hidup bersama dengannya. Baridin menolak. Sakit hatinya begitu dalam. Ia tirakat tidak makan dan tidak minum hanya punya satu tujuan, yaitu membalaskan sakit hatinya, bukan mencari kebahagiaan dan bukan ingin berbagi kebahagiaan. 

Jiwa Ratminah goncang. Harapannya lenyap. Jiwanya bergetar keras lalu keluar dari tubuhnya. Tubuhnya beku tak bisa bergerak. Ia meninggal di hadapan Baridin, orang yang selalu ada dalam bayangannya dan mengganggu jiwanya.

Baridin terkejut. Tubuhnya yang lemah, dehidrasi. Ia pun menyusul Ratminah ke alam barzakh. Baridin gagal mengendalikan emosi marah dan dendamnya yang membara.

Orang hebat bukan orang yang marahnya mustajab, tapi yang marahnya dapat dikendalikan. Saat marah dan hati mendidih akan meluapkan kutukan, segeralah tolak bala, bersedekah dan berdzikir agar emosi marah tersebut tidak menjadi bencana bagi diri maupun orang lain.

Arya Penangsang gagal menjadi raja, karena tidak kuat tirakat menahan emosi marah selama 40 hari, sebagaimana pesan gurunya, Sunan Kudus.

Kita ini tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa. Kendalikan emosi marah. Jangan sampai kutukannya mewujud. Boleh jadi itu istidraj. Dan jangan memancing kemarahan orang lain dengan merendahkan dan menyakitinya. Bukankah doa orang yang disakiti itu mustajab?

Kalaupun mereka tidak marah dan mengutuk. Tetap saja kedzaliman kita adalah kegelapan, membuat hidup jadi sial, susah dan menderita. Innadzdzulma dzulumatun. Sesungguhnya kedzaliman itu adalah kegelapan. Cahaya ilmu, kebaikan, dzikir, dll jangan sampai padam diterpa angin kedzaliman yang kita lakukan. 

Ya Allah, ampuni hamba, sayangi hamba, beri hamba rezki, tambal kekurangan hamba, angkat derajat hamba, beri hamba petunjuk, sehatkan, dan maafkan kelalaian hamba. Demikian salah satu terjemahan doa duduk di antara dua sujud. 

Penulis adalah Ketua Prodi Ilmu Tasawuf Fakultas Dakwah IAILM Pondok Pesantren Suryalaya